Sudah lima hari sejak Tari pergi ke rumah orang tuanya. Lima hari yang sunyi, dan tak satu pun dari malam itu benar-benar terasa seperti malam di rumah. Tanpa suara kekesalan Tari di dapur, tanpa kehadiran tubuhnya di sisi ranjang, rumah terasa seperti cangkang kosong yang hanya memantulkan gema napas Bumi sendiri.
Pagi itu, Bumi membuka jendela kamar. Udara dingin menyapu masuk, menggigit kulit. Ia duduk di sisi ranjang, memegang ponsel yang layarnya sudah beberapa kali ia nyalakan tanpa hasil. Tak ada balasan. "Sudah hampir seminggu," batin Bumi, ia lagi-lagi menghitung hari sambil memandang tanda-tanda kesunyian: piring-piring yang tetap kosong di rak pengering, suara pintu yang tak pernah dibuka dari luar, dan ranjang yang hanya terasa hangat di satu sisi. Setiap malam, ia mendengar gema detak jam dinding seperti suara yang mengingatkan bahwa waktu berjalan, tapi tidak ada yang kembali. Ia rindu mendengar suara Tari yang suka menggerutu soal rasa kopi yang terlalu pahit, atau langkah kakinya di pagi hari yang selalu terdengar tergesa-gesa. Ia rindu omelan-omelan kecil yang dulu terasa mengganggu, tapi kini justru menjadi sesuatu yang ia tunggu. Ia menatap layar ponsel sekali lagi. Jempolnya ragu, tapi akhirnya menekan tombol hijau. Tak ada jawaban sampai dering itu terhenti. Bumi mencoba sekali lagi, lalu sekali lagi, dan sekali lagi. Entah untuk yang keberapa kali menelepon sampai akhirnya suara Tari terdengar di ujung sana. “Halo,” suara itu terdengar tanpa antusias. Atau mungkin, dingin. “Halo,” Bumi menjawab pelan. “Kamu sehat?” “Sehat.” “Gimana kabar Ayah dan Ibu?” “Baik.” Hening. Bumi memaksakan senyum meski tak ada siapa pun yang bisa melihatnya. “Kalau kamu mau, aku bisa jemput sore ini. Atau besok, pagi-pagi juga nggak apa-apa. Biar kamu nggak repot sendiri.” Tari menghela napas. Lama. Dari seberang telepon, suara latar samar terdengar. Suara televisi, atau mungkin obrolan dari ruang keluarga. Tapi tak ada satu pun yang terasa akrab bagi Bumi. “Bumi... nggak usah. Aku nggak perlu dijemput.” Bumi terdiam sejenak. “Maksudmu?” “Kalau aku ingin pulang, aku akan pulang. Aku bisa naik taksi atau pesan mobil. Nggak usah repot-repot kamu jemput.” “Oh.” Bumi menelan ludah, lalu mencoba bicara dengan suara yang tetap hangat. “Kalau begitu... mungkin aku aja yang ke sana? Sekadar berkunjung. Ketemu Ayah dan Ibu, ngobrol-ngobrol. Sudah lama juga nggak bertemu.” “Tidak perlu,” jawab Tari cepat. “Mungkin kami ada acara keluarga. Jangan ke sini, Bumi. Kamu fokus saja dengan pekerjaanmu, jangan terganggu.” Nada itu terdengar terlalu jelas. Bukan hanya menolak, tapi menutup pintu. Perlahan, tanpa bentakan, namun tetap saja terasa seperti dorongan halus untuk menjauh. “Aku hanya ingin tahu kabarmu.” “Sudah tahu, kan?” “Oh... ya. Baik.” Tak ada balasan. Hanya keheningan yang terasa seperti dinding tinggi di antara dua orang yang pernah begitu dekat. “Kalau kamu butuh sesuatu, kabari aku, ya?” tanya Bumi, mencoba memberi sedikit ruang. “Iya,” jawab Tari, pendek. Lalu hening sesaat, seolah ingin berkata sesuatu tapi tak jadi. “Aku tutup dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Telepon berakhir. Percakapan pun begitu. Tidak ada tempat bagi kata-kata manis, atau bahkan basa-basi sopan yang biasanya mereka ucapkan tanpa sadar. Bumi mematung. Ia menatap layar ponsel, menunggu seolah Tari akan menelpon kembali. Tapi tidak ada apa-apa. Rumah kembali sunyi, seperti biasa. Bumi meletakkan ponsel ke meja, memandang kosong ke arah jendela. Angin menggerakkan tirai pelan, seakan dunia pun ingin bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia sadar, rumah ini tak berubah. Tapi dirinya yang mulai runtuh. Dan di antara dinding-dinding bisu ini, ia mulai merasakan sesuatu yang jauh lebih berat dari kesepian: penolakan yang tidak diucapkan langsung, namun hadir dalam setiap “tidak perlu,” dalam setiap “jangan ke sini.” Ia duduk di sofa, menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Rasanya seperti terus-menerus mengetuk pintu yang tak akan pernah lagi dibukakan dari dalam. Hari terus berjalan, dan ia tetap sendiri. Tidak ada kabar lanjutan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanggal pasti kapan Tari akan pulang. Pelan-pelan, Bumi mulai menelan satu kemungkinan pahit: mungkin Tari memang sedang mencicipi hidup tanpanya. Mungkin keluarganya juga sedang membiasakan diri untuk hidup tanpa Bumi sebagai bagian darinya. Dan sejauh-jauhnya pikiran itu ditepis, malam-malam yang senyap terus membuatnya percaya — bahwa ia sedang tidak ditinggal sementara. Ia sedang dipinggirkan secara perlahan. *** Di dalam rumah, jam dinding berdetak lambat. Telepon di meja tetap sunyi. Tak ada kabar dari Tari. Bumi berjalan ke teras. Malam mulai turun pelan. Lampu taman kecil menyala redup, menyisakan siluet tanaman kering yang seakan tak disentuh selama berhari-hari. Ia duduk, mengenakan jaket tipis, mencoba mengusir dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang masih mengepul. Di sisi lain, sebungkus rokok kretek tergeletak terbuka. Ia mengambil sebatang, menyalakannya perlahan. Asapnya melayang pelan ke langit yang gelap. Tak lama, terdengar suara pagar berderit pelan. Pak Harun melongok dari balik pintu pagar kecil. “Mas Bumi?” sapanya ringan. “Tumben kelihatan malam-malam begini.” “Cuma pengin duduk sebentar, Pak,” jawab Bumi, singkat. Pak Harun melangkah masuk. Matanya menangkap kepulan asap di tangan Bumi. Alisnya sedikit terangkat, tapi senyumnya tetap ramah. “Eh, tumben ngerokok, Mas? Baru lihat saya,” ujarnya sambil duduk di kursi sebelah. Bumi hanya tersenyum tipis. Tak menjelaskan apa-apa. “Mau kopi, Pak?” tanyanya kemudian, menggeser gelas termos di meja kecil. “Wah, boleh… kalau nggak ngerepotin.” Bumi menuangkan kopi ke cangkir kecil, menyodorkannya beserta bungkus rokoknya. Mereka duduk dalam diam beberapa detik, menyalakan rokok masing-masing ditemani dengus angin dan dengung nyamuk yang mulai datang. “Zaman sekarang, rumah-rumah makin rapat, tapi isinya makin jauh, ya?” kata Pak Harun tiba-tiba sambil mengembuskan asap rokok. “Dulu, kalau saya pulang telat sedikit, istri sudah nunggu di teras sambil bawain air teh.” Bumi menoleh, sekilas tersenyum. Asap rokoknya mengepul perlahan dari sela jari. “Sekarang,” lanjut Pak Harun, “banyak suami istri satu atap, tapi jiwanya entah di mana. Yang satu sibuk kerja, yang satu sibuk menahan kecewa. Nggak bicara, tapi menyimpan.” Ia menghela napas, cangkirnya nyaris tak tersentuh. “Kadang saya mikir, bukan pertengkaran yang bikin rumah tangga rusak. Tapi diam-diaman. Nggak ngomong. Nggak saling tahu isi kepala. Akhirnya, rasa sayang pun pelan-pelan jadi formalitas.” Bumi tetap diam, matanya menatap jalan gelap di depan rumah. Ia menyulut rokok lagi, dalam gerak lambat seperti mengisi waktu. Pak Harun melanjutkan, suaranya lirih namun jernih, “Saya nggak tahu bagaimana caranya orang zaman sekarang mempertahankan rumah tangga. Tapi saya percaya, kadang yang dibutuhkan cuma duduk berdua, diam, dan hadir. Nggak harus menyelesaikan semua masalah hari itu juga.” Ia menoleh pada Bumi, lalu tersenyum kecil. “Kamu masih muda, Mas. Tapi saya yakin kamu ngerti apa yang saya maksud.” Bumi mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Ia menatap ujung sepatunya, seakan ada sesuatu yang perlu dicernanya baik-baik. Mereka diam cukup lama. Tapi diam itu bukan canggung. Ada semacam pemahaman yang mengalir tanpa harus dibahas panjang. Pak Harun berdiri sambil meregangkan punggung. “Sudah malam. Saya balik dulu, ya. Kalau nanti butuh ngobrol, tinggal ketuk pagar saya. Tapi jangan tengah malam, nanti saya pikir maling.” Bumi tersenyum. “Siap, Pak.” Pak Harun melangkah pergi. Langkahnya pelan, tapi mantap. "Oya Pak... terima kasih atas kuliah malam yang berharga ini. Sejujurnya, ini sebuah kebijaksanaan yang penting." Pak Harun berhenti, lalu tertawa. "Kapan saja, ketuk rumah saya." Dan Bumi tetap di situ, menatap langit. Rokok di tangannya sudah tinggal separuh. Malam belum selesai, begitu juga pikirannya. Bumi menghabiskan sisa kopinya yang sudah dingin. Ia memadamkan rokok di asbak kecil, lalu berdiri pelan, menepuk-nepuk celana santainya dari abu rokok yang menempel. Ia membuka pintu rumah dengan hati-hati, seperti tak ingin membangunkan siapa pun yang sebetulnya memang tak ada. Lampu ruang tengah menyala temaram. Di dinding, bayangan tanaman dari luar bergerak-gerak pelan, dibelai angin malam. Bumi menggantung jaketnya, melewati ruang tamu tanpa suara. Saat melewati meja tempat ponselnya tergeletak, ia sempat melirik — layar masih gelap, tetap tak ada pesan. Ia menghela napas, melanjutkan langkah ke dalam. Lalu duduk di ujung ranjang, memandangi ruang kosong di sampingnya. Tak ada kata. Tak ada air mata. Hanya malam yang semakin larut, dan satu pertanyaan yang tertahan lama di dadanya: akan seperti apa rumah ini, besok dan seterusnyaBumi duduk di hadapan kamera studio televisi. Entah sudah berapa kali ia tampil di beberapa siaran televisi nasional, ia tak menghitungnya. Lampu-lampu studio menyinari wajahnya, sementara kamera berputar menangkap setiap gerakan dan ekspresi. Di hadapannya, sang host tersenyum ramah, siap memulai sesi tanya-jawab.“Jadi, sekarang sedang proses audisi atau casting, ya?” tanya host itu dalam sesi akhir percakapan.“Ya, kami sudah mengumumkan tanggal awal dan akhirnya,” jawab Bumi tenang. “Dimulai sekitar dua minggu lagi, insya Allah.”“Kenapa harus pemain lokal dengan wajah baru saja? Apa alasannya?” host itu melanjutkan.“Ini keputusan saya dan Franz setelah dialog panjang,” jawab Bumi. “Lebih kepada dugaan dan harapan sebetulnya. Kami ingin kekuatan utama film ini benar-benar berasal dari naskah novel yang kemudian dijadikan skenario, bukan dari daya tarik aktor atau aktris yang sudah terkenal.”
Setelah beberapa waktu berbincang tentang banyak hal, Mutia merasa sudah waktunya untuk pamit. Sita menatap Mutia dengan mata berbinar. “Dari sini, Teteh mau langsung ke tempat kerja?” Mutia menggeleng, tersenyum santai. “Tidak, Teteh mau pulang saja. Santai di rumah...” Sita menatapnya penuh semangat. “Sita ikut dong. Soal pulang gampang, nanti Sita minta dijemput Kang Bumi.” Mutia tertawa kecil. “Ayo, ayo… Teteh senang banget kalau begitu. Gimana kalau kita jalan-jalan dulu? Ke mal misalnya, atau lihat-lihat film yang lagi tayang?” Ayah Sita ikut bersuara, sedikit khawatir tapi ramah. “Sita, pastikan dulu Kang Bumi bisa jemput… jangan sampai nanti ia sedang sibuk.”Mutia menepuk bahu Sita dengan santai. “Tenang saja, Ayah. Kalau bukan Bumi, Teteh akan antar Sita pulang lagi. Tidak ada masalah.” Sita tersenyum lebar
"Nah itu dia kafe kopi...," gumam Mutia saat melihat plang besar bertuliskan kafe kopi yang mencolok. Ia melajukan mobilnya pelan, lalu tersenyum kecil ketika sebuah rumah besar bergaya lama dengan halaman luas tampak di seberang kafe itu. "Nah, ini rumahnya, nomornya sesuai," bisiknya pada diri sendiri. Alih-alih masuk ke pelataran kafe, Mutia membelokkan mobilnya ke gerbang rumah itu. Rumah Sita. Mutia menghentikan mobil di pelataran yang kurang lebih sama luasnya dengan rumahnya sendiri. Dari balik kaca, ia melihat pemandangan sederhana tapi menyejukkan hati: Sita sedang berdiri di taman depan rumah, tertawa kecil bersama ayahnya. Tak jauh dari sana, ibunya Sita tengah duduk di kursi bambu, melipat bendera dengan rapi. Semua tampak hangat, teduh, dan akrab. Begitu pintu mobil terbuka, Sita langsung menyadari kehadiran Mutia. Mata gadis itu berbinar, tubuhnya melompat ringan seperti
Sore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri
Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p
Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh