共有

7. Menunggu Tanpa Kepastian

作者: Hawa Hajari
last update 最終更新日: 2025-08-10 16:18:59

Sudah lima hari sejak Tari pergi ke rumah orang tuanya. Lima hari yang sunyi, dan tak satu pun dari malam itu benar-benar terasa seperti malam di rumah. Tanpa suara kekesalan Tari di dapur, tanpa kehadiran tubuhnya di sisi ranjang, rumah terasa seperti cangkang kosong yang hanya memantulkan gema napas Bumi sendiri.

Pagi itu, Bumi membuka jendela kamar. Udara dingin menyapu masuk, menggigit kulit. Ia duduk di sisi ranjang, memegang ponsel yang layarnya sudah beberapa kali ia nyalakan tanpa hasil. Tak ada balasan.

"Sudah hampir seminggu," batin Bumi, ia lagi-lagi menghitung hari sambil memandang tanda-tanda kesunyian: piring-piring yang tetap kosong di rak pengering, suara pintu yang tak pernah dibuka dari luar, dan ranjang yang hanya terasa hangat di satu sisi. Setiap malam, ia mendengar gema detak jam dinding seperti suara yang mengingatkan bahwa waktu berjalan, tapi tidak ada yang kembali.

Ia rindu mendengar suara Tari yang suka menggerutu soal rasa kopi yang terlalu pahit, atau langkah kakinya di pagi hari yang selalu terdengar tergesa-gesa. Ia rindu omelan-omelan kecil yang dulu terasa mengganggu, tapi kini justru menjadi sesuatu yang ia tunggu.

Ia menatap layar ponsel sekali lagi. Jempolnya ragu, tapi akhirnya menekan tombol hijau. Tak ada jawaban sampai dering itu terhenti. Bumi mencoba sekali lagi, lalu sekali lagi, dan sekali lagi. Entah untuk yang keberapa kali menelepon sampai akhirnya suara Tari terdengar di ujung sana.

“Halo,” suara itu terdengar tanpa antusias. Atau mungkin, dingin.

“Halo,” Bumi menjawab pelan. “Kamu sehat?”

“Sehat.”

“Gimana kabar Ayah dan Ibu?”

“Baik.”

Hening. Bumi memaksakan senyum meski tak ada siapa pun yang bisa melihatnya.

“Kalau kamu mau, aku bisa jemput sore ini. Atau besok, pagi-pagi juga nggak apa-apa. Biar kamu nggak repot sendiri.”

Tari menghela napas. Lama.

Dari seberang telepon, suara latar samar terdengar. Suara televisi, atau mungkin obrolan dari ruang keluarga. Tapi tak ada satu pun yang terasa akrab bagi Bumi.

“Bumi... nggak usah. Aku nggak perlu dijemput.”

Bumi terdiam sejenak. “Maksudmu?”

“Kalau aku ingin pulang, aku akan pulang. Aku bisa naik taksi atau pesan mobil. Nggak usah repot-repot kamu jemput.”

“Oh.” Bumi menelan ludah, lalu mencoba bicara dengan suara yang tetap hangat. “Kalau begitu... mungkin aku aja yang ke sana? Sekadar berkunjung. Ketemu Ayah dan Ibu, ngobrol-ngobrol. Sudah lama juga nggak bertemu.”

“Tidak perlu,” jawab Tari cepat. “Mungkin kami ada acara keluarga. Jangan ke sini, Bumi. Kamu fokus saja dengan pekerjaanmu, jangan terganggu.”

Nada itu terdengar terlalu jelas. Bukan hanya menolak, tapi menutup pintu. Perlahan, tanpa bentakan, namun tetap saja terasa seperti dorongan halus untuk menjauh.

“Aku hanya ingin tahu kabarmu.”

“Sudah tahu, kan?”

“Oh... ya. Baik.”

Tak ada balasan. Hanya keheningan yang terasa seperti dinding tinggi di antara dua orang yang pernah begitu dekat.

“Kalau kamu butuh sesuatu, kabari aku, ya?” tanya Bumi, mencoba memberi sedikit ruang.

“Iya,” jawab Tari, pendek. Lalu hening sesaat, seolah ingin berkata sesuatu tapi tak jadi.

“Aku tutup dulu, ya.”

Klik. Sambungan terputus.

Telepon berakhir. Percakapan pun begitu. Tidak ada tempat bagi kata-kata manis, atau bahkan basa-basi sopan yang biasanya mereka ucapkan tanpa sadar.

Bumi mematung. Ia menatap layar ponsel, menunggu seolah Tari akan menelpon kembali. Tapi tidak ada apa-apa. Rumah kembali sunyi, seperti biasa.

Bumi meletakkan ponsel ke meja, memandang kosong ke arah jendela. Angin menggerakkan tirai pelan, seakan dunia pun ingin bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Ia sadar, rumah ini tak berubah. Tapi dirinya yang mulai runtuh. Dan di antara dinding-dinding bisu ini, ia mulai merasakan sesuatu yang jauh lebih berat dari kesepian: penolakan yang tidak diucapkan langsung, namun hadir dalam setiap “tidak perlu,” dalam setiap “jangan ke sini.”

Ia duduk di sofa, menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Rasanya seperti terus-menerus mengetuk pintu yang tak akan pernah lagi dibukakan dari dalam.

Hari terus berjalan, dan ia tetap sendiri. Tidak ada kabar lanjutan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanggal pasti kapan Tari akan pulang.

Pelan-pelan, Bumi mulai menelan satu kemungkinan pahit: mungkin Tari memang sedang mencicipi hidup tanpanya. Mungkin keluarganya juga sedang membiasakan diri untuk hidup tanpa Bumi sebagai bagian darinya.

Dan sejauh-jauhnya pikiran itu ditepis, malam-malam yang senyap terus membuatnya percaya — bahwa ia sedang tidak ditinggal sementara. Ia sedang dipinggirkan secara perlahan.

***

Di dalam rumah, jam dinding berdetak lambat. Telepon di meja tetap sunyi. Tak ada kabar dari Tari.

Bumi berjalan ke teras. Malam mulai turun pelan. Lampu taman kecil menyala redup, menyisakan siluet tanaman kering yang seakan tak disentuh selama berhari-hari. Ia duduk, mengenakan jaket tipis, mencoba mengusir dingin yang diam-diam merambat ke tulang.

Tangannya menggenggam secangkir kopi yang masih mengepul. Di sisi lain, sebungkus rokok kretek tergeletak terbuka. Ia mengambil sebatang, menyalakannya perlahan. Asapnya melayang pelan ke langit yang gelap.

Tak lama, terdengar suara pagar berderit pelan. Pak Harun melongok dari balik pintu pagar kecil.

“Mas Bumi?” sapanya ringan. “Tumben kelihatan malam-malam begini.”

“Cuma pengin duduk sebentar, Pak,” jawab Bumi, singkat.

Pak Harun melangkah masuk. Matanya menangkap kepulan asap di tangan Bumi. Alisnya sedikit terangkat, tapi senyumnya tetap ramah.

“Eh, tumben ngerokok, Mas? Baru lihat saya,” ujarnya sambil duduk di kursi sebelah.

Bumi hanya tersenyum tipis. Tak menjelaskan apa-apa.

“Mau kopi, Pak?” tanyanya kemudian, menggeser gelas termos di meja kecil.

“Wah, boleh… kalau nggak ngerepotin.”

Bumi menuangkan kopi ke cangkir kecil, menyodorkannya beserta bungkus rokoknya. Mereka duduk dalam diam beberapa detik, menyalakan rokok masing-masing ditemani dengus angin dan dengung nyamuk yang mulai datang.

“Zaman sekarang, rumah-rumah makin rapat, tapi isinya makin jauh, ya?” kata Pak Harun tiba-tiba sambil mengembuskan asap rokok. “Dulu, kalau saya pulang telat sedikit, istri sudah nunggu di teras sambil bawain air teh.”

Bumi menoleh, sekilas tersenyum. Asap rokoknya mengepul perlahan dari sela jari.

“Sekarang,” lanjut Pak Harun, “banyak suami istri satu atap, tapi jiwanya entah di mana. Yang satu sibuk kerja, yang satu sibuk menahan kecewa. Nggak bicara, tapi menyimpan.”

Ia menghela napas, cangkirnya nyaris tak tersentuh.

“Kadang saya mikir, bukan pertengkaran yang bikin rumah tangga rusak. Tapi diam-diaman. Nggak ngomong. Nggak saling tahu isi kepala. Akhirnya, rasa sayang pun pelan-pelan jadi formalitas.”

Bumi tetap diam, matanya menatap jalan gelap di depan rumah. Ia menyulut rokok lagi, dalam gerak lambat seperti mengisi waktu.

Pak Harun melanjutkan, suaranya lirih namun jernih, “Saya nggak tahu bagaimana caranya orang zaman sekarang mempertahankan rumah tangga. Tapi saya percaya, kadang yang dibutuhkan cuma duduk berdua, diam, dan hadir. Nggak harus menyelesaikan semua masalah hari itu juga.”

Ia menoleh pada Bumi, lalu tersenyum kecil.

“Kamu masih muda, Mas. Tapi saya yakin kamu ngerti apa yang saya maksud.”

Bumi mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Ia menatap ujung sepatunya, seakan ada sesuatu yang perlu dicernanya baik-baik.

Mereka diam cukup lama. Tapi diam itu bukan canggung. Ada semacam pemahaman yang mengalir tanpa harus dibahas panjang.

Pak Harun berdiri sambil meregangkan punggung.

“Sudah malam. Saya balik dulu, ya. Kalau nanti butuh ngobrol, tinggal ketuk pagar saya. Tapi jangan tengah malam, nanti saya pikir maling.”

Bumi tersenyum. “Siap, Pak.”

Pak Harun melangkah pergi. Langkahnya pelan, tapi mantap.

"Oya Pak... terima kasih atas kuliah malam yang berharga ini. Sejujurnya, ini sebuah kebijaksanaan yang penting."

Pak Harun berhenti, lalu tertawa. "Kapan saja, ketuk rumah saya."

Dan Bumi tetap di situ, menatap langit. Rokok di tangannya sudah tinggal separuh. Malam belum selesai, begitu juga pikirannya.

Bumi menghabiskan sisa kopinya yang sudah dingin. Ia memadamkan rokok di asbak kecil, lalu berdiri pelan, menepuk-nepuk celana santainya dari abu rokok yang menempel.

Ia membuka pintu rumah dengan hati-hati, seperti tak ingin membangunkan siapa pun yang sebetulnya memang tak ada.

Lampu ruang tengah menyala temaram. Di dinding, bayangan tanaman dari luar bergerak-gerak pelan, dibelai angin malam. Bumi menggantung jaketnya, melewati ruang tamu tanpa suara.

Saat melewati meja tempat ponselnya tergeletak, ia sempat melirik — layar masih gelap, tetap tak ada pesan.

Ia menghela napas, melanjutkan langkah ke dalam. Lalu duduk di ujung ranjang, memandangi ruang kosong di sampingnya.

Tak ada kata. Tak ada air mata.

Hanya malam yang semakin larut, dan satu pertanyaan yang tertahan lama di dadanya: akan seperti apa rumah ini, besok dan seterusnya

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    15. Titik Kecil di Peta Hari

    Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    14. Menyambung Hari

    Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    13. Fragmen-Fragmen Kenangan

    Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    12. Dua Keberadaan Dua suasana

    Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    11. Membuka Pintu yang Baru

    Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    10. Putusan di Dalam Amplop

    Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status