Malam ini malam minggu. Biasanya para pasangan akan pergi keluar untuk berkencan saat malam minggu seperti ini. Berbeda dengan Arnita dan Arman yang memilih berdiam diri di rumah sambil menonton film bersama. Tak lupa ditemani satu ember popcorn dan secangkir es teh. "Hmm." Arnita langsung menutup matanya dengan kedua telapak tangannya ketika layar tv di depannya menampilkan adegan ciuman.Arman meneguk ludahnya susah payah. Badannya jadi terasa panas akibat ciuman panas yang ditampilkan di tv. Padahal tadi Arman sengaja memilih film bergenre action karena ia pikir tidak akan ada adegan romansa di dalamnya. Ia juga tadi sudah mengecek trailer filmnya dan semua terlihat aman. Tetapi kenapa tiba-tiba muncul adegan ciuman seperti ini? "Emm biar saya skip." Arman mengambil remot tv dan men-skip adegan ciuman itu.Ternyata adegan ciuman itu tidak berhenti hanya disitu. Saat Arman berhasil men-skip beberapa menit selanjutnya, adegan yang keluar malah adegan ranjang yang sangat panas. Suar
"Mas mau naik itu!" Arnita menepuk-nepuk lengan Arman dengan semangat."Kamu sudah pernah naik sebelumnya?" tanya Arman memastikan.Arnita menggelengkan kepalanya dengan wajah polosnya."Kamu yakin mau naik itu? Memangnya nggak takut?" Arman memutuskan mengajak Arnita pergi ke wahana permainan yang terletak di kota. Arman sudah mencari di google dan hasilnya tempat ini lah yang sering dikunjungi oleh pasangan untuk menghabiskan waktu bersama. Arman menatap Arnita dengan khawatir. Bagaimana dia tidak khawatir jika Arnita memilih permainan roller coaster untuk yang pertama mereka naiki. Lagi-lagi Arnita menggelengkan kepalanya dengan sangat yakin jika ia tidak takut menaiki permainan itu. Arman menghela nafas pasrah, akhirnya ia menuruti perempuan itu dan membawanya pergi ke wahana ekstrim itu. "Yakin mau naik?" tanya Arman lagi entah sudah berapa kali ia menanyakan pertanyaan yang sama.
"Sebentar ya mbak saya carikan dulu termosnya." Arnita menatap ke sekeliling rumah milik Alif. Rumahnya sangat rapi untuk sekelas laki-laki single seperti Alif. Tetapi sangat disayangkan jika rumah sebesar ini hanya ditinggali oleh satu orang saja. Tatapan Arnita jatuh pada beberapa lukisan yang terpajang di setiap sudut ruangan. Dari mulai lukisan romantis, menyeramkan, dan yang Arnita tidak tahu gambar apa itu, mungkin seperti lukisan abstrak."Ini mbak Nita termosnya." Arnita langsung mengalihkan tatapannya dari lukisan. "Ah iya terima kasih ya Lif, mungkin bakalan aku kembalikan besok.""Santai aja mbak, termosnya juga nggak pernah dipakai disini. Kalau mbak mau mbak Nita bisa ambil aja termosnya nggak perlu dikembaliin." "Ah enggak enggak, besok pokoknya aku kembalikan." ujar Arnita keras kepala.Arnita kembali melirikkan matanya ke arah lukisan milik Alif. Alif yang sadar Arnita sedang
Arman memukul stir mobilnya. Tidak seharusnya tadi ia meninggalkan Arnita begitu saja. Ia benar-benar terlihat seperti seorang pengecut karena meninggalkan gadis itu saat menangis. Seharusnya Arman lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak selalu mengikuti egonya. Ia yakin ucapannya tadi pasti sangat menyakiti Arnita.Ucapan yang Arman katakan tadi tidak seratus persen benar. Ia sama sekali tidak memperlakukan Arnita karena merasa bersalah. Ia juga tidak menyalahkan Arnita dalam pernikahan mereka, karena memang Arman lah yang memulainya terlebih dahulu. "Arkkkhh!" Arman kembali memukul stir didepannya.Arman hanya mengendarai mobilnya tanpa tahu ingin kemana. Ia hanya sedang berusaha menghindari Arnita karena merasa bersalah dengan apa yang dia ucapkan. Ia juga sedang bingung dengan dirinya sendiri.Setelah cukup lama hanya berkeliling, akhirnya Arman memutuskan untuk kembali. Ia akan meminta maaf pada Arnita saat sampai d
"Arnita." Semua orang menoleh ke asal suara, begitu juga dengan Arnita. Arnita terlihat senang ternyata Arman yang memanggilnya."Mas Arman!" Arnita berlari menghampiri Arman. Tanpa sadar Arnita langsung memeluk tubuh laki-laki itu karena terlalu senangnya melihat Arman tidak terluka."Mas buat aku khawatir. Mas baik-baik saja?" mata Arnita memeriksa tubuh Arman dengan jeli. "Dokter bilang saya mengalami patah tulang. Perlu waktu dua bulan untuk kaki saya kembali seperti sediakala." ujar Arman.Ah jadi karena itu Arman menggunakan kursi roda? Arnita menatap sedih ke arah Arman. Pasti sangat sulit untuk dirinya mengalami hal seperti ini."Mas jangan khawatir, ada aku yang bisa mas andalkan." ujar Arnita dengan senyum tersungging di bibirnya. Ia berusaha tidak menampilkan wajah sedihnya agar Arman tidak merasa sedih.Arman ikut tersenyum mendengarnya. Tangannya terulur mengacak rambut Arnita."Mbak, maaf ya tadi saya marah-marah sama mbak tanpa mendengar penjelasan dari mbak." Arnita
Arman menutup buku bacaannya. Tak lupa ia juga melepas kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Arman sudah menunggu selama hampir dua jam dan Arnita belum juga kembali ke kamar. Sudah hampir pukul sebelas malam dan seharusnya Arnita sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Arman memutuskan beranjak dari tempat tidur untuk mencari Arnita.Semua lampu rumah masih menyala, sepertinya Arnita belum selesai dengan pekerjaannya. Arman berinisiatif mengecek pintu dan jendela apakah sudah dikunci oleh Arnita atau belum. Setelah memastikan Semua jendela dan pintu telah terkunci, Arman beranjak ke dapur. Kosong?Arman tidak menemukan Arnita di dapur, di ruang tamu, dan di ruang tengah. Arman menggaruk keningnya dan berpikir dimana Arnita berada. Tidak mungkin perempuan itu keluar di tengah malam. Arman melihat ke arah halaman belakang, ia seperti melihat bayangan seseorang. Arman mencoba mendekat untuk memastikannya. Arman me
Arnita mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar. Ia merasakan seperti ada beban berat yang menimpa perutnya. Arnita menundukkan pandangannya, ternyata lengan Armanlah yang sedang memeluk perutnya. Arnita menggerakkan badannya dengan pelan, kemudian ia menyingkirkan lengan Arman dari atas perutnya. Arnita memandangi wajah Arman yang terlihat sangat damai saat sedang tidur. Arnita tidak tahu sejak kapan Arman tidur menghadap ke arahnya dan memeluknya semalam. Seingatnya semalam mereka tertidur saling membelakangi. Tiba-tiba tubuh Arman bergerak, Arnita segera mengalihkan pandangannya ke arah lain."Jam berapa?" tanya Arman dengan suara serak khas bangun tidur."Jam tujuh mas." Arnita beranjak dari tempat tidur. "Mas mau mandi sekarang?" tanya Arnita yang di angguki oleh Arman.Arnita membantu menuntun Arman ke kamar mandi. "Kalau sudah selesai mas panggil aku ya." pesan Arnita sebelum keluar dari kamar.Arnita mulai melakukan aktivitasnya seperti bi
Arnita tersenyum melihat Arman yang begitu gigih melatih kakinya untuk berjalan. Setiap pagi laki-laki itu selalu berjalan-jalan santai di halaman rumah untuk melatih kakinya agar tidak terlalu kaku. Semakin hari keadaan kaki Arman semakin membaik. Laki-laki itu juga mulai membiasakan untuk tidak memakai kruk nya. "Nit bisa tolong buatkan minum." "Mas mau minum apa? Jus, susu, teh?" "Apa aja." Arnita membuatkan secangkir jus jeruk untuk Arman dan secangkir susu coklat untuk dirinya. Ia ikut bergabung duduk di sebelah Arman. Mereka menikmati minuman mereka sambil berjemur di bawah sinar matahari. "Mas kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" Arnita menjadi salah tingkah saat ia memergoki Arman tengah menatap ke arahnya."Kamu cantik." ujar Arman dengan senyum tulus."Wajah kamu merah Nit, kayaknya kamu udah kepanasan." ujar Arman menggoda Arnita. Padahal laki-laki itu tahu alasan wajah Arnita memerah adalah karena dirinya. Tin tinArnita tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah Al