"Kamu sudah permalukan keluargaku. Dasar wanita tidak punya hati."
Mas Agha ternyata belum juga bisa melihat kenyataan, padahal jika dia benar-benar mendengarkan video viral itu dengan baik, dia akan paham apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Namun, sekuat apapun tenagaku, aku bisa lepas dari tangan Mas Agha yang saat ini tengah mencengeram lenganku."Lepas, Mas. Lepas.""Tolong hentikan, lepaskan aku, Mas.""Tidak, rasakan ini. Kamu kan seorang janda, jadi pasti merindukan sentuhan bukan.""Berhenti, aku tidak sekeji itu, Mas. Tolong, Mas. Hiks hiks. Hentikan, katakan saja apa salahku.""Kamu masih bertanya apa salahmu? Gara-gara kamu ibuku mendapat cacian sedunia maya," hardik Mas Agha dan terus saja meluncurkan cacian dengan tangan mencengkeram lenganku."Semua itu salah ibumu, dia yang datang ke cafeku. Kenapa aku yang disalahkan.""Berhenti omong kosong, aku tidak peduli."Apa mungkin MasSaat kurasa semua sudah siap, aku pun bergegas menghubungi Ibrahim. Kuhembuskan napas pelan, dan kulipat rapih kertas yang berisi sepenggal pesan dari ayah dan ibu. "Mutia janji akan mencari pria yang ayah sama ibu maksud, dan jika dia memang masih sendiri, lalu dia mengajak Mutia untuk nikah, Mutia mau, Yah. Maafin Mutia yang baru baca pesan dari ayah. Hiks."Pilu rasanya, entah apa ini masuk dalam kategori perjodohan, jika iya, semoga pria itu masih mau menerima keadaanku yang seperti ini. Tok tok tokKubuka pintu setelah menjawab seruan salam, Ibrahim, maka tidak menunggu lama, aku menemui Bu Kontrakan terlebih dahulu untuk memberikan kunci dan pamit secara baik-baik. "Duh, Mutia. Sudah mau pindah, nih. Kenapa emang? Gak enak tah ngontrak di sini? Eh, denger-denger kamu pemilik cafe yang lagi viral itu ya, selamat, ya. Boleh laa nanti kalau main ke sana di gratisin atau dapet bonus gitu."Aku mengulas senyum, tersengar suar
"Maaf, Mas. Dulu kamu putuskan untuk pergi dan meninggalkanku. Maka, saat ini hatiku telah kututup rapat untukmu," jujurku tanpa ingin memberinya harapan. Dunia ini punya hukum kausalitas, rasa ini pudar akibat ulahnya sendiri. "Tapi, Mutia. Apa kamu tidak cinta lagi sama Mas? Sebenarnya Mas itu masih cinta sama kamu."Aku diam sejenak, sejatinya rasa tidak bisa kupungkiri bahwa masih ada, tetapi semakin hari rasa itu pudar bahkan hampir tak tersisa lagi. "Mas, aku sarankan Mas jangan tinggalkan Karin, dia satu-satunya harapan keluarga Mas bukan? Dia mampu ngasih banyak uang, sementara aku?""Kamu kan sudah kaya, Mutia. Lihat saja cafe kamu, orang tuaku pasti akan sangat menerimamu jika kita ingin kembali bersama lagi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku sedang ada urusan penting, Mas. Jadi sebaiknya Mas pergi dan cari Karin sebelum terlambat. Jika memang bayi di kandungan Karin itu bukan anak Mas, tidak masalah, rawat bayi itu layaknya darah daging Mas sendiri, si
"Buk, lagi apa?" sapaku pada wanita yang kupanggil ManMer dalam hati itu. Tentu kalau secara langsung aku tak berani memanggil demikian. Wanita itu tampak gelagapan, ia memicing ke arah seorang wanita di sampingnya. Dia Widya. "Loh, kenapa kamu ada di sini?" "Ini rumah aku.""Apa? Jangan ngarang deh, ini tuh rumah Karin, Karin kan punya banyak rumah gak kayak kamu yang hanya berasal dari panti dan mampunya cuma ngontrak aja. Ya, walaupun sudah punya hasil dari cafe si, gak akan seberapa." "Buk, ini bener rumahku," ujarku meyakinkan. Wanita paruh baya yang telah mengenakan baju yang sangat berbeda dari biasanya ini tergelak dengan posisi tangan memegang ponsel yang kulirik posisi kamera terbuka. "Ibuk mau Mutia fotoin?" "E-em, eng-enggak. Siapa juga yang mau foto-foto di sini." "Wid, kamu ngapain di sini?" "Mau ketemu pemilik rumah ini, tapi saat kutelfon Mbak Karin, ternyata dia lagi d
Sudah beberapa hari rasanya aku diteror oleh perkataan ManMer yang masih saja membuat status yang mengundang ocehan ibu-ibu kompleks yang tidak-tidak. *Mentang-mentang sudah kaya, sudah punya usaha. Ya, paling usahanya bentar lagi juga collapes, secara gitu kan. *Eh, seriusan, Jeng? Mutia sudah kaya sekarang? Keren ya dia. Seakan semua orang sudah tau kalau yang dikutip dalam status ManMer itu adalah aku. Baik, aku masih berusaha diam, tetapi semakin aku diam mereka semakin saja ngelunjak. *Jangan deh makan di cafe Mutia, khawatir ikan yang dipakai bukan ikan yang semestinya. Coba deh kalian bayangkan, dari mana coba uang sehingga bisa langsung kaya gitu. Dulu, dia itu hanya seorang pengemis yang nyamar jadi menantu rumahku ini. *Dih, iya juga, ya. Jadi bergidik. Jangan-jangan yang dipakai itu daging yang udah busuk, sehingga dapat harga murah, dijualnya mahal. *Enggak, Jeng. Aku pernah makan di sana, tapi gak mahal kok. Ba
"Buk, apa ibuk selama ini bohong sama Agha? Ibuk bilang rumah ini aman? Agha minta ibuk tabung uang buat beli rumah baru, malah ibuk hambur-hamburkan. Apa benar selama ini itu Mutia hanya ibuk buat kambing hitam? Apa benar semua yang dikatakan Mutia, Buk?" ManMer mati kutu, dia diam dan terus saja bungkam. "Sekarang Agha tanya, apa semua uang yang Agha minta ibu buat tabung, ludes?" Masih saja bungkam, hanya Mas Agha yang yang terus saja bicara. Ia tampak memilin alisnya, lalu menggelengkan kepala. Tatapannya nanar, aku pun mejadi salah tingkah mau beradu pandang dengannya. "Jadi gini, Mas. Ternyata, selain rumah yang aku tempati saat ini, ada beberapa tempat yang juga merupakan tanah warisan ayahku. Rumah ini termasuk salah satu dari semua itu. Aku hanya mau menyampaikan itu." "Terima kasih aku ucapkan untuk mantan mertuaku dan mantan adik iparku yang selama ini sudah memperlakukanku melebihi babu. Setahuku, babu masih diberi makan
Dag dig dugEntah Ibrahim mendengar degupan ini ataukah tidak, kenapa semakin lama dan semakin kudengar suara Ibrahim, seakan detak ini semakin tak bisa kukendalikan. "Boleh?" tanya Ibrahim yang membuatku kesal, dia memaksaku untuk menjawab di saat aku sibuk mengendalikan deru napas yang mulai tak beraturan. "Si-silakan," jawabku terbata-bata. Kututup mulutku dengan telapak, kenapa jadi mendadak gagu seperti ini. Duh, Mutia. Kamu bukan anak remaja lagi. Sejenak menjadi hening, ini Ibrahim kenapa harus mempermainkan degup jantungku seperti ini. "Aku ingin ... em ... kita beli ice krim itu, gimana?" Aku tepuk jidat ini, lalu beranjak dan berjalan lebih awal. Akan tetapi kudapati Ibrahim tetap diam. 'Malu, Mutia. Degup jantungmu udah kayak mau copot gara-gara kamu ke-PD-an, lho.' "Mutia, aku malam ini ke rumahmu." "Tidak udah, Him. Kamu kan tau aku ada janji sama Mas Agha.""Jadi kamu mau
"Mm ... Mutia, ibuk juga ingin menyampaikan niat baik Ustadz A Im.""Niat baik apa, Buk?" "Beliau ingin mengkhitbahmu, Nak. Ya, beliau sebenernya takut untuk menyampaikan ini. Khawatir kamu akan tersinggung." Degh. Dag dig dugAku harus jawab bagaimana ini. "Sebenernya ... sebenernya Mutia-" Aku menelan saliva yang terasa sangat berat dalam kegugupan. Keremas telapak tangan satu sama lain. Bagaimana ini. 'Ya Allah, netralkan degup jantung ini.' "Kamu tidak perlu lansung menjawabnya, Nak. Namun, menurut ibuk, Ustadz A Im itu orangnya baik, sholih, terutama dia penyayang. Ibuk merasa, kamu akan bahagia hidup bersamanya." Aku masih diam, bingung mau menjawab apa. Apapun jawabanku, tentu akan bisa secepat kilat sampai pada ustadz yang dipanggil "Ustadz A Im" itu. Kupandangi pria tinggi semampai, berkulit putih, juga berambut ikal itu. Dia tengah asyik bermain bersama lima orang an
"Mutia, kamu bener-bener cantik malam ini," seru Mas Agha. Aku masih berdiri di depan pintu menunggu ia mempersilakan aku masuk yang entah itu mobil siapa yang dia bawa. "Makasih, Mas," jawabku singkat. Kenapa, Mas? Engkau merasa menyesal hingga ke ubun-ubun sekarang? Kenapa tidak dari dulu. Ke mana engkau dulu, ke mana penglihatanmu. "Eh, kenapa aku biarkan bidadari kedinginan di luar seperti ini, silakan masuk."Aku bergeming, lalu melangkah mengikuti arah Mas Agha yang membukakan pintu. Tak lama berselang, Mas Agha menginjak pedal gas, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi, tak luput kutemui Mas Agha memandang ke arahku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. "Mutia, kamu cantik." Kalimat pujian kedua yang meluncur dari lisannya. Entah akan ada berapa pujian lagi yang hendak dia luncurkan. "Emm, kamu ingin makan di tempat mana?" "Aku terserah kamu aja, Mas." "Gimana kalau