Share

Pertolongan?

"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan."

Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor.

Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai.

"E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh.

Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu.

"Mutia, kamu mau ke mana?"

Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini.

Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab.

"Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas."

"Kenapa gak pakai mobil aja? Aku bisa anter, kok."

Wanita di samping Mas Agha menatapnya dengan tajam, tampak ia mencuil lengan Mas Agha sehingga ia mengaduh lirih.

"Tidak, Mas. Tidak usah. Aku bisa jalan kaki, lagian tempatnya deket kok dari sini."

Kurungkan niat untuk pergi ke market, belanjanya nanti-nanti aja dulu. Sebelum keluar, aku memang ada niatan untuk berkunjung ke panti asuhan tempat di mana dulu aku tingga. Semenjak menikah, aku bahkan tidak pernah berkunjung ke sana lagi.

"Gak apa-apa, Mutia. Aku bisa anter kok."

Ke mana dia dari kemarin, dari akhir tahun ini. Bahkan dia berani mengkhianati kesetiaanku. Aku tetap setia, walau dengan paksa nafkah lahir darinya selalu dirampas ibu mertuaku.

"Ih, Mas Aghachue, kenapa harus nawarin bantuan buat mantan istrimu sih. Namanya mantan itu kan ibarat barang bekas atau sampah, udah gak perlu kamu perhatiin lagi," cetus wanita dengan pakaian yang kekurangan itu. Singkat menurutku tapi pedas.

Sayangnya, aku ditakdir menjadi yatim piatu mungkin agar aku banyak belajar makna kehidupan. Hidup ini keras, maka aku harus kuat bertumpu pada kaki sendiri.

"Gak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Assalamu'alaikum."

Setelah menjawab balasan salam dari Mas Agha, aku langsung bergegas pergi. Tak peduli bagaimana wanita itu mengoceh, mungkin jika dibanding, aku akan lebih mendengarkan kicauan burung pipit daripada celotehannya.

Sesampainya di panti asuhan, kulihat pemandangan di mana setiap inci tempat itu menyimpan sejuta kenangan.

Di sini aku dulu berlari-lari, mengejar satu sama lain. Bermain ayunan, lompat tali, dan semua mainan yang mungkin anak jaman sekarang sudah tidak mengenalnya.

"Mutia, apa kabar?" tanya Bu Hanik, beliau adalah salah satu pengurus panti asuhan ini. Panti Asuhan Kasih Bunda.

"Alhamdulillah, baik, Buk. Ibuk gimana?"

Aku meneliti wanita di hadapanku, betapa kulitnya masih tetap segar walau sudah cukup berumur. Beliau sangat murah senyum, ramah terhadap orang lain, juga paling bisa menghibur anak-anak panti.

Diriku ini lah yang paling sering menyusahkan beliau dulu, aku sering menangis, rewel, dan masih banyak lagi. Suka sakit-sakitan juga. Namun, dari sini aku belajar bagaimana caranya bersyukur karena sekarang masih diberi kesehatan dan kesempatan.

Setelah berbincang santai, aku masuk ke dalam dan menyapa satu persatu anak-anak yang berbaris menyambutku. Melihat wajah-wajah mereka, aku jadi bernostalgia, penampilanku dulu tak jauh seperti mereka, berharap ada cahaya datang dan memutuskan untuk mengangkat kami sebagai anaknya.

Aku yang malang, memiliki nasib tidak seberuntung teman-temanku yang dibawa oleh orangtua barunya. Hingga sampai masanya aku memasuki usia menikah, Mas Agha datang untuk melamarku.

"Kalian mau permen?"

"Mau, Kak. Mau," sorak mereka bersama-sama dengan mengacungkan tangan mungilnya.

Aku bagikan permen dan beberapa kotak nasi untuk mereka, tampak sinar kebahagiaan terpatri dari wajah mereka masing. Mereka makan dengan sangat lahap.

Aku benar-benar merindukan suasana panti ini, aku mengajak Bu Hanik untuk mau menceritakan keadaan panti setelah aku pergi ikut suamiku.

Keadaannya ternyata masih sama, bedanya sekarang beliau sudah ditemani oleh beberapa pengurus untuk membantu memberi sedikit pendidikan untuk anak-anak.

"O iya, Tia. Sekarang juga, sudah ada hamba Allah yang setiap harinya selalu bersedekah di tempat ini, dia menyiapkan makan siang untuk anak-anak ini."

"Masya Allah, alhamdulillah, ya, Buk. Saya ikut seneng dengernya, semoga saja saya bisa mendapat kesempatan untuk berbuat baik seperti dia."

"Namanya Nak Ibrahim, perangainya bagus sekali. Seandainya saja ibuk punya anak perempuan, mungkin ibuk mau melamarkan dia untuk anak ibuk."

Kami tertawa bersama, terkadang Bu Hanik suka serius, tetapi beliau juga suka suka bercanda.

Percakapan kami terpotong saat tiba-tiba ada suara seseorang mengucap salam, aku menoleh setelah menjawabnya. Suara itu, agaknya aku pernah dengar suaranya.

"Nak Ibrahim, silakan duduk, Nak."

"Oh, tidak, Buk. Saya masih ada urusan. Saya langsung ingin bertemu anak-anak. Makanannya mau saya taruh di sini atau langsung saya bagikan ke anak-anak, Bu?"

"Di sini saja, anak-anak alhamdulillah sudah pada makan."

"Ibrahim? Apa mungkin, dia ...." monologku. Aku memutar ingatanku, di mana aku mendengar suaranya. Dilihat dari penampilannya, agaknya dia memang religius, juga laki-laki yang smart tapi rendah hati.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status