Share

Pertolongan?

Author: HaluMutu
last update Last Updated: 2022-04-07 12:53:17

"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan."

Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor.

Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai.

"E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh.

Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu.

"Mutia, kamu mau ke mana?"

Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini.

Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab.

"Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas."

"Kenapa gak pakai mobil aja? Aku bisa anter, kok."

Wanita di samping Mas Agha menatapnya dengan tajam, tampak ia mencuil lengan Mas Agha sehingga ia mengaduh lirih.

"Tidak, Mas. Tidak usah. Aku bisa jalan kaki, lagian tempatnya deket kok dari sini."

Kurungkan niat untuk pergi ke market, belanjanya nanti-nanti aja dulu. Sebelum keluar, aku memang ada niatan untuk berkunjung ke panti asuhan tempat di mana dulu aku tingga. Semenjak menikah, aku bahkan tidak pernah berkunjung ke sana lagi.

"Gak apa-apa, Mutia. Aku bisa anter kok."

Ke mana dia dari kemarin, dari akhir tahun ini. Bahkan dia berani mengkhianati kesetiaanku. Aku tetap setia, walau dengan paksa nafkah lahir darinya selalu dirampas ibu mertuaku.

"Ih, Mas Aghachue, kenapa harus nawarin bantuan buat mantan istrimu sih. Namanya mantan itu kan ibarat barang bekas atau sampah, udah gak perlu kamu perhatiin lagi," cetus wanita dengan pakaian yang kekurangan itu. Singkat menurutku tapi pedas.

Sayangnya, aku ditakdir menjadi yatim piatu mungkin agar aku banyak belajar makna kehidupan. Hidup ini keras, maka aku harus kuat bertumpu pada kaki sendiri.

"Gak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Assalamu'alaikum."

Setelah menjawab balasan salam dari Mas Agha, aku langsung bergegas pergi. Tak peduli bagaimana wanita itu mengoceh, mungkin jika dibanding, aku akan lebih mendengarkan kicauan burung pipit daripada celotehannya.

Sesampainya di panti asuhan, kulihat pemandangan di mana setiap inci tempat itu menyimpan sejuta kenangan.

Di sini aku dulu berlari-lari, mengejar satu sama lain. Bermain ayunan, lompat tali, dan semua mainan yang mungkin anak jaman sekarang sudah tidak mengenalnya.

"Mutia, apa kabar?" tanya Bu Hanik, beliau adalah salah satu pengurus panti asuhan ini. Panti Asuhan Kasih Bunda.

"Alhamdulillah, baik, Buk. Ibuk gimana?"

Aku meneliti wanita di hadapanku, betapa kulitnya masih tetap segar walau sudah cukup berumur. Beliau sangat murah senyum, ramah terhadap orang lain, juga paling bisa menghibur anak-anak panti.

Diriku ini lah yang paling sering menyusahkan beliau dulu, aku sering menangis, rewel, dan masih banyak lagi. Suka sakit-sakitan juga. Namun, dari sini aku belajar bagaimana caranya bersyukur karena sekarang masih diberi kesehatan dan kesempatan.

Setelah berbincang santai, aku masuk ke dalam dan menyapa satu persatu anak-anak yang berbaris menyambutku. Melihat wajah-wajah mereka, aku jadi bernostalgia, penampilanku dulu tak jauh seperti mereka, berharap ada cahaya datang dan memutuskan untuk mengangkat kami sebagai anaknya.

Aku yang malang, memiliki nasib tidak seberuntung teman-temanku yang dibawa oleh orangtua barunya. Hingga sampai masanya aku memasuki usia menikah, Mas Agha datang untuk melamarku.

"Kalian mau permen?"

"Mau, Kak. Mau," sorak mereka bersama-sama dengan mengacungkan tangan mungilnya.

Aku bagikan permen dan beberapa kotak nasi untuk mereka, tampak sinar kebahagiaan terpatri dari wajah mereka masing. Mereka makan dengan sangat lahap.

Aku benar-benar merindukan suasana panti ini, aku mengajak Bu Hanik untuk mau menceritakan keadaan panti setelah aku pergi ikut suamiku.

Keadaannya ternyata masih sama, bedanya sekarang beliau sudah ditemani oleh beberapa pengurus untuk membantu memberi sedikit pendidikan untuk anak-anak.

"O iya, Tia. Sekarang juga, sudah ada hamba Allah yang setiap harinya selalu bersedekah di tempat ini, dia menyiapkan makan siang untuk anak-anak ini."

"Masya Allah, alhamdulillah, ya, Buk. Saya ikut seneng dengernya, semoga saja saya bisa mendapat kesempatan untuk berbuat baik seperti dia."

"Namanya Nak Ibrahim, perangainya bagus sekali. Seandainya saja ibuk punya anak perempuan, mungkin ibuk mau melamarkan dia untuk anak ibuk."

Kami tertawa bersama, terkadang Bu Hanik suka serius, tetapi beliau juga suka suka bercanda.

Percakapan kami terpotong saat tiba-tiba ada suara seseorang mengucap salam, aku menoleh setelah menjawabnya. Suara itu, agaknya aku pernah dengar suaranya.

"Nak Ibrahim, silakan duduk, Nak."

"Oh, tidak, Buk. Saya masih ada urusan. Saya langsung ingin bertemu anak-anak. Makanannya mau saya taruh di sini atau langsung saya bagikan ke anak-anak, Bu?"

"Di sini saja, anak-anak alhamdulillah sudah pada makan."

"Ibrahim? Apa mungkin, dia ...." monologku. Aku memutar ingatanku, di mana aku mendengar suaranya. Dilihat dari penampilannya, agaknya dia memang religius, juga laki-laki yang smart tapi rendah hati.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Ciuman?

    "Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pria Bertopeng

    "Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Nikah? Jawab Sekarang?

    "Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Peristiwa Manis

    "Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Racun

    "Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Inikah Bisikan Jodoh?

    "Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status