Share

Bikin Malu Pelakor

Dor dor dor

"Mutia, keluar kamu. Mutia," seseorang memekik dari luar seiring pintu yang terus digedor.

"Iya sebentar."

Aku sibuk merapikan pakaianku, dan memutar gagang pintu dengan tangan yang lain.

"Ibuk?"

Wanita paruh baya itu menatapku tajam dengan tangan berkacak pinggang. Ia menerobos masuk ke dalam walau tanpa aku persilakan. Aku hanya bisa mengelus dada.

"Mutia, ingat, ya. Kamu masih punya hutang sama saya," ujarnya.

Aku mengernyitkan dahi, selama aku hidup dan menikah dengan Mas Agha, belum pernah tahu bagaimana rasanya berhutang. Minimal aku menahan perut jika lapar sedang melanda.

"Utang apa, Buk?"

"Gini, ya. Sekarang kan semua BBM naik nih. Dan kamu, sekarang sudah bukan istri Agha lagi, jadi semua fasilitas yang pernah kamu pakai selama di rumah saya, saya minta. Sini bayar."

"Oh iya lupa, kamu kan miskin. Mana ada kamu punya uang. Dan lagi, kamu hidup sebatang kara. Saudara mana yang mau belas kasihan buat ngebantuin."

Setelah memuntahkan hinaannya, wanita itu memindai ruangan yang aku tempati saat ini.

"Ini rumah kamu?"

"Bukan, Buk. Mutia ngontrak."

Aku masih berusaha semaksimal untuk sopan, setidaknya jika bukan karena mertua, karena menjaga etika pada yang tua.

"Pantes aja. Eh, tapi ngomong-ngomong uang dari mana. Jangan-jangan kamu maling ya di rumah saya sebelum kamu pergi."

"Gimana Mutia mau bawa sesuatu dari rumah ibu, kala itu ibu sama Widya kan sudah menyaksikan sendiri kalau aku pergi hanya membawa baju-bajuku saja."

"O iya, jangan lupa uang bajunya juga. Jadi yang kamu ganti bukan hanya fasilitas seperti tempat tinggal. Semua baju yang pernah dibelikan putra saya, kamu ganti semuanya."

Aku mengelus dada, betapa harus sedemikian, semua dihitung bahkan pada apa yang menjadi hakku. Nafkah itu hakku selama aku menjadi istri Mas Agha, dan saat itu aku masih istri sahnya bukan orang lain.

"Buk, sebaiknya ibuk duduk dulu biar Mutia bikinin teh, ya."

"Gak usah, paling-paling tehnya gak ada gulanya."

"Ya sudah, ibuk ke sini lagi aja setelah tiga hari, atau biar Mutia yang antar ke sana. Gimana?"

"Enggak, di rumah lagi akan ada acara, saya tidak mau di sana gupuh dan riuh hanya karena adanya kamu. Biar saya yang ke sini, dan ingat jangan sampai lupa."

"Baik, Buk. Berapa uang yang ibu inginkan. Saya tidak mau berhutang pada siapapun."

"Seratus juta."

Aku menanggapi dengan tenang, entah berapa setiap harinya aku beli tinggal di sana. Aku tidak pernah membayangkan bahwa selama ini aku telah menumpuk hutang.

"Gimana? Itu tuh sudah saya kasih harga paling murah, jadi jangan ditawar lagi. Enak aja, dikira rumah milik nenek moyangnya apa. Keluarga aja gak punya, gimana dengan nenek moyangnya. Asal usul yang gak jelas."

Kuembuskan napas pelan, aku bisa saja memberikan semuanya uang itu secara cash saat ini. Namun, tidak. Biarkan semua orang di sekitarku tidak tahu apa-apa.

Tahunya aku tidak punya apa-apa dan mereka akan terbelalak saat tahu kenyataannya nanti. Aku akan berusaha keras untuk membuktikannya.

Wanita itu pamit dengan tas tenteng waran hitam khas yang memang sering ia bawa ke mana-mana. Kutatap lengang kepergiannya. Seandainya ia mau menerimaku, maka aku akan sangat bersyukur dan menganggapnya lebih dari sekadar seorang mertua.

***

Mas Agha, ya itu Mas Agha. Kapan dia pulang. Bukan kah seharusnya proyeknya belum selesai bulan ini.

Saat mengetahui ternyata dirinya tidak sendirian, aku mengurungkan niatku untuk mampir ke sebuah market. Aku bisa menundanya, bisa datang lagi nanti.

'Jadi itu wanita pilihanmu, Mas. Cantik sih, apa karena kulit tubuhnya yang mulus dan mudah diekspos angin itu sehingga kamu lebih memilihnya.'

Kutundukkan pandangan selama berjalan menjauhi mereka. Suasana hatiku sedang tidak baik untuk sekadar basa-basa dengannya.

"Mutia! Mut, Muti."

Aku hapal betul itu suara Mas Agha, tapi untuk apa aku menggubrisnya. Dia bersama wanita lain, malah akan mengubah suasana hati nantinya. Aku memang sudah berusaha ikhlas, tetapi tidak semudah itu untuk melupakan semuanya dan menganggap tidak ada apa-apa.

"Mutia, tunggu."

Kupercepat langkahku, apa aku harus pindah dari kota ini untuk sementara waktu hingga perasaan ini benar-benar netral.

Tidak, jika aku menghindar maka aku lemah. Untuk apa menjadi lemah hanya karena lelaki yang tak pantas. Aku tidak boleh terlihat cengeng apalagi tak berdaya.

"Mutia, tunggu." Saat ini Mas Agha mencekal tanganku. Aku melepas dengan kasar.

"Jangan sentuh aku."

"Mutia, aku ingin bicara sebentar."

"Ouh, jadi ini yang namanya Mutia," seru wanita yang sedari tadi bergelayut manja di lengan Mas Agha. Ia menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Pantes aja Mas Agha ninggalin kamu, tubuh aja tidak terurus. Kurus sih, tapi gak ideal. Masak lurus kayak tiang, ups."

'Wanita ini mungkin tidak punya cermin di rumahnya. Masak, pakai lipstik aja belepotan. Bulu matanya hampir lepas pula.'

"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan."

Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status