"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan." Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor. Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai. "E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh. Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu. "Mutia, kamu mau ke mana?" Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini. Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab. "Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas." "Kenapa gak pakai mobil aja?
"Ibrahim itu siapa, Buk?" "Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini." Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku. "O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?" DegHatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu."Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah.
"Bingkisan apa lagi ini?" Aku mengleng kotak dengan sampul warna ungu di tangan, siapa sebenarnya yang sangat suka mengirimkan kotak-kotak misterius ini. Aku boleh membukanya? Semoga saja bukan orang iseng sehingga mengisi kotak ini dengan ular atau sebagainya. "Tidak, tidak ada desis." Pikiranku traveling, tidak mungkin ini uang lagi. Uang yang kemarin itu sudah terlalu banyak. "Eh, Mutia. Kebetulan sekali. Dari kemarin itu banyak banget yang nyariin kamu. Nanyain alamat kamu. Mutia Zahira. Jadi saya tunjukkan alamat rumah ini. Tidak apa-apa, kan?" seru Bu Kontrakan. Akhirnya kejanggalan ini terjawab, pantas saja. Tetapi, jika pak pos mungkin bisa saja bertanya ke rumah lama, lalu kebetulan bertemu bu kontrakan ini. Namun, jika manmer? "Temen saya juga pernah nanyain kamu. Kata sih mantan ibu mertua kamu, ya?" Ah, seakan ingin sekali kutepuk kening ini. Dunia bak selebar daun kelor saja. Ke mana pun aku pergi, ad
Sore ini kurasa cuaca cukup mendukung untuk merefresh hati, aku ingin keluar mencari refensi berjualan dan tempat strategis dalam proses berjalannya nanti. Di tengah asiknya berjalan kaki, kutemui semua ruko dengan ukuran sedang bertuliskan dijual. Di bawahnya juga tertera nomor untuk dihubungi, kurasa itu nomor pemiliknya. "Oh, kebetulan sekali ya, Pak. Bisa-bisa. Baik."Tak lama berselang, aku melihat ada seorang laki-laki yang datang dan membuka ruko tersebut. Pantas sekali, sebab saat aku hubungi tadi beliau langsung merespon dan mengatakan bahwa sedang berada di sekitar sini. Setelah saling berucap dan menjawab salam, aku memperkenalkan diri bahwa aku yang berminat pada ruko tersebut. Tempatnya strategis menurutku untuk berjualan makanan. Ya, aku ingin berjualan menu-menu makanan. Jika bisa, kuusahakan mengusung beberapa makanan khas yang pernah diajarkan saat di panti dulu. Setelah terjadi tawar menawar, ruko itu dijua
Pagi-pagi sekali, Al-Faqir sudah menelpon saat aku sibuk mempersiapkan apa saja yang hendak kubeli untuk persiapan hari esok membuka jualanku di hari pertama. "Baik, saya akan segera ke sana."Aku semakin dirundung rasa penasaran apa yang akan ia sampaikan, bagaimana juga dia memiliki rahasia-rahasia itu semua. Tanpa berpikir lama, aku akan menyelesaikan semua urusan penjualan nanti saja. Bisa dipikir sambil berjalan. Sesampainya di ruko, betapa terkejutnya aku ternyata ruko sudah rapih, bersih, bahkan ada benner besar bertuliskan "Welcom Bu Mutia Zahira" Siapa yang telah menyiapkan ini, aku jadi terharu dengan semuanya. Kuusap perlahan bekas air mataku, aku memang secengeng ini. "Ehem."Deheman itu, sepertinya aku mengenalnya. Aku menoleh, dan ternyata berdiri seorang berbadan tegap berambut ikal, dan bermata teduh. "Saya Ibrahim," serunya memperkenalkan diri. Aku sontak menurunkan pandangan, la
Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a
"Kenapa bengong, dari tadi saya perhatikan kamu ngelamun. Ada apa?" tanya Ibrahim dengan nada menyelidik. Entah kenapa aku jadi merasa lebih nyaman jika panggil dia Al-Faqir. "Apa? Kamu perhatiin aku?" "Enggak, gak sengaja aja beberapa berpapas pandang, bengooong aja.""Hei, Al-Faqir. Kamu ini sebenernya siapa sih. Tiba-tiba nongol.""Ya, saya manusia. Seperti yang kamu dan orang-orang lihat.""Iya, tapi maksud aku tuh. Kenapa bisa gitu kamu mendapat amanah mengenai uang dan wasiat-wasiat itu, sebenernya orang itu siapa. Siapa yang sudah ngasih uang itu sama aku?" "Yang jelas, sekarang kamu harus bisa menggunakan itu dengan baik, kamu gunakan kesempatan ini."Pria di hadapanku sedang asik makan, ia berhenti mengunyah bahkan menyendok makanan di mangkuk setiap kali menjawab atau bertanya padaku. "Buk, terima kasih, ya," ucap tamu undangan bergantian. Mereka bersalaman, lalu pulang. Alhamdulillah, ak
Setelah dari panti, waktu sudah menjelang senja. Kami sengaja berlama-lama di sana karena ada satu anak yang tidak mau ditinggal Ibrahim, dia menangis dan terus menempel di pangkuannya. "Betapa Ibrahim ini sangat penyayang, lihat saja ia seperti magnet yang mana besi-besi akan langsung menempel saat didekatinya," lirihku, sembari menyaksikan Ibrahim yang bermain riang dengan anak-anak panti, sesekali ia bercanda dan sesekali ia bercerita. "Bang Ibrahim, sering-sering ke sini, ya. Kami suka cerita-ceritanya."Pria itu mengulas senyum, maka dijadikannya sebuah bujukan agar dirinya bisa pamit pulang. Pandai juga rupanya mencari moment. "Nah, kalau pengen Bang Ibrahim sering ke sini, sekarang kalian harus bolehin abang pulang dulu, gimana?" Tampak anak berusia sekitar enam tahun itu kebingungan memutar bola manatanya mungkin tengah memahami maksud dari yang Ibrahim katakan. Tak lama berselang, ia berdiri dan mengiyakan kepergian kami.