Share

Bikin Malu Pelakor

Author: HaluMutu
last update Last Updated: 2022-04-07 12:52:18

Dor dor dor

"Mutia, keluar kamu. Mutia," seseorang memekik dari luar seiring pintu yang terus digedor.

"Iya sebentar."

Aku sibuk merapikan pakaianku, dan memutar gagang pintu dengan tangan yang lain.

"Ibuk?"

Wanita paruh baya itu menatapku tajam dengan tangan berkacak pinggang. Ia menerobos masuk ke dalam walau tanpa aku persilakan. Aku hanya bisa mengelus dada.

"Mutia, ingat, ya. Kamu masih punya hutang sama saya," ujarnya.

Aku mengernyitkan dahi, selama aku hidup dan menikah dengan Mas Agha, belum pernah tahu bagaimana rasanya berhutang. Minimal aku menahan perut jika lapar sedang melanda.

"Utang apa, Buk?"

"Gini, ya. Sekarang kan semua BBM naik nih. Dan kamu, sekarang sudah bukan istri Agha lagi, jadi semua fasilitas yang pernah kamu pakai selama di rumah saya, saya minta. Sini bayar."

"Oh iya lupa, kamu kan miskin. Mana ada kamu punya uang. Dan lagi, kamu hidup sebatang kara. Saudara mana yang mau belas kasihan buat ngebantuin."

Setelah memuntahkan hinaannya, wanita itu memindai ruangan yang aku tempati saat ini.

"Ini rumah kamu?"

"Bukan, Buk. Mutia ngontrak."

Aku masih berusaha semaksimal untuk sopan, setidaknya jika bukan karena mertua, karena menjaga etika pada yang tua.

"Pantes aja. Eh, tapi ngomong-ngomong uang dari mana. Jangan-jangan kamu maling ya di rumah saya sebelum kamu pergi."

"Gimana Mutia mau bawa sesuatu dari rumah ibu, kala itu ibu sama Widya kan sudah menyaksikan sendiri kalau aku pergi hanya membawa baju-bajuku saja."

"O iya, jangan lupa uang bajunya juga. Jadi yang kamu ganti bukan hanya fasilitas seperti tempat tinggal. Semua baju yang pernah dibelikan putra saya, kamu ganti semuanya."

Aku mengelus dada, betapa harus sedemikian, semua dihitung bahkan pada apa yang menjadi hakku. Nafkah itu hakku selama aku menjadi istri Mas Agha, dan saat itu aku masih istri sahnya bukan orang lain.

"Buk, sebaiknya ibuk duduk dulu biar Mutia bikinin teh, ya."

"Gak usah, paling-paling tehnya gak ada gulanya."

"Ya sudah, ibuk ke sini lagi aja setelah tiga hari, atau biar Mutia yang antar ke sana. Gimana?"

"Enggak, di rumah lagi akan ada acara, saya tidak mau di sana gupuh dan riuh hanya karena adanya kamu. Biar saya yang ke sini, dan ingat jangan sampai lupa."

"Baik, Buk. Berapa uang yang ibu inginkan. Saya tidak mau berhutang pada siapapun."

"Seratus juta."

Aku menanggapi dengan tenang, entah berapa setiap harinya aku beli tinggal di sana. Aku tidak pernah membayangkan bahwa selama ini aku telah menumpuk hutang.

"Gimana? Itu tuh sudah saya kasih harga paling murah, jadi jangan ditawar lagi. Enak aja, dikira rumah milik nenek moyangnya apa. Keluarga aja gak punya, gimana dengan nenek moyangnya. Asal usul yang gak jelas."

Kuembuskan napas pelan, aku bisa saja memberikan semuanya uang itu secara cash saat ini. Namun, tidak. Biarkan semua orang di sekitarku tidak tahu apa-apa.

Tahunya aku tidak punya apa-apa dan mereka akan terbelalak saat tahu kenyataannya nanti. Aku akan berusaha keras untuk membuktikannya.

Wanita itu pamit dengan tas tenteng waran hitam khas yang memang sering ia bawa ke mana-mana. Kutatap lengang kepergiannya. Seandainya ia mau menerimaku, maka aku akan sangat bersyukur dan menganggapnya lebih dari sekadar seorang mertua.

***

Mas Agha, ya itu Mas Agha. Kapan dia pulang. Bukan kah seharusnya proyeknya belum selesai bulan ini.

Saat mengetahui ternyata dirinya tidak sendirian, aku mengurungkan niatku untuk mampir ke sebuah market. Aku bisa menundanya, bisa datang lagi nanti.

'Jadi itu wanita pilihanmu, Mas. Cantik sih, apa karena kulit tubuhnya yang mulus dan mudah diekspos angin itu sehingga kamu lebih memilihnya.'

Kutundukkan pandangan selama berjalan menjauhi mereka. Suasana hatiku sedang tidak baik untuk sekadar basa-basa dengannya.

"Mutia! Mut, Muti."

Aku hapal betul itu suara Mas Agha, tapi untuk apa aku menggubrisnya. Dia bersama wanita lain, malah akan mengubah suasana hati nantinya. Aku memang sudah berusaha ikhlas, tetapi tidak semudah itu untuk melupakan semuanya dan menganggap tidak ada apa-apa.

"Mutia, tunggu."

Kupercepat langkahku, apa aku harus pindah dari kota ini untuk sementara waktu hingga perasaan ini benar-benar netral.

Tidak, jika aku menghindar maka aku lemah. Untuk apa menjadi lemah hanya karena lelaki yang tak pantas. Aku tidak boleh terlihat cengeng apalagi tak berdaya.

"Mutia, tunggu." Saat ini Mas Agha mencekal tanganku. Aku melepas dengan kasar.

"Jangan sentuh aku."

"Mutia, aku ingin bicara sebentar."

"Ouh, jadi ini yang namanya Mutia," seru wanita yang sedari tadi bergelayut manja di lengan Mas Agha. Ia menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Pantes aja Mas Agha ninggalin kamu, tubuh aja tidak terurus. Kurus sih, tapi gak ideal. Masak lurus kayak tiang, ups."

'Wanita ini mungkin tidak punya cermin di rumahnya. Masak, pakai lipstik aja belepotan. Bulu matanya hampir lepas pula.'

"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan."

Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Ciuman?

    "Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pria Bertopeng

    "Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Nikah? Jawab Sekarang?

    "Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Peristiwa Manis

    "Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Racun

    "Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Inikah Bisikan Jodoh?

    "Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status