Share

150 Juta?

"Ibrahim itu siapa, Buk?"

"Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini."

Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku.

"O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?"

Deg

Hatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu.

"Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."

Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak.

"Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah. Semua sudah terjadi, semua ini bukan kesalahan siapa-siapa.

"Ini semua sudah manjadi bagian takdir, Buk. Tidak ada yang perlu kita sesali."

"O iya, Nak. Ibu menyimpan sesuatu milikmu. Dulu, saat kamu menikah, ibu lupa memberikannya."

"Apa, Buk?"

Bu Hanik beringsut meninggalkanku, aku yang tengah sendirian merasa tidak nyaman jika berdiam saja tanpa melakukan apa-apa.

*Pura-pura baik, tapi nyatanya tidak bisa mempertahankan biduk rumah tangga. Untuk apa ke panti asuhan jika kiranya keluarganya berantakan.

Status adik iparku yang sangat menyesakkan hati. Menyesal sekali diriku ini harus membuka aplikasi ini, jelas sekali ke mana arah kalimat yang mereka umpankan ini.

*Eh, jeng. Siapa nih yang kamu omongin? Pasti mantan menantumu, ya?

*Emang dia punya uang pergi ke panti?

*Ke panti kan tidak perlu uang, Jeng. Orang-orangnya memiliki selera rendah semua, jadi cukup bawa kacang rebus aja udah seneng gak ketulungan.

*Ups, lupa, Jeng. Dia kan juga dari panti asuhan, ya?

*Iya, Jeng. Nyesel sudah menikahkan mereka, karena ..... kita lanjut inbox aja ya, Jengsay.

Semakin geram kudibuatnya, betapa orang yang seperti ini harus segera dibungkam. Entah apa yang menarik dari pembahasan itu sehingga mengundang puluhan komentar. Semua rata-rata dari teman arisan mantan ibu mertuaku.

*Jeng, Agha sudah tidak punya perasaan lagi kan sama dia?

*Hahaha, gimana mau ada perasaan, kalau sudah diurus rapi-rapi oleh jengchue ini, iya enggak, Jeng?

*Yang sekarang tuh 180 derajat beda banget, kemarin aja, saya dibelikan emas batangan. Katanya buat disimpan jika sewaktu-waktu butuh bisa dijual.

*Wah wah wah, hoki banget, Jeng. Baru aja kehilangan mantu, langsung diganti mantu yang tajir melintir.

*Gimana nggak tajir, Jeng. Usaha bokapnya di mana-mana. Kalau si M sih, gak ada apa-apanya. Paling taunya kasur, dapur, sumur. Wkwkwk.

Entah aku tidak memahami sebagian kalimat komentar mereka, yang jelas aku akan membuktikan bahwa aku tidak sehina seperti yang mereka sangka.

'Aku akan segera sukses, kan kubuat kalian tahu kekuatan wanita yang sebenarnya. Aku diam bukan berarti kalah dengan celoteh tidak berguna ini. Entah berapa jam yang mereka luangkan hanya untuk mengupas dan mengorek aib orang lain.'

"Nak Mutia, ini. Ini adalah wasiat yang pernah diberikan oleh orangtuamu. Ayah dan ibumu. Mereka berpesan agar memberikan padaku jika sudah masuk usia menikah, tapi ibu lupa. Ibuk minta maaf, ya."

Aku menggeleng, lalu mengelus pundak Bu Hanik. Wajar jika beliau lupa, yang beliau urus bukan hanya aku saja.

Setelah kurasa cukup menikmati nostalgia ini, aku pun pamit pulang. Hari ini cukup melelahkan. Bertemu Mas Agha dengan wanitanya, membaca komentar-komentar tak bermutu akibat ulah mantan mertua.

Tak lama berselang, aku sampai rumah. Kuempaskan tubuh ke sofa. Tidak ada yang lebih berharga dari semua ini kecuali syukur yang harus ditingkatkan lagi.

Tok tok tok

Aku bangkit dengan tubuh yang masih merasakan penat, siapa yang sudah bertamu terik-terik begini.

"Iya sebentar."

Saat kuputar gagang pintu, tangan kanan seseorang yang muncul menengadah tepat di hadapanku. Astaghfirullah, apa ini hantu?

"Mana?"

Aku mengernyitkah dahi setelah menghembuskan napas lega. Ternyata mantan ibu mertua yang katanya baik hati dan tidak sombong.

"Silakan masuk dulu, Buk."

"Tidak usah, saya rasa tidak perlu kelamaan menunggu. Saya butuh uang seratus juga itu. Saya minta kamu cari uang itu sekarang. Cari pinjaman atau apa gitu," cetusnya. Ia menolak kutawari air dan segala macamnya.

"Di rumah saya malah sekarang jauh lebih banyak makanan mewah, saya punya menantu tajir melintir, jadi tidak butuh semua suguhan orang rendahan seperti kamu. Sini cepetak uangnya."

"Baik, Buk. Tunggu sebentar di sini."

Saat aku kembali dari dalam kamar, ternyata mantan ibu mertuaku sudah duduk di kursi ruang tamu. Ternyata tidak tahan penat pula rupanya.

Sengaja sekali aku berlama-lama di dalam kamar, aku masih belum percaya dengan banyaknya uang yang kusimpan saat ini. Bungkusan cokelat yang kuterima cukup besar dan berat. Entah Hamba Allah yang mana lagi yang berbaik hati memberikan ini semua.

"Eh, di luar terik ya, Buk?"

"Sudah jangan banyak protes."

"Mau Mutia ambilkan minum?"

"Tidak usah. Sudah jangan banyak omong, saya keburu mau ajak menantu saya belanja. Buruan!"

Kuletakkan beberapa bendel uang yang sudah kuhitung sebelumnya, dan dengan sangat sengaja aku bawa uangnya lebih. Sehingga menjadi 150 juta.

"Ini, Buk. Silakan dihitung dulu."

Mata tajam manmer (mantan mertua) ini menatapku tidak suka.

"Gimana, Buk? Pas kan?"

"Lebih, apa maksudnya ini?"

"Lebihnya itu buat bayar bunganya, itung-itung bonus karena sudah iba memberi saya tumpangan selama ini."

"Halah, baru punya uang segini aja sudah sombong. Jangan-jangan hasil pesugihan. Sudah lah, saya pergi. Yang terpenting, saya tidak ada urusan lagi sama kamu."

"Baik, Buk. W*'alaikumussalam," sindirku saat manmer pergi tanpa mengucap salam.

Beliau menoleh, dan menatap tajam ke arahku sejenak lalu pergi.

"Nyata adanya mertua yang seperti itu. Astaghfirullah."

Mendengar kalimat ujaran ibu, ingin mengajak menantunya belanja. Saat aku di posisi menantu tersebut, jangankan belanja, dikasih makan saja dengan tenang saja rasanya merupaka dambaan yang harus dirindu-rindukan. Terlebih setiap Mas Agha pergi kerja.

"Danaukan lah hati hamba-Mu ini, ya Rabb."

Dadaku masih sakit, mungkin semua ini akibat sebab hati ini masih terlalu sempit.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk lagi saat baru setelah lima menit aku menutupnya. "Iya, sebentar."

Apa mungkin itu manmer yang kembali lagi? Ada-ada saja dalam hidup ini. Kurasa setelah pergi dari rumah itu akan menjadi tenang, tentram, dan damai. Ternyata tidak.

"Semoga tidak ada lagi stok mertua yang sepertinya, sehingga tidak ada Mutia Mutia lain yang harus merasakan penderitaanku ini."

Bersambung...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita abal²
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status