Share

BAB 6 Ipar Munafik

"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.

Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya.

"Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku.

"Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku.

"I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar.

Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.

Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiarkan batinku tenang! demi apapun aku berani bersumpah jika tak ada sedikit pun aku mendorong Kakak Iparku sampai jatuh tersungkur seperti itu.

Aku hanya menunduk dalam diam, meski tak bersalah tapi ... memangnya aku bisa apa? ya Allah ... harus perih yang bagaimana lagi? baru dua hari tapi jiwaku begitu tersiksa di tempat ini.

"Jadi kamu benar-benar ingin menentang saya ya?! benar adanya ucapan jika kamu hadir kerumah ini adalah sebagai malapetaka di keluarga ini?!" ucapnya.

Hatiku tersayat. Memang siapa yang mau dirinya menjadi malapetaka untuk keluarganya sendiri?

"Astagfirullah ... enggak Bu! Marya ga ngelakuin itu," tuturku dengan nada bergetar dan juga isak tangis.

Tanpa mendengarkan penjelasan dariku, wanita paruh baya di depanku ini menjambak rambutku kasar tanpa aba-aba, membuatku menggelinjang kesakitan, ia menarik rambut di balik hijabku dengan kuat.

Membawa tubuh ini keluar dari tempat cuci. Hijabku sudah tak beraturan, kemudian aku dibawa ke ruang tengah dan dilemparnya tubuhku kesembarang arah.

Bugh!

"Akhh ...." Dahi ku terbentur oleh ujung meja kayu yang ada di ruang tengah, hingga para pembantu menatapku dengan khawatir dan kasihan tetapi mereka hanya terdiam membisu melihatku diperlakukan seperti ini.

Yahh ... aku tak bisa menyalahkan mereka, karena memang tak mungkin untuk membelaku, itu hanya akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Wanita tua bersanggul itu berjalan mendekatiku, ia memegang daguku erat. "Kamu saya diamkan, malah ngelunjak dan berani nyakitin anak-anak saya ya?" ucapnya, dengan tatapan kebencian terhadapku.

"Ndak Buk! Marya ga ngelakuin apa yang dikatakan oleh Mbak Jeni, beneran Buk!" Aku terus membela diri, karena memang itulah kenyataannya, meski ... membela diri sekalipun tak akan didengar oleh wanita paruh baya di depanku ini.

"Oohh ... jadi kamu nuduh saya bohong? Buk! lihatlah lancangnya menantumu itu, dia itu munafik!" hasut kakak ipar pertamaku dengan terus memprovokasi Bu Wasida, ia muncul dengan tubuh yang dipapah oleh Mbok Yem.

"Mbak yang munafik! Mbak yang duluan mengganggu saya, Mbak juga jatuh sendiri, saya ga ada dorong Mbak-"

Plakkkk!

Tamparan keras mendarat di pipiku, luar biasa nyerinya. ibu mertua menamparku kuat-kuat hingga meninggalkan bekas di wajahku. Senyuman penuh kemenangan terulas sempurna di wajah kakak iparku saat ini.

"Kamu berani mengatai putri sulung saya munafik? ingat baik-baik kalau dia ini kakak iparmu, kakak tertuamu!" ucap ibu mertua dengan penuh penekanan, bagaimana bisa aku diam saja seperti ini?

Aku dituduh seenaknya! aku mungkin bisa diam kemarin, karena memang aku bersalah telah menjatuhkan barang mahal di rumah ini, tapi kali ini tidak bisa! semuanya fitnah! dan aku merasa benar, jika aku diam artinya aku membenarkan fitnah yang tidak aku lakukan ini.

Sementara kakek selalu bilang padaku, "Nduk, meski kita miskin, jangan pernah gentar jika kamu tak bersalah, tunjukkan jika kamu memang benar, dan malu lah jika kamu melakukan kesalahan."

Itu adalah nasehat yang selalu aku pegang erat sampai saat ini, sesusah apapun hidupku, jangan pernah takut jika diri ini tak melakukan kesalahan, apalagi fitnah yang jelas-jelas adalah salah!

"Enggak Bu ... tapi memang benar saya tidak melakukan semua yang dituduhkan oleh Mbak Jeni," ucapku terus berusaha menyakinkan ibu mertuaku, meski ia justru malah semakin panas dan murka padaku.

"Buk lihat itu! lihai sekali ia bersandiwara, padahal tadi dengan berani ia melawanku dan mendorongku sampai jatuh dan lecet begini!" timpal wanita berambut pirang itu dengan penuh dusta, aku melawan? mendorong? mustahil!

"Ada apa ini? kenapa kalian malah berkumpul di ruang tengah?" ucap suara lelaki yang kukenal, itu suara Mas Rey.

Aku mengembangkan senyuman, tapi belum sempat aku berdiri dan meminta perlindungan padanya, Mbak Jeni berlari mendekati suamiku dengan kaki tertatih.

"Loh, Mbak kenapa? kok kakinya gitu?" tanyanya heran, aku hendak membuka suara tapi ibu mertua mencubit lenganku dan memperingatkan aku untuk diam membisu, entah kenapa keberanianku menjadi ciut saat ini, aku tak bisa berkata-kata dan hanya diam.

"Dek! ajarin istrimu untuk menghormati aku sebagai kakak iparnya, bisa-bisanya dia menjambak rambutku, memakiku, dan lalu mendorongku sampai seperti ini," rengek Mbak Jeni, semuanya yang ia katakan dipenuhi oleh dusta.

Mas Rey menoleh kearahku dengan tatapan meminta penjelasan, aku hanya menatapnya nanar dan berharap ia bisa melihat kebenaran di mataku.

Pria itu mendekat ke arahku, membuat ibu mertua menjauh tapi tetap dengan tatapan intimidasi terhadapku.

"Dek? bener yang dikatakan Mbak Jeni?" tanyanya, sungguh aku ternganga akan pertanyaan dari lelaki di depanku ini, ia ragu padaku?

"Gausah kamu tanyain lah Dek! namanya maling mana ada yang ngaku, kalo dia ngaku dengan jujur mungkin masalahnya udah selesai dari tadi!" timpal Mbak Jeni, tak tau lagi aku harus berkata seperti apa.

Lihai sekali iparku ini memainkan kata-kata dan membolak-balik fakta yang sebenarnya.

"Cukup Mbak! Mbak mending istirahat saja, sakit kan kakinya? biar aku yang nasehati istriku" tutur Mas Rey pada kakak perempuannya itu.

Ia kemudian membantuku berdiri untuk membawaku masuk ke dalam kamar kami berdua.

"Kamu pokoknya jangan percaya sama wanita munafik itu Dek! dia itu ular berbisa!" hasut Mbak Jeni, suamiku tetap tenang dan diam.

Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, apakah penilaian suamiku terhadapku akan berubah? ekspresi wajahnya tampak sulit ditebak.

Aku selalu berpikir jika orang lain di dunia ini tak lagi percaya padaku, peduli padaku, atau menghargai diriku ini, aku tak apa! tak masalah! tak peduli! tapi aku mohon ... jangan Mas Rey, suamiku.

Lelaki bertubuh proposional itu menuntunku menuju kasur, ia membuang napasnya dengan kasar dan menatapku dingin. Tapi pria ini tak mengutarakan sepatah katapun, lelaki itu hanya terus menatapku.

"Mas ... ga percaya sama aku?" ucapku memulai pembicaraan.

"Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya.

"Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status