Home / Rumah Tangga / Menantu yang Tak Diinginkan / BAB 7 Pergi Dari Rumah Mertua

Share

BAB 7 Pergi Dari Rumah Mertua

Author: Riffi
last update Last Updated: 2023-07-11 21:01:42

Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua.

"Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan.

"Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya.

"Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya."

Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku.

"Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.

Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?

Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan.

"Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-"

"Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa aku mengendalikan ucapan dan pikiranku saat ini.

Lebih menjengkelkan lagi saat lelaki di depanku ini hanya terdiam tanpa menjawab, sepertinya memang benar pikiranku tentang Mas Rey adalah lelaki yang sangat mencintai keluarganya, yah ... 'keluarganya' bukan 'keluarga luar' sepertiku.

Aku meneguk saliva, mempertimbangkan sebuah keputusan yang entah benar atau salah untuk aku ambil.

"Aku akan pulang kerumahku." Aku berdiri kemudian mengambil koperku dan memindahkan semua pakaianku yang ada di lemari kedalam koper berukuran sedang milikku.

"Jangan gegabah Dek ... kita cari penyelesaiannya bareng-bareng, ya?" ujar pria itu, ia menatapku sendu, tampak ada penyesalan di matanya. Tapi hal itu sudah tak aku pedulikan lagi saat ini, aku sudah cukup kecewa kali ini.

"Udah selesai Mas! semuanya udah selesai, tak ada kepercayaanmu padaku, lantas apa yang mau dijelaskan lagi?!"

Emosiku meledak tak terkendali, aku tau menentang suami adalah hal yang salah, tapi untuk kali ini aku ingin egois sekali saja, demi kewarasanku.

"Kumohon biarkan aku tenang untuk sementara waktu ini, Mas."

Mendengar itu Mas Rey nampak mengendurkan genggamannya padaku, aku menepis kasar tangannya.

Aku beranjak membuka pintu kamar dan melangkahkan kaki keluar ruangan. Nampak ada Mbok Yem yang menatap sendu padaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman getir.

"Mau kemana Non?" Mbok Yem melirik ke arah koper yang aku bawa di tangan kananku.

"Mencari ketenangan Mbok, Marya pamit ya?" Ucapan itu dibalas dengan anggukan lemah Mbok Yem, ia tak banyak bertanya lagi, dan sepertinya Mbok Yem lebih mengerti perasaanku dibandingkan dengan suamiku sendiri.

Aku melanjutkan langkah untuk keluar, sesaat aku menghentikan langkahku ketika mendapati Ibu Wasida dan Mbak Jeni tengah duduk santai di ruang tamu.

Aku menoleh ke arah mereka sebentar, mereka terlihat tersenyum penuh kemenangan. Luar biasa drama keluarga ini, ternyata memang hal inilah yang mereka nantikan sejak kemarin.

Meski emosiku sedang meluap dan dipenuhi amarah saat ini, aku menurunkan egoku untuk tetap berpamitan pada mereka. "Saya pamit Buk, Mbak, saya mau pulang ke rumah saya untuk sementara waktu."

"Lah? ga selamanya aja Mar? masih ada muka kamu balik lagi kesini?"

kakak iparku mengatakan kalimat itu dengan senyuman sinisnya, aku mengabaikan perkataannya dan tak menjawab sepatah katapun selain salam pamit.

"Assalamualaikum," ucapku, kemudian bergegas pergi dari rumah mewah nan megah bagai istana ini, tetapi bagaikan neraka untukku.

Aku kembali pulang ke rumah tua milik mendiang kakek dan nenek, untungnya ada angkot yang memang melewati jalan ke arah rumahku.

Jaraknya tidak terlalu jauh, masih satu wilayah desa tetapi berbeda RT. Rumah peninggalan dari kakek dan nenek ini sangat sederhana, masih berdinding papan kayu tua dengan cat warna putih yang sudah hampir pudar, rumah petak berukuran kecil.

Mungkin bagi sebagian orang rumah ini sangat sesak, sempit, dan tak layak huni. Tapi bagiku ini adalah rumah ternyaman bagiku, aku jadi mengingat kehangatan keluargaku saat ibu, kakek, dan nenek masih hidup dan sehat. Mereka selalu memanjakan diriku saat itu, meski bukan dalam bentuk materi tentunya.

Sempat aku berpapasan dengan beberapa tetanggaku, mereka menanyakan ini dan itu, kenapa aku pulang sendirian dan lain-lain.

Tapi semuanya tak ada yang aku jawab, biarlah mereka berspekulasi macam-macam, sudah cukup lelah batinku dengan berpura-pura baik-baik saja.

Aku mengistirahatkan tubuhku di kasur kapuk yang adalah tempat tidurku, aku meringkuk dan memeluk diriku sendiri seperti orang yang kedinginan dan kesepian.

Di sini aku menumpahkan segala emosiku, menangis tersengal-sengal tanpa henti, di saat ini aku berfikir apakah aku harus mengakhiri hubungan ini? baru dua hari saja batinku sudah menggila, apalagi setahun? dua tahun? selamanya?

****

Aku membuka mata perlahan, kulihat langit-langit yang berasal dari anyaman bambu itu. Sepertinya aku ketiduran hingga fajar, sesaat aku mengambil benda pipih yang terdapat di atas nakas tua samping tempat tidur, huftt ... ternyata sudah waktunya sholat subuh.

Kakiku melangkah menuju belakang rumah, menghidupkan keran air untuk berwudhu hingga akhirnya menunaikan sholat subuh.

Perasaanku mulai membaik dan tenang, sungguh luar biasa memang jika ada masalah dan mengobatinya dengan mendekatkan diri pada-Nya. Kedua tanganku terangkat ke atas untuk memanjatkan doa.

"Ya Allah ... maafkan hamba yang selalu tak luput dari segala dosa duniawi, maafkan hamba juga yang malah lari dari masalah tanpa mencoba untuk berjuang membela diri, maaf ... hanya kepada Engkaulah, hamba berserah diri."

Air mata mengalir begitu saja di setiap kalimat doa yang terucap di bibirku, apa aku salah dengan meninggalkan Mas Rey begitu saja tanpa memberikan penjelasan?

Tapi bagaimana mau kucoba jelaskan, jika sudah ada keraguan atas diriku ini di mata lelaki yang selama ini aku percaya?

Kini aku beranjak dari kamar menuju halaman belakang rumah, meski lahannya tak begitu luas, tetapi di halaman belakang ini terdapat beberapa tanaman yang memang sengaja mendiang kakek dan nenek tanam, sejak sepeninggal mereka akulah yang merawat tanaman yang ada di sini.

Ada tanaman singkong, ubi ungu, tomat, cabai, terong, dan beberapa rempah bumbu dapur yang biasanya sering digunakan untuk memasak.

Biasanya jika keluarga kami sedang krisis ekonomi, tanaman inilah yang menyelamatkan kami sekeluarga dari rasa lapar. Aku tersenyum lebar ketika melihat tanamannya tumbuh dengan segar, sepertinya aku akan panen kali ini.

Meski lumayan banyak yang bisa dipanen, tapi aku hanya mengambilnya sesuai kebutuhan saja. Jika nanti kurang, bisa ambil lagi sesuka hati.

Aku merebus singkong yang telah aku kupas dan bersihkan, kemudian beralih untuk membuat sambal terong pedas kesukaanku.

Luar biasa nikmatnya makananku kali ini, berbeda sekali jika berada di rumah Mas Rey. Meski banyak lauk daging dan makanan mahal, rasanya malah kurang nikmat!

Saat aku masih menikmati sarapan pagi ku dengan lahap, tiba-tiba ada suara ketukan pintu membuat kegiatan makan yang aku lakukan terhenti.

Tok ... tok ... tok

"Marya?"

"Loh? suara itu kan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 45 Digusur

    "Ke—Kenapa, Mas? Ruko kita kenapa?" Melihat wajah Rey yang tiba-tiba pucat pasi setelah menerima telepon, membuat Marya ikut khawatir."Kita diusir dari ruko, Dek. Kita tidak boleh berjualan di sana lagi," jawab Rey, ia menggenggam erat ponsel di tangannya."Hah?! Bukannya kita sudah bayar sewanya selama beberapa bulan ke depan, Mas?!" tanya Marya yang masih tak mengerti dengan perkataan sang suami.Kenapa tiba-tiba pemilik ruko tidak mengizinkan Marya dan Rey berjualan? Pasangan suami istri itu tidak pernah menunggak pembayaran ataupun sulit ditagih soal membayar uang sewa. Bahkan Rey selalu membayarkan langsung untuk satu atau dua bulan ke depan."Mas juga ga paham, ayo kita kesana dan bicara langsung dengan Pak Jaki." Marya mengangguk setuju dan mereka langsung bergegas menuju lokasi ruko mereka.Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika telah sampai di depan ruko, semua barang-barang dagangan mereka sudah dipindahkan ke teras. Seakan mereka diusir secara paksa oleh pemilik ruko."M

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 44 Kembali Normal

    "Sepertinya mereka meminta bantuan kepada orang lain yang memang ahli dalam menangkal sihir yang saya tanamkan di sana.""Gak! Ga bisa gitu dong, Mbah! Saya sudah bayar untuk ini, kenapa masih bisa gagal?!" pekik Lia yang masih tak terima."Mau bagaimana lagi? Sepertinya kamu memang tengah berurusan dengan orang yang salah," sahut Mbah Jayeng."Bahkan mereka belum benar-benar bangkrut, Mbah! Masa udah ketahuan?!"Lia begitu frustasi kali ini, rencananya untuk menghancurkan Rey dan Marya selalu berantakan dan gagal. "Saran saya, lebih baik kamu berhenti mengharapkan lelaki itu. Keteguhan iman dan rasa cinta lelaki itu terhadap istrinya yang sekarang, tidak bisa saya tembus dan saya hancurkan."Mendengar kalimat nasehat dari Mbah Jayeng, ternyata tidak dapat membuat keinginan Lia memudar dan menyerah begitu saja. "Cukup, Mbah! Ga usah omong kosong lagi, Mbah saja yang ilmunya tidak mumpuni," sahut Lia dengan emosi.Lia pergi meninggalkan gubuk tua itu dengan perasaan dongkol dan kecewa.

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 43 Pembersihan

    "Ini disebut sebagai santet penghilang rezeki, ilmu hitam ini menyasar pada kelancaran rezeki seseorang, pemilik ilmu sihir akan menutup energi positif tempat ini agar penghasilan korbannya bisa turun, bahkan bangkrut," jelas Ustadz Yusuf."Astagfirullah, siapa orang yang tega ngelakuin hal seperti ini?" lirih Marya. Ia tak menyangka jika ada seseorang yang seniat itu untuk membuat usahanya hancur."Lalu, apa yang harus kita lakukan agar sihir hitam ini hilang, Ustadz?" tanya Rey."Kita akan melakukan pembersihan dengan meruqyah tempat ini, sementara Ustadzah Asa dan kalian akan mencari benda sihir yang ditanamkan di tempat ini," jawab Ustadz Yusuf. Semua orang mengangguk setuju.Semuanya berpencar, Ustadzah Asa, Ani, dan Andi mencari di sekitar luar ruko, sementara Marya dan Rey mencari di dalam ruko. Ketika semua orang sibuk mencari, Ustadz Yusuf melantunkan ayat-ayat pembatal sihir dengan memegang sebuah botol air di tangannya."Ini, ini adalah benda yang ditanam oleh seseorang seb

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 42 Ilmu Sihir?

    "Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 41 Mulai Sepi

    "Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 40 Tidak Perlu Takut

    "Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status