Share

BAB 7 Pergi Dari Rumah Mertua

Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua.

"Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan.

"Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya.

"Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya."

Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku.

"Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.

Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?

Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan.

"Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-"

"Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa aku mengendalikan ucapan dan pikiranku saat ini.

Lebih menjengkelkan lagi saat lelaki di depanku ini hanya terdiam tanpa menjawab, sepertinya memang benar pikiranku tentang Mas Rey adalah lelaki yang sangat mencintai keluarganya, yah ... 'keluarganya' bukan 'keluarga luar' sepertiku.

Aku meneguk saliva, mempertimbangkan sebuah keputusan yang entah benar atau salah untuk aku ambil.

"Aku akan pulang kerumahku." Aku berdiri kemudian mengambil koperku dan memindahkan semua pakaianku yang ada di lemari kedalam koper berukuran sedang milikku.

"Jangan gegabah Dek ... kita cari penyelesaiannya bareng-bareng, ya?" ujar pria itu, ia menatapku sendu, tampak ada penyesalan di matanya. Tapi hal itu sudah tak aku pedulikan lagi saat ini, aku sudah cukup kecewa kali ini.

"Udah selesai Mas! semuanya udah selesai, tak ada kepercayaanmu padaku, lantas apa yang mau dijelaskan lagi?!"

Emosiku meledak tak terkendali, aku tau menentang suami adalah hal yang salah, tapi untuk kali ini aku ingin egois sekali saja, demi kewarasanku.

"Kumohon biarkan aku tenang untuk sementara waktu ini, Mas."

Mendengar itu Mas Rey nampak mengendurkan genggamannya padaku, aku menepis kasar tangannya.

Aku beranjak membuka pintu kamar dan melangkahkan kaki keluar ruangan. Nampak ada Mbok Yem yang menatap sendu padaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman getir.

"Mau kemana Non?" Mbok Yem melirik ke arah koper yang aku bawa di tangan kananku.

"Mencari ketenangan Mbok, Marya pamit ya?" Ucapan itu dibalas dengan anggukan lemah Mbok Yem, ia tak banyak bertanya lagi, dan sepertinya Mbok Yem lebih mengerti perasaanku dibandingkan dengan suamiku sendiri.

Aku melanjutkan langkah untuk keluar, sesaat aku menghentikan langkahku ketika mendapati Ibu Wasida dan Mbak Jeni tengah duduk santai di ruang tamu.

Aku menoleh ke arah mereka sebentar, mereka terlihat tersenyum penuh kemenangan. Luar biasa drama keluarga ini, ternyata memang hal inilah yang mereka nantikan sejak kemarin.

Meski emosiku sedang meluap dan dipenuhi amarah saat ini, aku menurunkan egoku untuk tetap berpamitan pada mereka. "Saya pamit Buk, Mbak, saya mau pulang ke rumah saya untuk sementara waktu."

"Lah? ga selamanya aja Mar? masih ada muka kamu balik lagi kesini?"

kakak iparku mengatakan kalimat itu dengan senyuman sinisnya, aku mengabaikan perkataannya dan tak menjawab sepatah katapun selain salam pamit.

"Assalamualaikum," ucapku, kemudian bergegas pergi dari rumah mewah nan megah bagai istana ini, tetapi bagaikan neraka untukku.

Aku kembali pulang ke rumah tua milik mendiang kakek dan nenek, untungnya ada angkot yang memang melewati jalan ke arah rumahku.

Jaraknya tidak terlalu jauh, masih satu wilayah desa tetapi berbeda RT. Rumah peninggalan dari kakek dan nenek ini sangat sederhana, masih berdinding papan kayu tua dengan cat warna putih yang sudah hampir pudar, rumah petak berukuran kecil.

Mungkin bagi sebagian orang rumah ini sangat sesak, sempit, dan tak layak huni. Tapi bagiku ini adalah rumah ternyaman bagiku, aku jadi mengingat kehangatan keluargaku saat ibu, kakek, dan nenek masih hidup dan sehat. Mereka selalu memanjakan diriku saat itu, meski bukan dalam bentuk materi tentunya.

Sempat aku berpapasan dengan beberapa tetanggaku, mereka menanyakan ini dan itu, kenapa aku pulang sendirian dan lain-lain.

Tapi semuanya tak ada yang aku jawab, biarlah mereka berspekulasi macam-macam, sudah cukup lelah batinku dengan berpura-pura baik-baik saja.

Aku mengistirahatkan tubuhku di kasur kapuk yang adalah tempat tidurku, aku meringkuk dan memeluk diriku sendiri seperti orang yang kedinginan dan kesepian.

Di sini aku menumpahkan segala emosiku, menangis tersengal-sengal tanpa henti, di saat ini aku berfikir apakah aku harus mengakhiri hubungan ini? baru dua hari saja batinku sudah menggila, apalagi setahun? dua tahun? selamanya?

****

Aku membuka mata perlahan, kulihat langit-langit yang berasal dari anyaman bambu itu. Sepertinya aku ketiduran hingga fajar, sesaat aku mengambil benda pipih yang terdapat di atas nakas tua samping tempat tidur, huftt ... ternyata sudah waktunya sholat subuh.

Kakiku melangkah menuju belakang rumah, menghidupkan keran air untuk berwudhu hingga akhirnya menunaikan sholat subuh.

Perasaanku mulai membaik dan tenang, sungguh luar biasa memang jika ada masalah dan mengobatinya dengan mendekatkan diri pada-Nya. Kedua tanganku terangkat ke atas untuk memanjatkan doa.

"Ya Allah ... maafkan hamba yang selalu tak luput dari segala dosa duniawi, maafkan hamba juga yang malah lari dari masalah tanpa mencoba untuk berjuang membela diri, maaf ... hanya kepada Engkaulah, hamba berserah diri."

Air mata mengalir begitu saja di setiap kalimat doa yang terucap di bibirku, apa aku salah dengan meninggalkan Mas Rey begitu saja tanpa memberikan penjelasan?

Tapi bagaimana mau kucoba jelaskan, jika sudah ada keraguan atas diriku ini di mata lelaki yang selama ini aku percaya?

Kini aku beranjak dari kamar menuju halaman belakang rumah, meski lahannya tak begitu luas, tetapi di halaman belakang ini terdapat beberapa tanaman yang memang sengaja mendiang kakek dan nenek tanam, sejak sepeninggal mereka akulah yang merawat tanaman yang ada di sini.

Ada tanaman singkong, ubi ungu, tomat, cabai, terong, dan beberapa rempah bumbu dapur yang biasanya sering digunakan untuk memasak.

Biasanya jika keluarga kami sedang krisis ekonomi, tanaman inilah yang menyelamatkan kami sekeluarga dari rasa lapar. Aku tersenyum lebar ketika melihat tanamannya tumbuh dengan segar, sepertinya aku akan panen kali ini.

Meski lumayan banyak yang bisa dipanen, tapi aku hanya mengambilnya sesuai kebutuhan saja. Jika nanti kurang, bisa ambil lagi sesuka hati.

Aku merebus singkong yang telah aku kupas dan bersihkan, kemudian beralih untuk membuat sambal terong pedas kesukaanku.

Luar biasa nikmatnya makananku kali ini, berbeda sekali jika berada di rumah Mas Rey. Meski banyak lauk daging dan makanan mahal, rasanya malah kurang nikmat!

Saat aku masih menikmati sarapan pagi ku dengan lahap, tiba-tiba ada suara ketukan pintu membuat kegiatan makan yang aku lakukan terhenti.

Tok ... tok ... tok

"Marya?"

"Loh? suara itu kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status