Share

Bab 6

"Wati, ada apa lagi kamu teriak-teriak begini? Ibu baru saja mau beristirahat, Wati, badan Ibu capek dan pada sakit," kataku.

Aku terpaksa keluar dari kamar karena mendengar teriakan Wati yang begitu memekakan telinga.

"Ada apa ada apa, sok nggak merasa bersalah banget sih jadi orang? Bu, kenapa Ibu tidak mencuci pakaian aku dan juga Mas Roni? Aku kan jijik, Bu, kalau melihat pakaian kotor numpuk di kamar mandi. Itu juga cucian piring, kenapa masih ngejogrog aja di tempatnya? Kenapa tidak Ibu cucikan seperti biasanya sih? Pokoknya aku tidak mau tau ya, sekarang juga Ibu harus mencucikan baju aku dan juga bajunya Mas Roni sampai bersih. Jangan lupa cucikan juga itu piring kotor, ya Bu. Aku nggak mau, kalau Mas Roni datang dan melihat semuanya masih pada kotor," perintah Wati seenaknya.

"Wati, kok kamu makin ke sini makin kurang ajar ya sama Ibu. Aku ini orang tua suami kamu, mertua kamu, tapi kenapa kamu berani sekali main merintah-merintah aku, sudah seperti memberi perintah kepada pembantu? Mana etika kamu, yang katanya lulusan sarjana itu? Lagian ya ini itu rumah aku, bukan rumah orang tua kamu. Jadi kamu nggak sepantasnya memerintahkan aku untuk mencucikan pakaian, ataupun perabotan kotor bekas kamu orang yang menumpang di rumahku ini. Makanya kamu itu harus sadar diri, Wati, kamu itu hanya menumpang di sini, bukan sebagai pemilik rumah ini. Kalau memang kamu ingin pakaian kamu bersih, silakan kamu cuci sendiri! Atau kalau kamu nggak mau ribet, bawa saja ke tukang laundry. Simpel kan," kataku setelah aku panjang lebar mengungkapkan isi hatiku.

"Oh ... jadi seperti itu ya sifat aslinya Ibu itu, aku pikir selama ini Ibu itu mertua yang baik, tapi ternyata sekarang sudah mulai terbuka sifat jeleknya. Ibu sekarang sudah berani memerintah aku, padahal aku dan Mas Roni itu baru menikah satu bulan. Mungkin Ibu lupa, adanya aku numpang di sini karena aku dinikahi anak Ibu. Jadi aku tinggal di sini bukan semata-mata karena keinginan aku, tapi karena keinginan anak Ibu yaitu Mas Roni. Asal Ibu tau ya, aku itu tadinya nggak mau tinggal di sini karena di sini rumahnya sempit dan nggak ada pembantu. Karena aku tidak terbiasa mengerjakan apa pun sendiri, aku selalu dibantu oleh pembantu. Tapi karena aku dibujuk sama Mas Roni untuk mau tinggal di sini dan dia bilang aku tidak perlu mengerjakan apapun di rumah Ibu ini, makanya aku mau tinggal di rumah Ibu yang kecil ini. Tapi baru satu bulan aku berada di sini, ternyata sikap Ibu sudah seperti ini sama aku. Aku di suruh mencuci dan masak sendiri, padahal selama ini aku itu nggak pernah yang namanya melakukan pekerjaan seorang pembantu. Tapi sekarang setelah aku menikahi anakmu, aku harus mengerjakannya? Tidak, Bu, aku tidak mau! Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku dan pastinya pernikahan aku dan anak Ibu harus berumur pendek." Wati panjang lebar mejawab ucapanku, ia bahkan mengatakan kalau dia akan kembali ke rumah orang tuanya karena dia tidak terbiasa, walau hanya untuk mencuci baju dan perabotan bekas makannya.

Aku pun menjadi bingung dibuatnya, ia seperti itu entah karena memang dia manja, atau karena Wati ini seorang pemalas, sehingga ia tidak sudi belajar menjadi seorang istri dan menantu yang baik. Aku juga tidak tahu perkataannya itu benar, atau hanya alibinya saja, supaya aku luluh dan kembali mau mencucikan pakaian kotor dia dan juga suaminya.

Jujur saja aku juga tidak tahu, kalau Wati ini beneran dari keluarga kaya atau bukan? Orang tuanya siapa dan tinggal di mana pun aku tidak tahu karena sewaktu Roni menikahi Wati, aku tidak diikut sertakan oleh anak tersebut. Tau-tau ia memboyong Wati ke rumahku dan mengatakan kalau mereka telah menikah.

Tapi menurut Roni waktu itu, mereka menikah tanpa direstui sepenuhnya oleh keluarga Wati. Karena Roni bukanlah orang yang sepadan dengan keluarga Wati, tapi karena Roni dan Wati kekeh akhirnya Roni bisa menikahi Wati. Mungkin karena itu juga anakku memperlakukan Wati seperti berlian. Tapi karena ingin menyenangkan istrinya, ia malah membuat Ibunya seperti pembantu.

"Wati, tapi yang namanya rumah tangga itu ya tidak melulu harus seperti kebiasaan kamu. Kamu juga harus membiasakan diri dengan kebiasaan orang lain, apalagi kamu saat ini berada di lingkungan yang berbeda dengan kebiasaaan kamu itu. Di sini memang tidak ada pembantu, tetapi kamu juga tidak boleh menganggap Ibu sebagai pembantu kamu. Ibu ini mertua kamu,Wati, orang yang seharusnya kamu hormati sama seperti hormat kamu kepada kedua orang tua kamu. Karena Ibu ini kedudukannya sama dengan kedua orang tuamu," terangku mencoba memberi pengertian, kepada menantuku yang baru belajar berumah tangga.

"Iya, Bu, aku juga tau kok hal itu. Tapi tetap saja kalian berdua itu berbeda dong, Bu. Bedanya saja seratus delapan puluh derajat. Karena Ibuku itu seorang pengusaha, sedangkan Ibu hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, yang biasa mengerjakan pekerjaan seperti pembantu. Jadi jika aku menganggap Ibu pembantu itu tidak salah kan karena memang pekerjaan kalian sama," ungkapnya lagi.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status