Beranda / Romansa / Menari Bersama Hujan / Kehilangan yang Tak Terelakkan

Share

Kehilangan yang Tak Terelakkan

Penulis: Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-15 11:09:42

Di dalam ambulans, pukul 01.27 dini hari

Suara sirene meraung di sepanjang jalanan kota Beijing yang sepi. Ambulans melaju dengan kecepatan penuh, menerobos lampu merah, membelah jalanan yang basah oleh sisa hujan malam itu.

Di dalamnya, Han Donghai terbaring di atas tandu, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil. Seragam putihnya sudah dipenuhi darah, menghitam di beberapa bagian karena mulai mengering. Matanya terbuka setengah, menatap samar ke arah langit-langit ambulans, sementara tubuhnya bergetar karena kehilangan banyak darah.

Di sisinya, Li Meihui menggenggam tangannya erat. Kedua tangannya berlumuran darah Donghai, tetapi ia tidak peduli. Yang terpenting baginya sekarang adalah Donghai tetap sadar.

“Gege… tahan sebentar lagi. Kita hampir sampai.” Suaranya gemetar, setengah memohon, setengah meyakinkan dirinya sendiri.

Donghai mencoba tersenyum, meski bibirnya pecah dan pucat. “Kau menangis lagi…” suaranya lemah, nyaris tertelan oleh suara alat medis yang berbunyi.

Meihui menggeleng cepat, meski air mata terus mengalir di pipinya. “Aku tidak menangis,” ujarnya dengan suara parau. “Kau harus bertahan, Gege… kau tidak boleh pergi.”

Seorang paramedis yang duduk di sebelahnya terus memantau kondisi Donghai. Ia memeriksa tekanan darahnya, memasang infus dengan lebih cepat, lalu melirik monitor kecil yang menampilkan detak jantung pria itu.

Ekspresinya berubah tegang.

“Detak jantungnya melemah!” serunya pada rekannya yang sedang menyiapkan alat oksigen. “Kita harus menstabilkannya!”

“T-tidak! Donghai, bertahanlah!” Meihui mengguncang tangan pria itu.

Donghai meremas tangannya dengan lemah, sebelum suara napasnya semakin berat. Pandangannya mulai mengabur. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tetapi suara yang keluar dari bibirnya terlalu lemah untuk bisa dipahami.

Paramedis segera memasang masker oksigen di wajahnya, tetapi tubuhnya mulai bergetar hebat. “Dia kehilangan terlalu banyak darah! Jika kita tidak segera sampai, dia bisa mengalami henti jantung!”

Meihui merasa tubuhnya membeku. Tidak. Tidak mungkin.

Ia menatap Donghai dengan panik, mengusap wajahnya yang semakin pucat. “Jangan tutup matamu, Gege! Jangan tidur! Kita akan menikah, kau lupa? Kau belum membelikan cincin untukku!”

Donghai masih mendengarnya. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski dengan susah payah. “Cincin…” bisiknya pelan.

“Ya! Kau belum membelinya! Jadi kau harus bertahan! Bertahan untukku, Gege!”

Namun, suara bip di monitor jantung semakin melemah.

Donghai menarik napas panjang, seolah berusaha mengisi paru-parunya dengan udara yang tersisa. Jemarinya yang menggenggam tangan Meihui mulai kehilangan tenaga.

“TIDAK!” Meihui menjerit. “GEGE!”

Tepat saat ambulans memasuki area rumah sakit, suara detak jantung dari monitor berubah menjadi satu garis lurus panjang.

“Henti jantung!” teriak paramedis.

Ambulans berhenti dengan hentakan keras. Pintu belakang langsung terbuka, dan tim medis sudah siap menyambut pasien. Donghai segera dipindahkan ke tandu rumah sakit, dengan salah satu dokter berusaha melakukan CPR di atas tubuhnya.

Meihui berusaha mengejar, tetapi seorang perawat menahannya. “Nona, Anda harus menunggu di sini!”

“Tidak! Biarkan aku ikut!” Meihui memberontak, tetapi tenaganya terlalu lemah dibandingkan pegangan perawat itu.

Ia hanya bisa menyaksikan dari jauh saat tubuh Donghai didorong masuk ke dalam rumah sakit, suara dokter yang berteriak memerintahkan tim medis lain menggema di lorong.

Meihui menatap tangannya sendiri—masih berlumuran darah Donghai. Darah pria yang ia cintai.

Jantungnya terasa remuk.

Dan di saat itu, ketakutan yang selama ini ia tepis mulai menghantamnya.

Bagaimana jika Donghai tidak kembali?

Beijing Hospital, pukul 02.13 dini hari

Suara detak jantung dari monitor medis terdengar semakin lemah di dalam ruang operasi. Tim dokter dan perawat berusaha sebaik mungkin, tetapi waktu terus berjalan, dan harapan semakin menipis.

Di luar ruang operasi, Meihui berdiri dengan tangan gemetar. Matanya yang sembab terus menatap pintu operasi tanpa berkedip, seolah berharap Donghai akan keluar dalam keadaan baik-baik saja.

Namun, ketika seorang dokter akhirnya keluar dengan ekspresi serius, hatinya mencelos.

Ia segera berlari menghampiri pria itu, mencengkeram lengan jas putihnya. “Dokter, bagaimana keadaannya? Donghai baik-baik saja, kan?”

Dokter itu menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi… luka internalnya terlalu parah. Maafkan kami.”

Dunia Meihui seketika runtuh.

Lututnya melemas, air matanya jatuh tanpa henti.

“Tidak… tidak mungkin…” suaranya terdengar parau, penuh kesedihan yang begitu dalam. “Gege… Donghai tidak mungkin meninggalkanku…”

Namun, ia tahu…

Kenyataan tidak akan berubah.

Dan dalam kesunyian yang begitu menyakitkan, Meihui akhirnya menyadari…

Ia telah kehilangan pria yang paling ia cintai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menari Bersama Hujan   End - Menari Bersama Hujan

    Sejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah Kecil yang Berubah Menjadi Tarian

    Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin

  • Menari Bersama Hujan   Melodi yang Menghidupkan Kembali

    Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir

  • Menari Bersama Hujan   Langkah - Langkah yang Mendekat (Sambungan)

    Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah -Langkah yang Mendekat

    Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert

  • Menari Bersama Hujan   Nada yang Menuntun

    Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status