Home / Romansa / Mencari Cinta Sejati / Bab 4 Sarapan Pagi

Share

Bab 4 Sarapan Pagi

Author: Azzahra_19
last update Last Updated: 2025-08-04 14:00:57

Ambar terbangun lebih pagi dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai kamarnya, tapi bagi Ambar waktu selalu terasa berlari meninggalkannya. Hidupnya penuh jadwal padat—syuting, pemotretan, sponsor, wawancara—hingga dua puluh empat jam seakan tak pernah cukup. Baru saja menghela napas, pikirannya sudah sesak oleh rentetan kesibukan itu.

Namun di sela rutinitas, bayangan tak terduga muncul: Gion. Pemilik bar yang mempesona, dengan tatapan mata tenang tapi tajam. Hanya mengingatnya saja membuat wajah Ambar memanas.

“Kenapa sih aku ini?” gumamnya pada cermin. “Sebegitu kesepiankah aku sampai mikirin pria yang bahkan mungkin cuma main-main?”

Ia mendengus, berusaha menepis bayangan itu. Tapi hatinya tetap berdebar aneh. Sudah cukup sering ia menghadapi pria yang hanya tertarik pada ketenarannya, jadi mustahil kalau Gion benar-benar tulus.

Rani, asistennya, masuk sambil membawa nampan sarapan. “Mbak, jangan bengong. Hari ini padat banget. Aku udah siapin roti sama jus. Tolong jangan cuma ngopi.”

Ambar tersenyum tipis. “Kamu memang cerewet.”

“Kalau bukan aku, siapa lagi yang bikin Mbak ingat makan? Aktris super sibuk butuh energi.”

Ambar hanya mengangguk, lalu duduk di meja rias. Perias profesional mulai bekerja. Baru sebentar, nada dering ponsel memecah kesunyian. Nama yang muncul di layar membuat Ambar membeku.

Gion.

“Sepagi ini?” bisiknya.

Rani mendekat. “Siapa, Mbak?”

“Bukan siapa-siapa,” Ambar menutup layar cepat-cepat. Tapi ponsel kembali bergetar, kali ini pesan masuk.

‘Apakah pagimu cerah?’

‘Bagaimana dengan breakfast bareng?’

Jantung Ambar berdebar keras. “Dasar pria aneh,” gumamnya, lalu mengetik balasan cepat:

‘Boleh, gabung di rumah saja. Alamatku di sini.’

Pesan terkirim.

Rani melotot. “Mbak Ambar! Baru ketemu semalam, kok langsung kasih alamat rumah? Gila apa?”

Ambar tertawa, mencoba menutupi gugupnya. “Tenang aja. Mana mungkin dia beneran datang. Laki-laki kayak dia pasti punya seribu cara buat ngilangin bosan. Ini cuma basa-basi.”

Tapi tak lama, balasan Gion muncul:

‘Baik. Saya menuju ke rumahmu.’

“APA?!” Ambar berdiri panik.

Rani menepuk dahinya. “Tuh kan! Rumah berantakan, sarapan nggak siap, make up Mbak juga baru setengah jalan!”

Ambar buru-buru duduk lagi di kursi rias. “Cepat, tolong beresin! Aku nggak bisa ketemu dia dengan wajah kayak baru bangun tidur.”

Suasana kamar langsung heboh. Perias mempercepat pekerjaannya, Rani mondar-mandir merapikan ruang tamu seadanya. Ambar gelisah, tangannya dingin.

“Kenapa aku panik begini?” bisiknya. “Aku bahkan nggak tahu dia sungguh-sungguh atau cuma bercanda.”

Rani menghela napas. “Aktris papan atas bisa panik cuma karena pria asing mau sarapan. Mbak sadar nggak betapa absurdnya ini?”

Ambar menunduk, malu sekaligus bingung. “Aku sendiri nggak ngerti, Ran. Biasanya aku nggak peduli hal-hal begini.”

Dentuman klakson terdengar di luar. Rani mengintip jendela, lalu menoleh dengan wajah pasrah. “Mbak… mobil hitam mewah. Itu pasti dia.”

Ambar pucat. “Dia benar-benar datang?”

Rani mengangguk.

Bel pintu berbunyi. Hening menyelimuti apartemen. Ambar berdiri, jantungnya nyaris meloncat keluar.

“Ran… apa aku sebegitu kesepian sampai memberi celah ini terjadi?”

Rani menepuk bahunya lembut. “Jangan salahkan diri sendiri. Semua orang butuh ditemani. Siapa tahu dia bukan cuma pria bosan dengan uang berlebih.”

Ambar menarik napas panjang. Dengan langkah ragu ia berjalan ke pintu. Saat dibuka, sosok tinggi dengan gaya kasual elegan berdiri di sana. Kemeja linen putih digulung rapi, celana abu-abu sederhana, sneakers mahal, dan jam tangan mewah. Wangi parfum maskulin samar tercium.

Gion tersenyum tipis. “Pagi, Ambar. Aku nggak salah alamat, kan?”

Ambar sempat terpaku, lalu buru-buru berkata, “Silakan masuk, Mas Gion.”

Di dalam, Gion menyapu ruangan dengan pandangan singkat, tenang tanpa komentar. Justru sikapnya membuat Ambar makin salah tingkah.

Rani muncul sambil mendengus. “Saya bikinin kopi dulu, Mbak,” katanya ketus, lalu ke dapur.

Ambar duduk di meja makan, mencoba terlihat tenang. “Biasanya sarapan itu di kafe, bukan di rumah orang yang baru dikenal.”

“Ya, biasanya,” jawab Gion, menarik kursi. “Tapi kamu kelihatan bukan tipe yang ‘biasa’, kan?”

Ambar menahan senyum, pura-pura sibuk menata sendok. “Atau aku yang kurang waras.”

“Kalau gitu, kita sama-sama kurang waras,” balas Gion ringan.

Rani kembali dengan kopi dan roti panggang. “Sarapan spesial ala apartemen sibuk. Jangan berekspektasi terlalu tinggi.”

“Terima kasih,” jawab Gion sopan.

Mereka sarapan dalam keheningan. Ambar sesekali melirik pria di depannya, merasa asing tapi anehnya nyaman.

“Kenapa?” tanya Gion tiba-tiba.

“Apa?”

“Kamu menatapku seperti lagi menilai. Seolah memutuskan aku layak atau nggak duduk di sini.”

Ambar tertawa kecil, menutupi wajahnya. “Aku cuma masih heran. Kita bukan siapa-siapa. Tapi kamu ada di sini.”

“Dan kamu mengizinkanku masuk,” balas Gion pelan. “Itu sudah cukup berarti.”

Kata-katanya membuat Ambar terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sarapan selesai tanpa banyak basa-basi, tapi justru di situlah ia merasakan ketenangan yang jarang ada.

Saat berdiri, Gion berkata, “Terima kasih sarapannya. Aku tahu kamu sibuk, jadi nggak akan lama-lama.”

Ambar mengangguk. “Mungkin lain kali kita bisa sarapan di tempat yang lebih normal.”

“Atau justru lebih aneh. Kita lihat nanti.”

Ia pergi dengan senyum samar, meninggalkan jejak parfum yang tertinggal di udara. Ambar mematung beberapa saat, lalu menepuk keningnya. “Aku gila.”

Rani kembali dari dapur, menyilangkan tangan. “Mbak sadar nggak ini terlalu cepat? Baru ketemu sekali, sekarang udah sarapan di rumah.”

Ambar tertawa kecil, wajahnya memerah. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak ngerti kenapa bisa begini.”

Ia melangkah ke meja rias untuk bersiap ke lokasi syuting. Tapi bayangan wajah Gion tetap mengusik pikirannya.

“Kesepian bisa bikin orang melakukan hal-hal bodoh,” gumamnya lirih. “Dan mungkin aku baru saja membuktikannya.”

Setelah Gion pergi, Ambar kembali larut dalam rutinitas. kostum syuting dipersiapkan, dan dalam sekejap ia berubah menjadi sosok profesional.

Namun saat mobil produksi meluncur meninggalkan apartemen, ponselnya kembali bergetar. Satu pesan masuk.

Dari: Gion.

“Jadwal syuting kamu besok di mana?”

Ambar terdiam, menatap layar cukup lama. Ia hampir mengetik jawaban, lalu menghapusnya lagi. Akhirnya ia mengirim balasan singkat:

“Masih di Bali. Tiga hari full syuting.”

Tanda centang berubah balasan

“Bagus. Berarti aku masih punya waktu untuk sarapan lagi denganmu.”

Ambar menahan napas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 63. Bayangan Yang Kembali

    Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 62. Takut Mencintai

    Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 61. Antara Percaya dan Takut

    Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 60. Antara Takut dan Yakin

    Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 59. Menari di atas cinta

    Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 58. Suara Dari Dalam Sistem

    Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status