Beranda / Romansa / Mencari Cinta Sejati / Bab 5. Membuka Halaman Baru

Share

Bab 5. Membuka Halaman Baru

Penulis: Azzahra_19
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 14:15:16

Pagi baru menyapa Bali dengan hangatnya mentari dan aroma laut yang samar. Namun bagi Ambar, hari baru selalu berarti jadwal baru, naskah baru, dan riasan tebal sejak matahari belum tinggi. Dunia selebriti bukan hanya soal glamor, tapi juga disiplin, tekanan, serta ruang pribadi yang terus menyempit.

Di dalam van produksi, Ambar duduk dengan rambut disanggul setengah jadi, sementara makeup artist sibuk membaurkan foundation ke lehernya. Seorang asisten menyerahkan botol infused water dan laporan revisi skrip hari ini.

“Scene dua langsung diambil jam sembilan, Mbak Ambar. Habis itu ada break dua jam sebelum scene sore,” kata manajernya sambil mengecek rundown.

Ambar mengangguk pelan. Pikirannya terpecah—antara adegan berat yang harus ia mainkan dan sebuah pesan W******p yang masuk subuh tadi dari Gion.

Gion [05.17]:

Selamat pagi. Aku dengar kamu sedang syuting di Bali. Kalau ada waktu luang, mampir ke tempatku ya. Aku adakan private dinner malam Minggu ini. Tidak formal. Hanya orang-orang terdekat.

Awalnya Ambar hanya membaca, tanpa berniat membalas. Tapi siang hari, saat break makan siang, ia akhirnya mengetik balasan pendek.

Ambar:

Aku masih syuting sampai hari Minggu. Tapi aku coba atur waktu ya. Terima kasih undangannya.

Balasannya hanya dibaca. Tak lama kemudian, muncul notifikasi baru.

Gion:

Jangan memaksa. Tapi kalau sempat, aku akan senang bisa menyambut kamu secara pribadi.

Ambar terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara membaca pria itu—tenang, sopan, tanpa tekanan. Tak seperti Ivan yang selalu membuat semuanya terasa mendesak atau emosional.

Sore harinya, setelah dua belas jam syuting melelahkan dan tiga kostum berbeda, Ambar akhirnya kembali ke hotel tempatnya menginap. Ia membuka laptop, mengecek email endorsement, kontrak baru, dan jadwal live podcast minggu depan. Hidupnya selalu padat.

Namun untuk sebuah undangan makan malam yang mungkin tak berarti apa-apa, ia justru meluangkan waktu berpikir.

“Mbak Ambar, besok syuting cuma setengah hari. Sisa waktu bisa dipakai buat istirahat,” kata Rani, sang manajer, sambil membawakan air kelapa muda.

Ambar tersenyum tipis. “Istirahat, atau menjawab undangan?” gumamnya pelan.

Setelah menimbang sepanjang malam, akhirnya Ambar memutuskan: ia akan menghadiri undangan itu.

Bukan karena ingin terlihat peduli. Bukan juga untuk membalas perhatian. Tapi karena ia sadar, sudah waktunya membuka ruang baru—mengenal orang-orang baru, membangun jembatan baru, dan mungkin… memberi dirinya sendiri kesempatan yang dulu terlalu cepat ia serahkan pada orang yang salah.

Sabtu malam, tepat pukul tujuh, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan hotel tempat Ambar menginap. Seorang sopir berbaju hitam berdiri di samping pintu, menunduk sopan.

“Malam, Mbak Ambar. Saya diminta langsung oleh Tuan Gion untuk menjemput Anda.”

Ambar melangkah masuk. Malam itu ia mengenakan gaun panjang berwarna jade green dengan potongan sederhana namun anggun. Rambutnya disanggul rapi, anting berlian kecil menjadi satu-satunya aksesori. Wajahnya tampak natural, tapi justru itu membuatnya menonjol.

Setibanya di villa Gion yang megah, Ambar turun dari mobil dengan langkah mantap. Interior rumah itu seperti melambangkan kepribadian pemiliknya—mewah, berkelas, tapi tetap hangat.

Beberapa tamu yang mengenali Ambar langsung berbisik kagum.

“Cantik sekali… aslinya lebih anggun daripada di layar.”

“Gion mengundangnya langsung, katanya.”

Ambar hanya tersenyum sopan. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi malam ini rasanya berbeda—lebih intim, lebih personal.

Gion menyambutnya di tengah ruangan, mengenakan kemeja hitam kasual. Senyumnya tenang, namun tatapannya seolah menelanjangi sisi Ambar yang jarang ditunjukkan.

“Aku sempat ragu kamu akan datang,” ucap Gion. “Tapi aku bersyukur kamu di sini.”

Ambar menahan senyum. “Aku butuh suasana baru. Dan… tempatmu terasa nyaman.”

Sepanjang malam, Ambar dikelilingi keluarga Gion yang ramah. Ada tawa ringan, perbincangan tentang film dan bisnis, hingga tante Gion yang tak henti memuji Ambar.

“Kamu bisa tetap membumi meski terkenal. Jarang sekali sekarang,” ujar wanita itu sambil menggandeng tangannya.

Ambar merasa tidak sedang berada di pesta, tapi dalam pelukan hangat dari orang-orang yang tidak menuntutnya menjadi siapa pun. Dari kejauhan, ia menangkap Gion sesekali memandanginya, lalu mengalihkan tatapan—bukan dengan nafsu, melainkan penghargaan.

Di dalam batin, Ambar berbisik, “Aku datang untuk membuka pintu baru. Tapi mungkin… malam ini justru aku menemukan rumah yang lebih hangat dari semua lampu sorot yang pernah mengarah padaku.”

Larut malam, tamu-tamu mulai berpamitan. Ambar berdiri di balkon villa, menatap cahaya Bali dari kejauhan. Angin laut membawa aroma asin yang samar, membuatnya merasa ringan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa bernapas tanpa bayangan Ivan.

Gion datang berdiri di sampingnya. Diam, lalu berkata pelan, “Aku punya ruangan yang hanya kubuka kalau aku yakin seseorang bisa menghargainya.”

Ambar tidak menjawab, tapi saat Gion mengulurkan tangan, ia menyambutnya. Ruangan itu seperti cermin pribadi Gion—temaram, hangat, diiringi musik klasik.

Tak banyak kata. Hanya tatapan yang bicara. Hingga akhirnya ciuman pertama terjadi—perlahan, penuh penghargaan. Malam itu milik mereka berdua.

Pagi datang terlalu cepat. Ambar terbangun di ranjang luas, hanya berselimut linen putih. Di sampingnya, Gion masih tertidur dengan wajah tenang.

Ada perasaan syok. Bukan karena menyesal, tapi karena kedekatan yang terbentuk begitu cepat. Namun tak seperti biasanya, ia tidak merasa kotor. Ia justru merasa dihargai.

Duduk di pinggir ranjang, Ambar menatap kosong ke lantai kayu. “Apakah ini awal dari luka baru, atau pintu menuju sesuatu yang lebih tulus?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 63. Bayangan Yang Kembali

    Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 62. Takut Mencintai

    Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 61. Antara Percaya dan Takut

    Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 60. Antara Takut dan Yakin

    Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 59. Menari di atas cinta

    Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 58. Suara Dari Dalam Sistem

    Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status