Beranda / Romansa / Mencari Cinta Sejati / Bab 3. Ketulusan Yang di Khianati

Share

Bab 3. Ketulusan Yang di Khianati

Penulis: Azzahra_19
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 13:06:02

Sudah tiga minggu sejak Ambar melihat video Ivan bersama perempuan lain di Bali. Luka itu belum sembuh. Ia bisa tertawa di depan orang lain, tapi begitu sendiri, hatinya kembali remuk. Ada saat-saat ketika ia menatap langit-langit kamarnya dan bertanya, apakah semua yang ia lakukan selama ini sia-sia?

Malam itu, Rani mengajaknya keluar. “Kamu nggak bisa terus-terusan di rumah. Yuk, kita keluar. Minum, ngobrol, lihat dunia,” bujuknya.

Ambar mendesah. “Ran, aku lagi nggak mood ketemu orang.”

“Justru itu! Jangan biarkan dirimu terperangkap di kamar terus. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga butuh udara baru. Ayo, temenin aku sebentar aja.”

Ambar akhirnya luluh. Ia tak ingin membuat sahabatnya kecewa. Dan di lubuk hatinya, mungkin benar ia butuh sesuatu yang berbeda—sekadar keluar dari lingkaran gelap pikirannya.

Bar di Seminyak itu ramai, lampu temaram memantulkan kilau di gelas-gelas kristal. Musik house berdenyut, menelan suara percakapan. Aroma alkohol bercampur wangi parfum mewah pengunjung.

Ambar melangkah masuk dalam dress satin hitam yang membalut tubuhnya anggun. Rambutnya terurai, wajahnya hanya diberi polesan tipis. Ia tidak pernah berusaha menjadi pusat perhatian, tapi entah bagaimana setiap langkahnya selalu menarik mata orang-orang di sekitarnya.

Rani langsung bertemu dengan beberapa temannya dan sibuk bercengkerama, meninggalkan Ambar sendirian di meja bar. Ia memesan segelas cocktail, menyesap perlahan, lalu membiarkan matanya menyapu keramaian.

“Sendirian?”

Suara itu datang dari sebelahnya. Tidak terlalu keras, tapi cukup jelas untuk menembus riuh musik.

Ambar menoleh. Seorang pria berdiri, tinggi dengan bahu tegap. Wajahnya maskulin, rahang kokoh, kulit sawo matang. Kemeja hitamnya dilipat di lengan, sederhana tapi rapi.

“Atau kamu lebih suka aku nggak duduk di sini?” lanjutnya, nada suaranya tenang, tidak memaksa.

Ambar menaikkan alis. “Bukannya di sini memang tempat umum?”

Pria itu tersenyum tipis. “Benar juga.” Ia duduk di kursi sebelah, memesan whisky. “Namaku Gion.”

“Ambar,” jawabnya singkat.

Tidak ada basa-basi murahan, tidak ada rayuan klise. Gion hanya duduk, menikmati minumannya.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Aneh, tapi justru tidak canggung. Sampai akhirnya Gion berkata, “Kamu terlihat… seperti orang yang sedang menikmati sepi di tengah keramaian.”

Ambar menoleh sekilas. Kalimat itu menohok. Ia biasa mendengar pujian soal wajah atau tubuhnya, tapi jarang ada yang berani menyentuh lapisan batinnya.

“Kalau aku sebenarnya malas diajak bicara?” balas Ambar datar.

Gion terkekeh pelan. “Maka aku akan diam. Kadang diam lebih baik daripada kata-kata.”

Ambar terdiam. Bibirnya sempat bergerak, tapi ia memilih meneguk cocktail. Entah kenapa, jawaban sederhana itu membuatnya sedikit… rileks.

Percakapan itu terhenti, tapi keheningan tidak membuatnya resah. Justru ada ruang aman di antara mereka.

Sejenak Ambar melirik ke arah Rani yang masih tertawa bersama temannya, lalu kembali menatap pria di sampingnya.

“Jadi, kamu apa? Pekerja malam?” tanyanya setengah bercanda.

Gion menoleh, senyum samar. “Lebih tepatnya… pekerja di balik malam.”

Kening Ambar berkerut.

“Aku pemilik tempat ini,” jelas Gion singkat.

“Oh.” Ambar menatap sekeliling, kemudian kembali menyesap minumannya. Tidak ada rasa kagum berlebihan, hanya gumaman singkat, “Tempatmu ramai.”

Gion menatapnya, kali ini lebih lama. “Kamu berbeda.”

“Berbeda bagaimana?”

“Orang-orang datang ke sini untuk dilihat. Kamu datang justru untuk menghilang.”

Kata-kata itu menancap di dada Ambar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan sorot matanya. Ia tidak ingin pria ini tahu betapa patahnya ia, tapi rasanya Gion bisa membaca sesuatu yang bahkan ia sendiri coba abaikan.

Waktu berlalu, musik makin riuh. Rani akhirnya menghampiri. “Mbak, kita balik?”

Ambar mengangguk, menaruh gelasnya, lalu berdiri.

Gion menatapnya sebentar. Tidak menahan, tidak menawarkan nomor, hanya berkata sederhana, “Senang ngobrol sebentar. Sampai ketemu lagi, Ambar.”

Langkah Ambar sempat berhenti, menoleh sedikit. Ada ketenangan di wajah pria itu, seolah ia benar-benar tidak terburu-buru.

Di mobil, Rani langsung menoleh. “Siapa tadi pria di bar?”

“Pemilik tempatnya,” jawab Ambar singkat.

Rani menyeringai nakal. “Dan jelas kelihatan tertarik sama kamu.”

Di sisi lain, Ambar sadar dirinya masih rapuh. Ia takut menaruh harapan lagi, takut membuka pintu untuk luka baru. Namun, ia juga tahu bahwa pertemuan tak pernah terjadi tanpa alasan. Seolah semesta memberinya secuil jeda, ruang kecil untuk bernapas di tengah semua sesak yang ia simpan.

Sebelum menutup mata, Ambar berbisik pada dirinya sendiri: “Aku belum siap percaya… tapi mungkin aku bisa belajar pelan-pelan.”

Ambar hanya menatap keluar jendela, lampu-lampu kota berkelebat. Ia tidak menjawab. Tapi jauh di dalam hatinya, ada perasaan asing yang muncul. Bukan cinta, bukan juga ketertarikan. Lebih mirip rasa ingin tahu yang lembut, tapi nyata.

Malam itu, sebelum tidur, Ambar menulis di jurnal pribadinya:

“Aku bertemu seseorang. Entah siapa dia sebenarnya, tapi matanya melihat lebih dari sekadar yang tampak. Aku tidak siap jatuh cinta lagi. Tapi untuk kali ini, aku tidak menolak rasa penasaran.”

Ia menutup buku, mematikan lampu. Untuk pertama kalinya setelah luka itu, Ambar tidur dengan perasaan sedikit lebih ringan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 63. Bayangan Yang Kembali

    Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 62. Takut Mencintai

    Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 61. Antara Percaya dan Takut

    Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 60. Antara Takut dan Yakin

    Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 59. Menari di atas cinta

    Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 58. Suara Dari Dalam Sistem

    Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status