Sudah tiga minggu sejak Ambar melihat video Ivan bersama perempuan lain di Bali. Luka itu belum sembuh. Ia bisa tertawa di depan orang lain, tapi begitu sendiri, hatinya kembali remuk. Ada saat-saat ketika ia menatap langit-langit kamarnya dan bertanya, apakah semua yang ia lakukan selama ini sia-sia?
Malam itu, Rani mengajaknya keluar. “Kamu nggak bisa terus-terusan di rumah. Yuk, kita keluar. Minum, ngobrol, lihat dunia,” bujuknya. Ambar mendesah. “Ran, aku lagi nggak mood ketemu orang.” “Justru itu! Jangan biarkan dirimu terperangkap di kamar terus. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga butuh udara baru. Ayo, temenin aku sebentar aja.” Ambar akhirnya luluh. Ia tak ingin membuat sahabatnya kecewa. Dan di lubuk hatinya, mungkin benar ia butuh sesuatu yang berbeda—sekadar keluar dari lingkaran gelap pikirannya. Bar di Seminyak itu ramai, lampu temaram memantulkan kilau di gelas-gelas kristal. Musik house berdenyut, menelan suara percakapan. Aroma alkohol bercampur wangi parfum mewah pengunjung. Ambar melangkah masuk dalam dress satin hitam yang membalut tubuhnya anggun. Rambutnya terurai, wajahnya hanya diberi polesan tipis. Ia tidak pernah berusaha menjadi pusat perhatian, tapi entah bagaimana setiap langkahnya selalu menarik mata orang-orang di sekitarnya. Rani langsung bertemu dengan beberapa temannya dan sibuk bercengkerama, meninggalkan Ambar sendirian di meja bar. Ia memesan segelas cocktail, menyesap perlahan, lalu membiarkan matanya menyapu keramaian. “Sendirian?” Suara itu datang dari sebelahnya. Tidak terlalu keras, tapi cukup jelas untuk menembus riuh musik. Ambar menoleh. Seorang pria berdiri, tinggi dengan bahu tegap. Wajahnya maskulin, rahang kokoh, kulit sawo matang. Kemeja hitamnya dilipat di lengan, sederhana tapi rapi. “Atau kamu lebih suka aku nggak duduk di sini?” lanjutnya, nada suaranya tenang, tidak memaksa. Ambar menaikkan alis. “Bukannya di sini memang tempat umum?” Pria itu tersenyum tipis. “Benar juga.” Ia duduk di kursi sebelah, memesan whisky. “Namaku Gion.” “Ambar,” jawabnya singkat. Tidak ada basa-basi murahan, tidak ada rayuan klise. Gion hanya duduk, menikmati minumannya. Beberapa menit berlalu dalam diam. Aneh, tapi justru tidak canggung. Sampai akhirnya Gion berkata, “Kamu terlihat… seperti orang yang sedang menikmati sepi di tengah keramaian.” Ambar menoleh sekilas. Kalimat itu menohok. Ia biasa mendengar pujian soal wajah atau tubuhnya, tapi jarang ada yang berani menyentuh lapisan batinnya. “Kalau aku sebenarnya malas diajak bicara?” balas Ambar datar. Gion terkekeh pelan. “Maka aku akan diam. Kadang diam lebih baik daripada kata-kata.” Ambar terdiam. Bibirnya sempat bergerak, tapi ia memilih meneguk cocktail. Entah kenapa, jawaban sederhana itu membuatnya sedikit… rileks. Percakapan itu terhenti, tapi keheningan tidak membuatnya resah. Justru ada ruang aman di antara mereka. Sejenak Ambar melirik ke arah Rani yang masih tertawa bersama temannya, lalu kembali menatap pria di sampingnya. “Jadi, kamu apa? Pekerja malam?” tanyanya setengah bercanda. Gion menoleh, senyum samar. “Lebih tepatnya… pekerja di balik malam.” Kening Ambar berkerut. “Aku pemilik tempat ini,” jelas Gion singkat. “Oh.” Ambar menatap sekeliling, kemudian kembali menyesap minumannya. Tidak ada rasa kagum berlebihan, hanya gumaman singkat, “Tempatmu ramai.” Gion menatapnya, kali ini lebih lama. “Kamu berbeda.” “Berbeda bagaimana?” “Orang-orang datang ke sini untuk dilihat. Kamu datang justru untuk menghilang.” Kata-kata itu menancap di dada Ambar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan sorot matanya. Ia tidak ingin pria ini tahu betapa patahnya ia, tapi rasanya Gion bisa membaca sesuatu yang bahkan ia sendiri coba abaikan. Waktu berlalu, musik makin riuh. Rani akhirnya menghampiri. “Mbak, kita balik?” Ambar mengangguk, menaruh gelasnya, lalu berdiri. Gion menatapnya sebentar. Tidak menahan, tidak menawarkan nomor, hanya berkata sederhana, “Senang ngobrol sebentar. Sampai ketemu lagi, Ambar.” Langkah Ambar sempat berhenti, menoleh sedikit. Ada ketenangan di wajah pria itu, seolah ia benar-benar tidak terburu-buru. Di mobil, Rani langsung menoleh. “Siapa tadi pria di bar?” “Pemilik tempatnya,” jawab Ambar singkat. Rani menyeringai nakal. “Dan jelas kelihatan tertarik sama kamu.” Di sisi lain, Ambar sadar dirinya masih rapuh. Ia takut menaruh harapan lagi, takut membuka pintu untuk luka baru. Namun, ia juga tahu bahwa pertemuan tak pernah terjadi tanpa alasan. Seolah semesta memberinya secuil jeda, ruang kecil untuk bernapas di tengah semua sesak yang ia simpan. Sebelum menutup mata, Ambar berbisik pada dirinya sendiri: “Aku belum siap percaya… tapi mungkin aku bisa belajar pelan-pelan.” Ambar hanya menatap keluar jendela, lampu-lampu kota berkelebat. Ia tidak menjawab. Tapi jauh di dalam hatinya, ada perasaan asing yang muncul. Bukan cinta, bukan juga ketertarikan. Lebih mirip rasa ingin tahu yang lembut, tapi nyata. Malam itu, sebelum tidur, Ambar menulis di jurnal pribadinya: “Aku bertemu seseorang. Entah siapa dia sebenarnya, tapi matanya melihat lebih dari sekadar yang tampak. Aku tidak siap jatuh cinta lagi. Tapi untuk kali ini, aku tidak menolak rasa penasaran.” Ia menutup buku, mematikan lampu. Untuk pertama kalinya setelah luka itu, Ambar tidur dengan perasaan sedikit lebih ringan.Senyum tipis terbit di bibir Ambar. “Kalau begitu, percayalah padaku. Kamu tempat aku pulang.” Pelukan mereka menutup percakapan itu, hangat, seolah dunia berhenti. Tapi keheningan pecah ketika ponsel Ambar bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berdesir—Ivan. Gion melihatnya lebih dulu. Sorot matanya berubah, menajam, menahan sesuatu yang bergolak di dalam dada. Ambar terdiam, jemarinya ragu menyentuh layar. Jantungnya berdetak lebih keras daripada nada dering yang terus berulang. Dan di tengah ketegangan itu, hanya satu hal yang jelas: malam yang seharusnya ditutup dengan tenang… baru saja membuka pintu menuju badai berikutnya. Ambar menatap layar ponselnya yang terus berdering. Nama itu—Ivan—membuat darahnya berdesir dingin. Tanpa ragu, ia menekan tombol mati lalu mematikan ponselnya. Gion yang duduk di sampingnya menoleh, nada suaranya lembut tapi menyimpan tanda tanya. “Kenapa kamu abaikan? Siapa dia, Ambar?” Ambar mencoba mengatur napas. Seny
Popularitas Ambar melejit sejak video bersama Gion viral. Tawaran wawancara datang bertubi-tubi, dari stasiun TV nasional hingga kanal YouTube besar. Semua ingin tahu: siapa Gion? Seberapa serius hubungan mereka? Apakah ini sekadar strategi menaikkan popularitas? Ambar terseret dalam pusaran perhatian publik. Hampir setiap hari ia harus tampil, menjelaskan hal-hal yang sebenarnya ingin ia simpan untuk dirinya sendiri. Kadang ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Tapi ini harga dari keputusan besar: mempublikasikan kisah cintanya. Gion tidak tinggal diam. Ia menuntut untuk menemaninya ke setiap acara. “Aku tidak bisa diam di rumah sementara semua mata menatapmu, Ambar,” katanya tajam. “Kalau kamu sibuk, aku ikut sibuk. Kalau kamu lelah, aku akan menahanmu agar tidak jatuh.” Ambar tahu sulit menolak. Gion hadir di berbagai acara, duduk manis di ruang tunggu VIP, sesekali muncul di layar dengan tenang tapi mencuri perhatian. Banyak yang terpesona pengusaha muda ini—ma
Gion tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela. “Aku tahu kamu jaga jarak. Aku tahu kamu punya alasan. Tapi izinkan aku mencintaimu dengan caraku. Aku nggak ingin kamu terus menangis karena masa lalu. Kalau kau mau… biarkan aku jadi ruang baru untukmu.” Kata-kata itu menyelinap ke pertahanan Ambar. Ia terdiam, hanya mendengarkan detak jam yang terdengar jelas di antara mereka. Akhirnya, tanpa berkata apa pun, ia menyandarkan kepala di bahunya. Tak ada “ya” atau “tidak.” Hanya keheningan yang memberi ruang pada kemungkinan. Dan malam Bali pun menjadi saksi: dua hati yang sama-sama rapuh, berusaha menemukan arti di antara luka dan keberanian baru.Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan dari sela tirai kamar hotel, menyapu wajah Ambar yang masih setengah bersandar di dada Gion. Damai yang aneh menyelimuti, seperti mimpi panjang yang belum sempat dibangunkan. Suara burung camar dari kejauhan mengisi sela keheningan mereka. Ambar menggerakkan tangannya pelan, menggenggam ta
Ambar tahu sejak awal, hubungan yang melaju terlalu cepat nyaris selalu berakhir kacau. Dan Gion… pria yang baru semalam hadir dalam hidupnya, sudah menunjukkan sisi terlalu agresif untuk diabaikan. Di lokasi syuting, Ambar mencoba menyingkirkan semua pikiran. Naskah ia baca berulang, adegan ia mainkan dengan totalitas. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan hari ini dan kembali ke Jakarta. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk mengukur apakah perasaan yang muncul itu ketertarikan… atau sekadar luka lama yang menyamar sebagai gairah. Siang merambat ke sore. Sutradara akhirnya berteriak, “Cut! Selesai! Thank you semua!” Ambar mengembuskan napas lega. Ia melepas heels, duduk sebentar di belakang van produksi, meneguk air mineral. Rani, manajernya, muncul terburu-buru sambil membawa ponsel. Wajahnya serius. “Mbak… Gion hubungi aku. Dia juga nanya ke beberapa kru. Sekarang dia ada di parkiran.” Ambar terlonjak. “Apa?! Ngapain dia di sini?” Wajahnya tegang, campuran panik dan kesal.
Pagi itu, aroma kopi hitam dan dentingan lembut piring porselen membangunkan Ambar dari tidurnya—anehnya, tanpa rasa bersalah. Di dapur terbuka, Gion tampak kontras dengan dunia malam yang melekat padanya. Pemilik bar ternama itu kini hanya mengenakan kaus putih polos, sigap mengoles alpukat pada roti panggang, lalu menyusun buah segar di piring kecil. Ambar duduk pelan di meja makan. Tak ada kata. Namun keheningan itu bukan dingin—melainkan karena keduanya tahu: yang mereka bagi malam tadi bukan sekadar tubuh. “Tidurmu nyenyak?” tanya Gion, suaranya dalam namun pelan. “Cukup,” jawab Ambar singkat, meraih cangkir teh panas yang sudah tersedia di depannya. Mereka menyantap sarapan dalam diam. Sesekali saling pandang, tapi tak ada percakapan penuh makna. Tak ada pertanyaan “apa kita selanjutnya?” Dan justru di sanalah letak kekosongannya. Ambar tahu dirinya mulai mengenal sisi lain dari Gion—hangat, tidak dibuat-buat. Namun luka masa lalu membuatnya ragu. Ia terlalu takut be
Pagi baru menyapa Bali dengan hangatnya mentari dan aroma laut yang samar. Namun bagi Ambar, hari baru selalu berarti jadwal baru, naskah baru, dan riasan tebal sejak matahari belum tinggi. Dunia selebriti bukan hanya soal glamor, tapi juga disiplin, tekanan, serta ruang pribadi yang terus menyempit.Di dalam van produksi, Ambar duduk dengan rambut disanggul setengah jadi, sementara makeup artist sibuk membaurkan foundation ke lehernya. Seorang asisten menyerahkan botol infused water dan laporan revisi skrip hari ini.“Scene dua langsung diambil jam sembilan, Mbak Ambar. Habis itu ada break dua jam sebelum scene sore,” kata manajernya sambil mengecek rundown.Ambar mengangguk pelan. Pikirannya terpecah—antara adegan berat yang harus ia mainkan dan sebuah pesan WhatsApp yang masuk subuh tadi dari Gion.Gion [05.17]:Selamat pagi. Aku dengar kamu sedang syuting di Bali. Kalau ada waktu luang, mampir ke tempatku ya. Aku adakan private dinner malam Minggu ini. Tidak formal. Hanya orang-or