Mencari Cinta Sejati

Mencari Cinta Sejati

last updateLast Updated : 2025-09-19
By:  Azzahra_19Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
10Chapters
16views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Pencarian cinta sejati oleh seorang perempuan cerdas dan mandiri yang merasa hidupnya hampir lengkap—kecuali dalam urusan hati. Perjalanan ini mengupas luka, pencarian makna cinta, pertemuan takdir, dan pengenalan diri yang lebih dalam.

View More

Chapter 1

Bab 1 Malam Yang Membuka Luka

Malam Jakarta penuh lampu, tapi hati Ambar terasa gelap. Di tangannya, ponsel bergetar, menampilkan foto yang membuat napasnya tercekat—Ivan, lelaki yang ia percaya, tertawa mesra dengan perempuan lain.

Alasan “sibuk” dan “di luar kota” yang selama ini ia dengar mendadak terasa seperti kebohongan murahan. Ambar menggenggam ponselnya erat, dada sesak oleh marah sekaligus kecewa.

Satu pertanyaan menghantui pikirannya:

Apakah cintanya selama ini nyata, atau hanya topeng manis dari sebuah pengkhianatan?

Setibanya di parkiran apartemen, sopir pribadi manajernya membuka pintu. Ambar melangkah keluar dengan tubuh lelah, langkah gontai yang tak bisa disembunyikan, lalu berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun saat matanya menyapu sekeliling, langkahnya seketika membeku.

Sebuah mobil hitam, terparkir tak jauh dari pintu lobi, mesinnya masih menyala. Dan di dalamnya—dalam bayang kabin yang remang—Ambar melihat sosok yang tak asing. Ivan.

Teman dekatnya. Teman bicara. Teman tapi mesra. Lelaki yang selama ini mengisi malam-malamnya dengan pesan suara, tawa, dan janji samar. Lelaki yang belum lama ini menolak undangan makan malam dengan dalih sedang berada di luar kota. Tapi kini, dia di sini. Dan tidak sendiri.

Ambar menatap, matanya menyipit. Perempuan di samping Ivan sedang tersenyum sambil merapikan kerah kemeja pria itu, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Ada sesuatu yang retak. Bukan hanya kelelahan di tubuh Ambar, tapi kelelahan di hati yang menumpuk tanpa nama. Tanpa pikir panjang, ia berjalan cepat menuju mobil itu. Nafasnya berat, langkahnya penuh amarah yang bergema di lantai beton.

BRAK!

Tangannya menghantam kaca mobil dengan keras. Kaget, Ivan menoleh, wajahnya pucat seketika. Perempuan di sampingnya nyaris menjerit.

"Ambar?" seru Ivan dari balik kaca, setengah tak percaya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Ambar menatapnya dengan tatapan yang sudah tidak ingin menjelaskan apa pun. Suaranya tenang, tapi getir, seperti malam yang menahan hujan.

"Pantas saja kamu menolak ajakanku. Katanya kamu di luar kota. Ternyata kamu cuma... menyembunyikan sesuatu."

Tanpa menunggu jawaban, Ambar berbalik. Langkahnya cepat dan tak ragu, masuk kembali ke mobil manajernya. Menutup pintu dengan bunyi klik yang lebih tajam dari kata-kata apa pun.

Di dalam mobil, manajernya, Rini, menahan napas. Suasana mendadak menegang.

"Apa yang kamu lakukan tadi? Gila, Ambar! Kamu sadar nggak itu bisa jadi headline besok pagi?" Suaranya tajam, tapi juga khawatir. “Kamu pikir kamu bisa seenaknya begitu? Popularitas kamu taruh di mana? Kalau kamu nggak dapet job lagi, kamu mau makan apa, hah?”

Ambar hanya menatap ke luar jendela. Matanya kosong, tapi berkilat. Malam di luar sana gelap, tapi tidak lebih gelap dari apa yang baru saja ia rasakan.

"Aku cuma lelah, Rin," katanya pelan. “Lelah dicintai separuh hati, dan disembunyikan separuh nyawa.”

Dan malam itu, tanpa Ambar sadari, langkahnya mulai menjauh dari kisah-kisah cinta semu yang sudah terlalu sering menyakitinya.

Karena dari semua luka, selalu ada ruang untuk permulaan baru.

Sesampainya di unit apartemen yang sepi dan dingin, Ambar tidak menyalakan lampu apa pun. Sepatunya ditendang asal, tasnya dilempar ke sofa, dan tubuhnya langsung ambruk ke atas kasur empuk yang sudah lama tak memberikan kenyamanan.

Ia menatap langit-langit kosong. Rasanya seperti napasnya menolak mengalir lancar, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada tapi tak bisa ditangisi. Lelah… bukan sekadar fisik, tapi seluruh jiwanya terasa runtuh.

Ponselnya bergetar di meja nakas. Sekilas, ia melirik: Ivan.

Dering itu menggema di kamar sunyi, tapi Ambar hanya membiarkannya bergetar hingga berhenti sendiri. Tak ada niat untuk mengangkat. Tak ada lagi urgensi untuk mendengar suara yang ternyata tidak lebih dari bayangan palsu.

Beberapa menit kemudian, notifikasi pesan masuk. Ia membacanya dengan enggan.

Ivan:

“Ambar, dengar dulu. Aku nggak bohong soal perasaanku ke kamu. Aku butuh waktu jelasin semuanya, tapi bukan seperti ini caranya. Dia bukan seperti yang kamu kira. Aku akan jelasin semua besok, aku janji.”

Ambar menghela napas. Satu napas panjang yang tak cukup membebaskan dadanya dari sesak.

Ia membaca ulang pesan itu tanpa ekspresi, lalu meletakkan ponsel terbalik. Tidak ada balasan. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia tahu—untuk beberapa luka, diam adalah satu-satunya jawaban.

Lalu ia memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk menutup semua kenyataan yang terasa terlalu berat jika terus dibuka.

Di luar jendela, lampu-lampu kota masih menyala. Tapi di dalam kamar itu, Ambar memeluk dirinya sendiri dalam gelap. Sadar, bahwa mungkin malam ini bukan hanya tentang kehilangan orang… tapi tentang menemukan kembali keberanian untuk berhenti menjadi bodoh atas nama cinta.

Ponselnya kembali bergetar. Satu notifikasi muncul, menggantikan keheningan yang tadi terasa seperti ruang kosong di dadanya.

Ivan:

“Aku di depan pintu apartemenmu, Ambar. Kumohon, buka pintunya. Aku cuma mau bicara.”

Ambar menatap layar itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena rindu. Bukan pula karena cinta. Detak itu berasal dari campuran getir, kecewa, dan marah yang belum sempat reda.

Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, melangkah ke pintu dengan kaki telanjang dan napas tertahan. Di balik lubang intip, sosok Ivan terlihat berdiri. Memegang ponselnya, gelisah, mondar-mandir kecil.

Ketukan di pintu terus terdengar. Tak keras, tapi terus-menerus. Seperti seseorang yang tidak ingin pergi sampai didengar.

Ambar berdiri dalam diam. Hatinya bertarung hebat—antara harga diri dan rasa yang belum sepenuhnya mati. Entah keberanian macam apa yang mendorongnya melangkah lagi ke depan pintu, tapi sebelum pikirannya selesai merumuskan keputusan, tangannya sudah memutar kenop perlahan.

Klik.

Begitu pintu terbuka, tanpa satu kata pun, Ivan langsung menarik tubuh Ambar ke dalam pelukannya. Dekapannya erat, seperti takut kehilangan lebih dari yang telah hilang.

“Maaf... Ambar, maaf... aku cuma—aku bodoh. Aku panik. Tapi aku nggak main-main sama kamu,” bisik Ivan, suaranya bergetar.

Ambar kaku. Tidak membalas pelukan itu, tapi tidak juga mendorongnya pergi. Hanya diam, berdiri, dengan mata yang menatap lurus ke dinding seolah menyandarkan kekuatan pada diam.

Namun detik berikutnya, terdengar suara seseorang berdeham pelan.

“Maaf, Mbak Ambar…”

Barulah Ivan menyadari: ruang apartemen itu tak sepenuhnya kosong. Beberapa kru dari tim produksi yang tadi mengantar Ambar pulang masih duduk di ruang tamu. Dua orang makeup artist, satu asisten wardrobe, dan manajernya sendiri—Rini—yang sekarang berdiri dengan tangan menyilang dan tatapan tajam penuh kecemasan.

Suasana mendadak hening. Canggung. Semua orang saling pandang.

Rini langsung ambil kendali.

“Oke, semuanya cukup. Teman-teman, tolong bantu saya ya... nggak ada kamera, nggak ada ponsel, dan saya harap ini tidak keluar dari ruangan ini. Untuk kebaikan Mbak Ambar juga,” ucapnya tegas, tapi sopan.

Tanpa perlu diminta dua kali, para kru dengan cepat mulai membereskan barang mereka. Beberapa dari mereka berpaling, pura-pura sibuk, tapi jelas dari wajah-wajah mereka: mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya disaksikan.

Dalam lima menit, ruangan itu kembali kosong. Hanya tinggal Ambar dan Ivan.

Pintu tertutup. Keheningan menggantung.

Ivan masih berdiri, tubuhnya goyah karena campuran rasa bersalah dan emosi yang menyesakkan dada.

Ambar berjalan perlahan ke arah jendela, memunggunginya. Suaranya terdengar pelan, namun tegas.

“Aku buka pintu bukan karena aku percaya, Ivan. Tapi karena aku ingin mendengar—untuk terakhir kali—apa yang sebenarnya ingin kamu perjuangkan.”

Ivan mendekat, menahan napas.

“Aku mau kamu.”

“Kalau kamu benar-benar mau aku,” Ambar menoleh perlahan, mata beningnya menatap lurus ke dalam mata Ivan, “kenapa aku selalu merasa jadi pilihan kedua?”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status