Lulu terdiam, kaget. Kemudian berteriak minta tolong sambil menangis kencang. "Tolooong... Lala... Lala... Tolong!" pengendara motor tersebut turun dari motornya dan membopong Lala kepinggir jalan. Lulu menyusul langkah orang tersebut sambil menangis ketakutan.
Orang-orang sudah berkumpul di depan mengamati luka di kepala Lala yang cukup serius. Lalu ada yang memberikan minum kepada Lulu juga Lala, tetapi sepertinya Lala pingsan.Karena kejadian tidak jauh dari rumah mereka, Bude Yati, tetangga mereka ikut melihat kegaduhan di depan jalan raya. Betapa terkejutnya Bude Yati karena korban tabrakan itu adalah Lala dan Lulu. Yatim piatu tetangganya. Bude Yati berteriak, “Tolong Pak, Bu ini tetangga saya, anak yatim piatu, cepat bawa ke rumah sakit, pinta Bude Yati dengan memelas dan gemetar.Si pengendara motor menyetop taksi dan pergi meninggalkan motornya yang telah dipinggirkannya di bawah pohon dekat lampu merah. Dia melepas helmnya dan mencabut kunci motor.****"Halo, Rin! Apa? Lo nabrak anak SD?”Risti kaget, mendengar ucapan Karin di seberang telepon sana. Seketika lututnya lemas, dia hari ini ada meeting penting dan bahannya ada pada Karin. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah semoga masalah ini tidak lari ke kepolisian, bisa semakin runyam urusan. Risti bermonolog."Ya ampun, Karin, tapi lo gapapa, kan? Trus anak SD-nya bagaimana?”Gapapa gue, mah. Ini anak SD-nya pingsan dan luka kepalanya cukup serius , sekarang gue lagi di rumah sakit. Sorry, kayaknya gue ga bisa ikut meeting hari ini, ucap Karin lemah, tersirat sedikit ketakutan di sana.“Oke, lo tenang aja ntar gue ke sana, meeting hari ini kita tunda, ntar urusan gue gimana bilangnya ke pihak investor.” Risti mencoba menenangkan kepanikan temannya. Sekaligus menenangkan hatinya yang mendadak berdebar.Bambang yang mendengar kabar Lala ditabrak langsung melajukan motornya dengan kencang menuju rumah sakit.Bude Yati memeluk Lulu dengan wajah khawatir, sambil menunggu kedatangan Bambang. Sedangkan Karin masih tertunduk lemas, menyesali kecerobohannya hendak menerobos lampu merah. Ia tidak memperhatikan ada dua anak sekolah yang akan melintas. Bambang yang telah sampai di parkiran rumah sakit, turun dengan berlari menuju UGD untuk melihat keadaan Lala yang masih pingsan.“Bambang...” panggil Bude.“Bude, bagaimana ceritanya sampe Lala ketabrak gini?” Bambang gemetar panik akan hal buruk terjadi pada adiknya.“Wanita itu yang melakukannya, Bude menunjuk Karin.Karin tersadar sorot mata penuh amarah sedang menatapnya, Karin bangun dari duduknya dan menghampiri Bambang. Maafkan saya, Mas, saya ceroboh. tapi saya janji akan tanggung semua biaya pengobatan adiknya, Mas.” ucap Karin sedikit gugup.“Kalau adik saya kenapa-napa, kamu yang harus tanggung jawab sampai selesai! ucapnya dengan nada kesal bercampur amarah.Karin menatap sekilas lelaki muda di hadapannya, wajah lelaki biasa berkulit coklat dengan kacamata membingkai kedua bola matanya. Sepertinya masih sangat muda.Mbak kenapa liatin saya?” tegur Bambang, seakan sadar akan diperhatikan oleh Karin“Oohh... Eehh gapapa, Mas. Karin menunduk kembali."Iya, halo, Ris, gue di UGD,” Karin menerima telepon dari Risti.Risti langsung berjalan menuju UGD. Semua yang melihatnya terpana. Wanita cantik, tinggi, berkaca mata hitam, rambut panjang tergerai dengan mengenakan setelan blazer merah muda, dan celana bahan berwarna coklat susu.Karin memperhatikan kedatangan teman sekaligus bosnya ini seperti sedang melihat artis yang sedang jadi tontonan, Dasaaarr tukang tebar pesona! gumam Karin sambil tersenyum sinis."Rin, lo gapapa? Trus anaknya SD-nya gimana?” tanya Risti khawatir."Gue gapapa, Ris, cuma anak yang gue tabrak belum sadar,” jawab Karin lemas.Bambang cuek tanpa memperhatikan kedatangan Risti. Ia masih sibuk menenangkan Lulu yang masih syok, beruntung Lulu hanya mengalami luka lecet di tangan dan kakinya.“Bude, saya minta tolong, Lulu dibawa pulang saja biar istirahat, saya yang akan di sini menjaga Lala. “Lulu pulang sama bude ya, hati-hati,” Bambang memeluk erat Lulu dan memberikan dua lembar uang lima puluh ribuan untuk ongkos Bude Yati.Risti melirik lelaki muda di sana, “Itu siapanya?” tanya Risti berbisik.“Itu kakaknya.”Bambang melihat sekilas ke arah Risti dan Karin, lalu menunduk kembali tanpa mempedulikan mereka.“What? Gue di cuekin, mata Risti tidak percaya menatap lelaki muda itu tidak terpana oleh dirinya.Ayolah, Bu Bos, masa di rumah sakit lu mau tebar pesona juga sih?gerutu Karin.“Serius Rin, baru kali ini ada cowo yang liat gue, cuek gitu.”“Kepedean lu, ah. Udah tua juga, umpat Karin kesal.“Keluarga Lala,” panggil dokter yang keluar dari UGD."Ya, saya kakaknya, Dok.”Risti dan Karin ikut menghampiri Bambang.“Alhamdulillah, pendarahan di kepalanya sudah berhenti, hanya saja...” dokter menarik napas dalam sebelum melanjutkan penjelasannya.Kenapa, Dok, adik saya?” Bambang tambah gemetar begitu juga Karin dan Risti.“Lala masih belum sadar, harus ditempatkan di ruang intensif, lanjut dokter."Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk adik saya, saya tidak ingin sampai terjadi sesuatu hal buruk pada adik saya," suara Bambang terdengar begitu memohon. Bahkan tanpa diketahui oleh orang-orang sekitarnya, Bambang kini sedang berusaha kuat menahan air matanya yang sebentar lagi akan terjun bebas membasahi kedua pipinya."Maaf, Mas. Silahkan urus administrasi terlebih dahulu, kata seorang perawat.Maaf, Sus, di mana ruangannya?” potong Risti cepat.“Ris," panggil Karin.“Udah lu tenang aja biar gue yang urus.”Bambang memperhatikan dua wanita di depannya, dengan tatapan penuh tanda tanya.Bambang masih tidak percaya melihat nominal yang harus dia bayarkan untuk pengobatan adiknya. “Mas tidak perlu khawatir, biar saya yang bayar semua biaya perawatan adiknya, Mas,” seakan tahu apa yang dipikirkan Bambang.“Terima kasih, Mbak,” ucap Bambang tulus, sambil memperbaiki letak kacamatanya.“Nama saya Risti Susatyo,” sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Dengan ragu Bambang mengulurkan tangannya, itu pun hanya menyentuh ujung tangan Risti. Risti heran kenapa sepertinya lelaki muda di depannya ini tidak tertarik padanya, padahal tidak pernah ada lelaki yang memperlakukannya secuek ini.“Saya Bambang,” Bambang memperkenalkan diri.“Oh, iya, salam kenal, saya atasan sekaligus teman Karin, maafkan atas kecerobohan Karin.” “Tidak apa-apa, Mbak, semua sudah terjadi, semoga adik saya segera sadar dan sehat kembali.” Masih tanpa menatap Risti.Risti memperhatikan Bambang yang wajahnya biasa saja dan penampilan juga biasa saja dengan kacamata berbingkai hitam yang biasa ju
Bambang menatap tak suka ke arah Risti.“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” ump
Ayah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius. Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah s
Karin dan Risti berjalan keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Bambang dan Lala. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kamar perawatan Lala yang berada di kelas VVIP membuat tamu yang datang berkunjung sedikit leluasa untuk datang dan pulang kapan pun. “Biar gue yang nyetir sini, lu kayaknya lelah banget,” Karin mengambil alih kemudi sambil masih memperhatikan wajah Risti yang lesu.“Cerita, dong, gimana tadi?” tanya Karin antusias.“Gue disuruh nikah secepatnya” Risti to the point.“Hah? Maksud lu nikah sama Bambang?” tanya Karin kaget.“Iyalah, masa sama kuda,” ucap Risti bete.“Kok bisa?” Karin masih belum mengerti.“Kayaknya gue tadi terlalu lebay sama Bambang pas di depan bokap gue, pegang tangan dia, nempelin dia terus, huft... Jadi aja bokap gue salah paham.” Risti menaikkan sebelah alisnya sambil mulutnya dicibirkan.“Apa? Hahaha,” Karin tertawa cekikikan di dalam mobil. “Ya ampun Risti, lu udah berapa lama sih ga disentuh lelaki sampe jadi agresif gitu? Wajar bokap l
Tok! tok!Edward masuk lalu tersenyum tipis sambil menggendong dua buah boneka beruang coklat besar, yang satu berpita pink dan satunya lagi pita kuning. Lala sumringah langsung berlari mendekati Edward. “Om, apa itu buat Lala?” tanya Lala antusias.“Betul sekali, kamu suka?” Edward tersenyum tulus.Lala mengangguk cepat. Edward memberikan boneka beruang besar itu, karena ukurannya hampir sama dengan ukuran badan Lala, sehingga Lala kesulitan membawa nya, Bambang membantu Lala memegang yang satunya lagi. Lala berbalik menatap Edward. “Terima kasih, Om,” ucap Lala.“Itu boneka pemberian Teteh Risti dan Kak Karin, ucapkan terima kasih nanti kepada mereka, ya,” ucap Edward sambil melirik ke arah Bambang. Bambang menaikkan alisnya. Tak heran kalau itu pasti pemberian Risti.“Maaf, Mas Bambang sekarang sudah bisa pulang ke rumah, biaya administrasi rumah sakit sudah saya bereskan, kalau sudah rapi biar saya antar,” ucap Edward tegas.“Eh, iya, saya sudah selesai, gapapa biar saya pulang
Risti dan Karin berjalan ke luar rumah Bambang menuju gang depan yang diikuti oleh Edward.“Gila lu, nekat banget tadi,” ujar Karin tidak habis pikir dengan tindakan Risti.“Gua gak suka aja ada cewek itu di sana, urusan gua dan Bambang belum selesai,” ucap Risti ketus.“Lo gak berencana bikin ulah lagi, kan, Ris?” tanya Karin sedikit khawatir dengan Risti. Karin sangat hapal dengan perangai Risti yang suka mengatur dan memaksakan kehendak.“Liat aja nanti, pokoknya Bambang gak bisa seenaknya mundur setelah dia ketemu bokap gue,” ucap Risti sambil tersenyum sinis, sambil menyalakan mesin mobil dan melaju menuju tempat pertemuan dengan Pak Darma.“Ris, tapikan kemaren lu yang bilang sendiri cuma sekali minta tolong dia,” Karin mencoba memberi pengertian kepada Risti. “Iya, kalau cuma sehari itu selesai, sih, gua gapapa. Lha, ini bokap gua nyuruh nikah. Gua gak mau bokap gua ampe kena serangan jantung kalau tahu gua bohingin dia, bisa-bisa gua disuruh kawin besok sama Munos. Oh, tidak.
Risti melempar pakaian Bambang ke lantai dengan tatapan garang. Bambang memunguti pakaiannya dengan cepat lalu berlari menuju pintu keluar. “Maafin saya, Mbak, maafin.” Bambang menatap memelas kepada Risti, dia sendiri tidak memahami bagaimana bisa dia tidur bersama wanita itu.“Pergi!” bentak Risti lagi. Bambang memakai pakaian sembarangan sambil mencari tas kecil yang dia bawa semalam, ternyata berada di sofa. Saat mendekati pintu. Aarrggh... Bambang tidak tahu cara membuka pintu itu. Dengan wajah pucat penuh peluh, Bambang mendekati kamar Risti yang dibatasi tirai. “Mbak, maaf, mmh... saya, itu... tak bisa buka pintunya,” dengan nada polosnya.Risti dengan wajah memerah kesal bangun dari kasur menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berjalan melewati Bambang yang masih terpaku dengan bahu mulus Risti. Dia susah menelan salivanya, sambil memegang dadanya yang berdegub kencang. Belum sampai pintu, Risti berbalik badan, sadar bahwa Bambang memperhatikannya. “Kau... apa belum puas den
"Assalamualaikum, Ayah,” Risti mengucapkan salam sambil mencari keberadaan ayahnya. Bambang berjalan lemas mengekorinya di belakang dengan wajah kaku ditekuk. Ia tidak punya pilihan lain.“Waalaikumsalam, calon pengantin Ayah.” Pria dewasa itu memeluk Risti dengan hangat sambil memperhatikan Bambang yang terpaku di belakang Risti. Sadar diperhatikan, Bambang lalu dengan cepat mengajak calon mertuanya itu bersalaman sambil tersenyum. “Ayo, duduk,” Ayah mempersilakan. “Bi... buatkan minum untuk anak dan calon menantu saya,” titah Pak Hermawan kepada pembantu rumah tangganya. Lagi-lagi Bambang mengusap peluh yang bercucuran. “Bagaimana kabarnya, Nak Bambang?” “Eh, iya, Om. Alhamdulillah, sehat,” jawabnya kikuk sambil menyunggingkan senyum tipis yang dipaksakan. “Om, bagaimana kabarnya?” Bambang berbasa basi.“Wah, saya sehat sekali, apalagi dengar kabar kalian sudah menentukan tanggal,” jawab Pak Hermawan sumringah. “Ayo, diminum, Nak.”“Terima kasih, Om.”“Eh, eh, jangan panggil Om