Risti dipaksa menikah oleh sang Papa secepatnya, jika tidak mau dinikahkan dengan Munos. Pria yang paling ia benci di muka bumi. Dengan bantuan Karina, sekretaris sekaligus sahabatnya sejak kuliah, Risti berhasil mendapatkan target pria yang akan mau menikah kontrak dengannya. Apakah rencana itu akan berjalan mulus?
View MoreSuara sepatu pantofel miliknya mengisi ruang lobi kantor yang masih terlihat lengang. Karena memang masih pukul tujuh pagi, meja resepsionis sudah diisi oleh dua orang wanita berparas cantik dan berpakaian rapi. Selamat pagi, Bu Risti! sapa keduanya dengan hangat saat direktur mereka lewat tepat di depan mereka. Keduanya tersenyum manis ke arah Risti yang disambut dengan anggukan dan senyum tipis milik Risti.
Baru beberapa langkah melewati meja resepsionis, Risti menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik menatap dua wanita yang masih memandangnya dengan takjub."Bapak direksi sudah sampai dari tadi, ya?""Benar, Bu. Sudah lima belas menit yang lalu.""Oke, minta OB lantai saya untuk membuatkan roti dan kopi susu hangat untuk ayah saya, ya. Antarkan langsung ke ruangannya," titah Risti dengan tegas, yang diikuti anggukan keduanya.Suara nyaring hentakan sepatu itu terhenti tatkala pintu lift khusus direksi terbuka. Risti masuk ke dalamnya, lalu dengan jemari mulusnya, ia menekan angka lima belas.****“Pagi, Sayangku!" sapa Karin sambil menyeringai manja."Pagi, Sis! Bapake ada di ruangannya, ya?" Risti bertanya sambil terkekeh.Karin mengangguk, matanya sedikit melotot mengisyaratkan sesuatu."Perasaan gua gak enak, sumpah! Ayah lo tampangnya asem!"“Masa, sih? Duh, ada apa, ya? Gue ke sana langsung deh! Eh, iya, sarapan buat bapake antar langsung nanti, ya. Gak pake lama!"“Siap, Bos!"Risti mengetuk pintu ruangan papanya."Masuk!" Suara bariton Pak Hermawan Susatyo terdegar sayup dari dalam ruangannya. Risti membuka pelan pintu ruangan pemilik perusahaan tersebut."Ayah," panggil Risti dengan membuat suara seceria mungkin. Lelaki dengan rambut putih hampir di seluruh kepalanya itu menoleh. Senyumnya begitu hangat menyambut kedatangan putri satu-satunya.“Halo, Baby!"“Risti, Yah. Bukan Baby!" Wanita itu cemberut mendengar panggilan ‘Baby’ yang selalu ayahnya ucapkan bila bertemu dengannya.Lelaki paruh baya itu terkekeh pelan, ia membuka tangannya lebar. Menyambut pelukan hangat sang puteri yang sudah dua pekan tidak ia temui."Ayah, sehat?" Risti merenggangkan pelukannya. Memperhatikan ayahnya dari ujung kaki sampai ujung rambut putihnya."Banget, Sayang. Anak ayah sehat juga, kan?" Risti tersenyum lalu mengangguk cepat." Ada kabar baru apa yang bisa ayah dengar hari ini?"Keduanya kini sudah duduk di sofa, pesanan yang diminta Risti untuk ayahnya pun sudah datang. Tidak ada roti bakar. Namun, kopi susu dan pisang goreng hangat sudah tertata manis di atas meja. Pak Hermawan menyesap kopi susu miliknya dengan perlahan.“Everything is okay, Dad!" Sahut Risti sambil tersenyum.“Alhamdulillah, siapa dulu anak hebat, Ayah?” pujinya sambil mengusap lengan putrinya."Ayah, kemarin bilang ada hal penting. Apa itu, Yah?""Waktu di Thailand, ayah bertemu Pak Kareem. Ayahnya Munos.""Oh," sahut Risti mendadak malas, begitu mendengar nama Munos kembali.“Beliau ingin kamu menjadi menantunya.""Apa? No, Dad. I can't!" Risti menggelengkan kepalanya tegas.“But he's still loving you!“Bullshit!Pak Hermawan hanya bisa menghela napas panjang. Begitu keras kepalanya putrinya."Tidak Ayah, Aku tidak mau dijodohkan dengan Munos,” jawab Risti memohon pada ayahnya."Kenapa? Kau tak sadar usiamu sudah mendekati kepala tiga, Sayang? Kurangilah kegilaanmu pada pekerjaan," ucap Pak Hermawan Susatyo."Harusnya aku yang sudah tua ini menimang cucu!Bukan hanya untuk memperoleh cucu. Pernikahan kamu dan anak Pak Kareem mampu membuat perusahaan kita semakin besar, Sayang. Ayolah, demi kelangsungan perusahaan kita, menikahlah dengan Munos," pinta Pak Hermawan dengan suara penuh permohonan pada puterinya. Risti menunduk sambil memutar otak. Ia harus memberikan alasan apalagi pada ayahnya untuk menolak perjodohan ini." Kalau kamu diam saja, ayah anggap kamu setuju.""Mmmm... Sebenarnya saya, itu, Yah.., ucap Risti ragu masih sambil memikirkan apa dan bagaimana cara menolak Ayah.“Saya sudah punya pacar. Saya mau kenalin ke Ayah, tapi takut Ayah tidak setuju," sahut Risti beralasan."Waaw... are u seriuos?" Mata pria paruh baya itu berbinar. Risti mengangguk yakin, meskipun diiringi senyum yang mengambang."Oke,Sayang. Sabtu besok kamu bawa pacarmu itu ke hadapan Ayah. Ayah harus berkenalan terlebih dahulu sebelum menjadi menantu Ayah. Bagaimana?"“Baik, Yah. Secepatnya Risti kabari dia." Risti hendak menelan kenop pintu, saat Pak Hermawan kembali memanggilnya."Ayah harap, kali ini tidak ada drama sewa pacar! Paham!" Risti mengangguk dengan leher yang amat kaku.Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments