Share

4. Pria Sederhana

Bambang masih tidak percaya melihat nominal yang harus dia bayarkan untuk pengobatan adiknya. “Mas tidak perlu khawatir, biar saya yang bayar semua biaya perawatan adiknya, Mas,” seakan tahu apa yang dipikirkan Bambang.

“Terima kasih, Mbak,” ucap Bambang tulus, sambil memperbaiki letak kacamatanya.

“Nama saya Risti Susatyo,” sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Dengan ragu Bambang mengulurkan tangannya, itu pun hanya menyentuh ujung tangan Risti. Risti heran kenapa sepertinya lelaki muda di depannya ini tidak tertarik padanya, padahal tidak pernah ada lelaki yang memperlakukannya secuek ini.

“Saya Bambang,” Bambang memperkenalkan diri.

“Oh, iya, salam kenal, saya atasan sekaligus teman Karin, maafkan atas kecerobohan Karin.”

“Tidak apa-apa, Mbak, semua sudah terjadi, semoga adik saya segera sadar dan sehat kembali.” Masih tanpa menatap Risti.

Risti memperhatikan Bambang yang wajahnya biasa saja dan penampilan juga biasa saja dengan kacamata berbingkai hitam yang biasa juga. Dapat dipastikan sepertinya dia memang lelaki baik-baik. Risti masih memperhatikan dengan seksama saat mereka duduk berhadapan di ruang tunggu administrasi.

“Bu, maaf, meeting di Citos mau dibatalkan atau bagaimana?” tanya Edward, bodyguard Risti yang tiba-tiba menghampiri Risti dan Bambang.

“Jangan dibatalkan, setelah ini selesai kita berangkat, kamu siapkan saja mobilnya, jemput aku di lobi depan,” katanya jelas pada Edward. “Mas Bambang, maaf saya harus pergi, kalau perlu bantuan silahkan bicara dengan Karin,” Risti menunduk tanda pamit.

“Iya, Mba terima kasih,” jawab Bambang. Bersyukur karena di balik musibah ini ada orang yang menolongnya. Bambang menghampiri Karin, “Mbak Karin, pulang saja biar saya menunggui adik saya di sini, tapi saya minta KTP Mba buat jaga-jaga kalau Mba lari dari tanggung jawab.”

“Oke, ini KTP dan kartu namaku, terima kasih tidak memperpanjang masalah ini, maafkan saya benar-benar ceroboh,” Karin mengucap tulus.

“Iya, Mba lain kali hati-hati,” timpal Bambang.

Lala sudah dipindahkan ke ruang perawatan intensif, terlihat Bambang kembali duduk di kursi depan kamar Lala, mengambil HP lalu ia memberitahu bos di tempat nya bekerja bahwa hari ini dan besok mungkin belum bisa masuk bekerja. Sepanjang perjalanan, Risti teringat kembali akan sosok Bambang lelaki biasa saja itu mungkin bisa menolongnya.

Ting

Ayah (tertera di layar HP).

Kamu sudah beritahu pacar kamu kalau besok harus ketemu Ayah, kan?

Isi pesan W******p dari Ayah Risti.

Iya sudah, Yah.

Isi jawaban pesan Risti

Habis magrib, jangan terlambat.

Baik Ayah sayang, Risti meeting dulu, ya.

“Huuuft...” Risti menghela napas panjang , sambil Risti menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, lalu memencet kontak Karin. “Halo, Karin, lo masih di rumah sakit?”

“Engga, Ris, gue sekarang udah sampe kantor.”

“Lha, lu ga nungguin anak itu?”

“Gak, gue disuruh pulang sama abangnya, tapi KTP gue ditahan dia,” lanjut Karin. “Gue perlu nyusul ke Citos apa engga, nih?” tanya Karin

“Perlu banget, cepetan ke mari kalau udah rapi berkas yang kita butuhkan, ada yang mau gue omongin.”

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan Lala belum sadarkan diri. Perawat masuk ke ruangan Lala, sudah ada Bambang yang masih memunggui Lala. “Sus, gimana apa sudah ada perubahan atas kondisi adik saya?”

“Belum, Mas, bersabar yaa mas banyak doa semoga pasien Lala segera sadar.” Suster berusaha menenangkan Bambang.

Sudah jam 8 malam, dan Bambang masih di rumah sakit belum mandi dan berganti pakaian, beruntung Bude Yati datang menjenguk Lala dan membawa kan baju ganti untuk Bambang. Bambang menggunakan kaus lusuh berwarna abu-abu serta sarung kotak-kotak hijau favoritnya.

****

Sebagian orang mungkin menggunakan sarung hanya untuk pergi salat atau yang biasa menggunakan sarung adalah lelaki yang sudah kakek-kakek, tetapi tidak untuk Bambang yang baru berusia 23 tahun, menurut Bambang sarung itu seperti pakaian wajib baginya.

Tok... Tok...

Pintu kamar Lala diketuk “Ya, masuk,” jawab Bambang mempersilakan. Karin dan Risti masuk dan bengong melihat Bambang menggunakan sarung serta kaus lusuh di dalam rumah sakit. Risti berusaha menahan tawa. Wajahnya memerah. “Eh, Mba, mari masuk,” Bambang mempersilahkan masuk keduanya.

“Bisa bicara di luar saja, Mas?” kata Karin.

“Oh, iya, bisa.” Bambang berjalan keluar diikuti oleh Risti dan Karin. “Ada apa, ya?” tanya Bambang.

“Bagaimana kondisi Lala, Mas?” tanya Karin.

“Masih begitu belum sadar, mudah-mudahan besok ada perubahan,” Bambang menjawab dengan wajah lesu.

“Aamiin,” timpal Karin dan Risti bersamaan.

Risti masih duduk menghadap pintu kamar perawatan Lala.

“Mmmh... Begini, Mas, bos saya ini mau minta tolong...” ucap Karin ragu.

“Tolong apa, ya, Mbak?”

“Mmmh... Itu, Mas, tapi jangan tersinggung, ya, Mas,” lanjut Karin sedikit ragu. “Saya mau minta tolong Mas Bambang jadi pacar pura-pura saya besok,” Risti memotong nada lugas, sambil memberikan senyuman.

“Hah... Pacar pura-pura maksudnya apa, ya, Mba?” Bambang bengong sekaligus kaget dengan perkataan Risti.

“Intinya, saya mau minta tolong, Mas jadi pacar pura-pura saya untuk besok, sekali... saja, Mas. Saya mau dijodohkan ayah saya, tapi saya tidak mau dan beralasan kalau sudah punya pacar,” lanjut Risti menjelaskan.

Bambang tersenyum kecil merasa aneh, “Wanita secantik mereka yang di hadapannya ini masa iya kekurangan lelaki ganteng sampai harus minta tolong dirinya?” kata Bambang dalam hati. “Bukan saya ga mau nolongin, Mbak, tapi saya gak pernah main-main masalah begini dan pantangan banget bagi saya bohongin orang tua,” ucap Bambang

Risti bagai tersambar petir mendengar sindiran Bambang. Karin menaikkan alisnya dan menahan tawanya. “Ya ampun, Mas, sekali aja, Mas, sekali... untuk besok doang. Mas gak perlu banyak bicara, biar saya aja. Jadi, Mas ga banyak bohongnya,” kata Risti memelas.

“Hehehe,” Bambang tertawa, “Mbak, yang namanya bohong mau sedikit atau banyak tetep aja dosanya sama,” jelas Bambang sambil nyengir bingung dengan kelakuan wanita kaya di depannya ini.

“Ayolah, Mas Bambang, tolongin temen saya ini,” Karin angkat bicara.

“Hft... Baiklah untuk besok saja,” lanjut Bambang setuju.

“Yes, makasih, Mas, besok sore jam 5 saya jemput di rumah sakit, ya,” ucap Risti kegirangan.

“Bambang...” suara wanita dari ujung lorong memanggil Bambang.

“Fani?” tidak menyangka, Fani, teman kantornya datang ke rumah sakit. Fani adalah wanita yang disukai Bambang, namun karena kehidupan Bambang yang pas-pasan, dia tidak berani menyatakan perasaannya atau berkomitmen dengan Fani. Bambang tak ingin Fani kecewa.

“Bagaimana kabar Lala?” tanya Fani tanpa menghiraukan dua wanita cantik di sampingnya.

“Masih belum sadar, Fan, mudah-mudahan besok ada perubahan,” ucap Bambang lesu.

Risti memperhatikan gelagat aneh pada Bambang saat berdekatan dengan Fani. Bambang salah tingkah dan berkeringat tidak berani menatap Fani, sedangkan dengan dirinya dan Karin Bambang bersikap biasa saja. Karin pun merasa ada sesuatu di antara Fani dan Bambang. Matanya mengarah pada Risti matanya melotot memberi kode bahwa pasangan di depan mereka ini memiliki hubungan.

“Oh, ya, maaf, kenalin ini Fani teman kantor saya, “ Bambang memperkenalkan Fani kepada Karin dan Risti.

“Saya Karin.”

“Saya Risti pacarnya Bambang,” ucap Risti dengan jelas.

“Apa?” Fani kaget sambil memperhatikan Risti.

“Gak mungkin, serius ,Bang? Ini pacar kamu?” Fani bertanya kepada Bambang dengan nada kecewa.

“Eh, itu bukan, seperti yang kamu pikirkan,” ucap Bambang meyakinkan Fani.

Fani menyerahkan bungkusan berisi donat ke tangan Bambang, lalu berbalik pergi, “Aku pulang dulu, salam untuk Lala.” Fani berjalan tanpa menoleh lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
Risti emang yaaa.. baru kenal udh mau menguasai, begitula sifat para pembisnis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status