Share

4. Pria Sederhana

last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-07 11:06:19

Bambang masih tidak percaya melihat nominal yang harus dia bayarkan untuk pengobatan adiknya. “Mas tidak perlu khawatir, biar saya yang bayar semua biaya perawatan adiknya, Mas,” seakan tahu apa yang dipikirkan Bambang.

“Terima kasih, Mbak,” ucap Bambang tulus, sambil memperbaiki letak kacamatanya.

“Nama saya Risti Susatyo,” sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Dengan ragu Bambang mengulurkan tangannya, itu pun hanya menyentuh ujung tangan Risti. Risti heran kenapa sepertinya lelaki muda di depannya ini tidak tertarik padanya, padahal tidak pernah ada lelaki yang memperlakukannya secuek ini.

“Saya Bambang,” Bambang memperkenalkan diri.

“Oh, iya, salam kenal, saya atasan sekaligus teman Karin, maafkan atas kecerobohan Karin.”

“Tidak apa-apa, Mbak, semua sudah terjadi, semoga adik saya segera sadar dan sehat kembali.” Masih tanpa menatap Risti.

Risti memperhatikan Bambang yang wajahnya biasa saja dan penampilan juga biasa saja dengan kacamata berbingkai hitam yang biasa juga. Dapat dipastikan sepertinya dia memang lelaki baik-baik. Risti masih memperhatikan dengan seksama saat mereka duduk berhadapan di ruang tunggu administrasi.

“Bu, maaf, meeting di Citos mau dibatalkan atau bagaimana?” tanya Edward, bodyguard Risti yang tiba-tiba menghampiri Risti dan Bambang.

“Jangan dibatalkan, setelah ini selesai kita berangkat, kamu siapkan saja mobilnya, jemput aku di lobi depan,” katanya jelas pada Edward. “Mas Bambang, maaf saya harus pergi, kalau perlu bantuan silahkan bicara dengan Karin,” Risti menunduk tanda pamit.

“Iya, Mba terima kasih,” jawab Bambang. Bersyukur karena di balik musibah ini ada orang yang menolongnya. Bambang menghampiri Karin, “Mbak Karin, pulang saja biar saya menunggui adik saya di sini, tapi saya minta KTP Mba buat jaga-jaga kalau Mba lari dari tanggung jawab.”

“Oke, ini KTP dan kartu namaku, terima kasih tidak memperpanjang masalah ini, maafkan saya benar-benar ceroboh,” Karin mengucap tulus.

“Iya, Mba lain kali hati-hati,” timpal Bambang.

Lala sudah dipindahkan ke ruang perawatan intensif, terlihat Bambang kembali duduk di kursi depan kamar Lala, mengambil HP lalu ia memberitahu bos di tempat nya bekerja bahwa hari ini dan besok mungkin belum bisa masuk bekerja. Sepanjang perjalanan, Risti teringat kembali akan sosok Bambang lelaki biasa saja itu mungkin bisa menolongnya.

Ting

Ayah (tertera di layar HP).

Kamu sudah beritahu pacar kamu kalau besok harus ketemu Ayah, kan?

Isi pesan W******p dari Ayah Risti.

Iya sudah, Yah.

Isi jawaban pesan Risti

Habis magrib, jangan terlambat.

Baik Ayah sayang, Risti meeting dulu, ya.

“Huuuft...” Risti menghela napas panjang , sambil Risti menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, lalu memencet kontak Karin. “Halo, Karin, lo masih di rumah sakit?”

“Engga, Ris, gue sekarang udah sampe kantor.”

“Lha, lu ga nungguin anak itu?”

“Gak, gue disuruh pulang sama abangnya, tapi KTP gue ditahan dia,” lanjut Karin. “Gue perlu nyusul ke Citos apa engga, nih?” tanya Karin

“Perlu banget, cepetan ke mari kalau udah rapi berkas yang kita butuhkan, ada yang mau gue omongin.”

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan Lala belum sadarkan diri. Perawat masuk ke ruangan Lala, sudah ada Bambang yang masih memunggui Lala. “Sus, gimana apa sudah ada perubahan atas kondisi adik saya?”

“Belum, Mas, bersabar yaa mas banyak doa semoga pasien Lala segera sadar.” Suster berusaha menenangkan Bambang.

Sudah jam 8 malam, dan Bambang masih di rumah sakit belum mandi dan berganti pakaian, beruntung Bude Yati datang menjenguk Lala dan membawa kan baju ganti untuk Bambang. Bambang menggunakan kaus lusuh berwarna abu-abu serta sarung kotak-kotak hijau favoritnya.

****

Sebagian orang mungkin menggunakan sarung hanya untuk pergi salat atau yang biasa menggunakan sarung adalah lelaki yang sudah kakek-kakek, tetapi tidak untuk Bambang yang baru berusia 23 tahun, menurut Bambang sarung itu seperti pakaian wajib baginya.

Tok... Tok...

Pintu kamar Lala diketuk “Ya, masuk,” jawab Bambang mempersilakan. Karin dan Risti masuk dan bengong melihat Bambang menggunakan sarung serta kaus lusuh di dalam rumah sakit. Risti berusaha menahan tawa. Wajahnya memerah. “Eh, Mba, mari masuk,” Bambang mempersilahkan masuk keduanya.

“Bisa bicara di luar saja, Mas?” kata Karin.

“Oh, iya, bisa.” Bambang berjalan keluar diikuti oleh Risti dan Karin. “Ada apa, ya?” tanya Bambang.

“Bagaimana kondisi Lala, Mas?” tanya Karin.

“Masih begitu belum sadar, mudah-mudahan besok ada perubahan,” Bambang menjawab dengan wajah lesu.

“Aamiin,” timpal Karin dan Risti bersamaan.

Risti masih duduk menghadap pintu kamar perawatan Lala.

“Mmmh... Begini, Mas, bos saya ini mau minta tolong...” ucap Karin ragu.

“Tolong apa, ya, Mbak?”

“Mmmh... Itu, Mas, tapi jangan tersinggung, ya, Mas,” lanjut Karin sedikit ragu. “Saya mau minta tolong Mas Bambang jadi pacar pura-pura saya besok,” Risti memotong nada lugas, sambil memberikan senyuman.

“Hah... Pacar pura-pura maksudnya apa, ya, Mba?” Bambang bengong sekaligus kaget dengan perkataan Risti.

“Intinya, saya mau minta tolong, Mas jadi pacar pura-pura saya untuk besok, sekali... saja, Mas. Saya mau dijodohkan ayah saya, tapi saya tidak mau dan beralasan kalau sudah punya pacar,” lanjut Risti menjelaskan.

Bambang tersenyum kecil merasa aneh, “Wanita secantik mereka yang di hadapannya ini masa iya kekurangan lelaki ganteng sampai harus minta tolong dirinya?” kata Bambang dalam hati. “Bukan saya ga mau nolongin, Mbak, tapi saya gak pernah main-main masalah begini dan pantangan banget bagi saya bohongin orang tua,” ucap Bambang

Risti bagai tersambar petir mendengar sindiran Bambang. Karin menaikkan alisnya dan menahan tawanya. “Ya ampun, Mas, sekali aja, Mas, sekali... untuk besok doang. Mas gak perlu banyak bicara, biar saya aja. Jadi, Mas ga banyak bohongnya,” kata Risti memelas.

“Hehehe,” Bambang tertawa, “Mbak, yang namanya bohong mau sedikit atau banyak tetep aja dosanya sama,” jelas Bambang sambil nyengir bingung dengan kelakuan wanita kaya di depannya ini.

“Ayolah, Mas Bambang, tolongin temen saya ini,” Karin angkat bicara.

“Hft... Baiklah untuk besok saja,” lanjut Bambang setuju.

“Yes, makasih, Mas, besok sore jam 5 saya jemput di rumah sakit, ya,” ucap Risti kegirangan.

“Bambang...” suara wanita dari ujung lorong memanggil Bambang.

“Fani?” tidak menyangka, Fani, teman kantornya datang ke rumah sakit. Fani adalah wanita yang disukai Bambang, namun karena kehidupan Bambang yang pas-pasan, dia tidak berani menyatakan perasaannya atau berkomitmen dengan Fani. Bambang tak ingin Fani kecewa.

“Bagaimana kabar Lala?” tanya Fani tanpa menghiraukan dua wanita cantik di sampingnya.

“Masih belum sadar, Fan, mudah-mudahan besok ada perubahan,” ucap Bambang lesu.

Risti memperhatikan gelagat aneh pada Bambang saat berdekatan dengan Fani. Bambang salah tingkah dan berkeringat tidak berani menatap Fani, sedangkan dengan dirinya dan Karin Bambang bersikap biasa saja. Karin pun merasa ada sesuatu di antara Fani dan Bambang. Matanya mengarah pada Risti matanya melotot memberi kode bahwa pasangan di depan mereka ini memiliki hubungan.

“Oh, ya, maaf, kenalin ini Fani teman kantor saya, “ Bambang memperkenalkan Fani kepada Karin dan Risti.

“Saya Karin.”

“Saya Risti pacarnya Bambang,” ucap Risti dengan jelas.

“Apa?” Fani kaget sambil memperhatikan Risti.

“Gak mungkin, serius ,Bang? Ini pacar kamu?” Fani bertanya kepada Bambang dengan nada kecewa.

“Eh, itu bukan, seperti yang kamu pikirkan,” ucap Bambang meyakinkan Fani.

Fani menyerahkan bungkusan berisi donat ke tangan Bambang, lalu berbalik pergi, “Aku pulang dulu, salam untuk Lala.” Fani berjalan tanpa menoleh lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
Risti emang yaaa.. baru kenal udh mau menguasai, begitula sifat para pembisnis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mencari Suami Bayaran   108. Akikah

    Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat

  • Mencari Suami Bayaran   107. Si Mbok

    Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke

  • Mencari Suami Bayaran   106. Nikmatnya Mengurus Bayi

    "Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me

  • Mencari Suami Bayaran   105. Masa Nifas

    Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha

  • Mencari Suami Bayaran   104. Si Kembar

    Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula

  • Mencari Suami Bayaran   103. Malam Itu

    Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di

  • Mencari Suami Bayaran   102. Karyawan Bag. 2

    Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema

  • Mencari Suami Bayaran   101. Karyawan

    Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su

  • Mencari Suami Bayaran   100. Awal Mula (Bagian 2)

    Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status