Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Suara sepatu pantofel miliknya mengisi ruang lobi kantor yang masih terlihat lengang. Karena memang masih pukul tujuh pagi, meja resepsionis sudah diisi oleh dua orang wanita berparas cantik dan berpakaian rapi. Selamat pagi, Bu Risti! sapa keduanya dengan hangat saat direktur mereka lewat tepat di depan mereka. Keduanya tersenyum manis ke arah Risti yang disambut dengan anggukan dan senyum tipis milik Risti. Baru beberapa langkah melewati meja resepsionis, Risti menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik menatap dua wanita yang masih memandangnya dengan takjub. "Bapak direksi sudah sampai dari tadi, ya?""Benar, Bu. Sudah lima belas menit yang lalu.""Oke, minta OB lantai saya untuk membuatkan roti dan kopi susu hangat untuk ayah saya, ya. Antarkan langsung ke ruangannya," titah Risti dengan tegas, yang diikuti anggukan keduanya.Suara nyaring hentakan sepatu itu terhenti tatkala pintu lift khusus direksi terbuka. Risti masuk ke dalamnya, lalu dengan jemari mulusnya, ia menekan ang
Dadanya berdegup kencang, tangannya pun berkeringat. Belum pernah dia membohongi ayahnya untuk hal sepelik ini. Risti masuk ke ruangannya dengan malas, duduk bersandar di kursi, memikirkan ucapan ayahnya barusan dan bagaimana nanti hari Sabtu? Risti memutar otak, menggigit kukunya, tanda saat ini dia sedang resah. Dia harus minta tolong siapa untuk menjadi pacar sementaranya? Membayar orang pun tidak apa. Asal ia diselamatkan dari perjodohan dengan Munos. Mantannya terdahulu.“Karin, bisa ke ruangan gue?" panggil Risti dari sambungan telepon.Karin adalah sekretaris Risti, sekaligus teman baik Risti sejak masih SMA. Semua urusan kantor dan pribadi Risti, diketahui dengan baik oleh Karin. Begitu pun sebaliknya.Suara pintu ruangan Risti diketuk.“Masuk!”"Yes, Bos?” jawab Karin, sambil tersenyum manis mendekati kursi Risti. “Ada apa muka lo asem banget, persis bapake tadi?” tanya Karin heran dengan wajah temannya yang ditekuk.“Gue bingung, nih. Pagi-pagi dipanggil ke ruangannya, kira
Lulu terdiam, kaget. Kemudian berteriak minta tolong sambil menangis kencang. "Tolooong... Lala... Lala... Tolong!" pengendara motor tersebut turun dari motornya dan membopong Lala kepinggir jalan. Lulu menyusul langkah orang tersebut sambil menangis ketakutan.Orang-orang sudah berkumpul di depan mengamati luka di kepala Lala yang cukup serius. Lalu ada yang memberikan minum kepada Lulu juga Lala, tetapi sepertinya Lala pingsan.Karena kejadian tidak jauh dari rumah mereka, Bude Yati, tetangga mereka ikut melihat kegaduhan di depan jalan raya. Betapa terkejutnya Bude Yati karena korban tabrakan itu adalah Lala dan Lulu. Yatim piatu tetangganya. Bude Yati berteriak, “Tolong Pak, Bu ini tetangga saya, anak yatim piatu, cepat bawa ke rumah sakit, pinta Bude Yati dengan memelas dan gemetar.Si pengendara motor menyetop taksi dan pergi meninggalkan motornya yang telah dipinggirkannya di bawah pohon dekat lampu merah. Dia melepas helmnya dan mencabut kunci motor. ****"Halo, Rin! Apa? L
Bambang masih tidak percaya melihat nominal yang harus dia bayarkan untuk pengobatan adiknya. “Mas tidak perlu khawatir, biar saya yang bayar semua biaya perawatan adiknya, Mas,” seakan tahu apa yang dipikirkan Bambang.“Terima kasih, Mbak,” ucap Bambang tulus, sambil memperbaiki letak kacamatanya.“Nama saya Risti Susatyo,” sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Dengan ragu Bambang mengulurkan tangannya, itu pun hanya menyentuh ujung tangan Risti. Risti heran kenapa sepertinya lelaki muda di depannya ini tidak tertarik padanya, padahal tidak pernah ada lelaki yang memperlakukannya secuek ini.“Saya Bambang,” Bambang memperkenalkan diri.“Oh, iya, salam kenal, saya atasan sekaligus teman Karin, maafkan atas kecerobohan Karin.” “Tidak apa-apa, Mbak, semua sudah terjadi, semoga adik saya segera sadar dan sehat kembali.” Masih tanpa menatap Risti.Risti memperhatikan Bambang yang wajahnya biasa saja dan penampilan juga biasa saja dengan kacamata berbingkai hitam yang biasa ju
Bambang menatap tak suka ke arah Risti.“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” ump
Ayah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius. Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah s