Masih di hari yang sama.
Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu.
Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.
“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan kecil yang sempurna.
Langit yang semakin biru tua menyuarakan hening dalam gulitanya. Menyamarkan kesedihan dalam tenang yang harus dipertahankan. Vania menuangkan harapannya pada tetes air mata yang mengalir di pipi. Mengaduh pada malam yang menemaninya saat memanjatkan do’a.
Dering ponsel kembali menyuarakan notifikasinya. Vania mengusap wajahnya dengan lembut. Menandakan bahwa ia menyudahi do’anya.
Dua panggilan tak terjawab tercantum di layar ponsel. Vania segera membukanya.
“Om David.” Vania menghela nafasnya dengan berat.
Jarinya mengklik kembali kontak pamannya, David. Dia paman yang akan segera menjemput Vania lusa mendatang.
“Halo?” pamannya mengangkat telepon Vania.
“Halo, Om.” Vania kembali menghela nafas dengan berat. “Ada apa, Om? Tadi Vania sedang shalat.” Sambung Vania.
“Besok Om berangkat dari sini jam tiga sore. Mau nginep. Biar lusa enggak terlalu capek.” David mengabari.
“Iya, Om. Vania kasih tahu Mama sekarang, ya?” Vania melangkahkan kakinya dengan gontai. Menjadikan udara malam sebagai beban yang berat untuk ia lumpuhkan. “Ma, Om David.” Sambung Vania sambil memberikan ponselnya pada mamanya. Dan kembali ke kamarnya.
“Halo, Dav.” Mama Vania mendekatkan ponselnya pada telinganya.
“Halo..”
“Halo..”
“Halo...”
Mama Vania mengutak-atik ponsel itu. Ia tak mendengar suara apapun dari ponsel Vania.
“Vaaaan,” panggil mama Vania.
“Apa, Ma?” teriak Vania yang baru saja duduk di ranjang sambil memutar bola matanya.
“Kok enggak ada suaranya?” teriak Mama Vania.
“Ah, Mama, tinggal klik loudspeaker.” Vania menggerutu dan menghampiri mamanya.
“Ini!” Mama Vania memberikan ponselnya.
“Hmmm... Halo, Vid, gimana?” mama Vania melanjutkan teleponnya.
“Gini, Kak, besok saya jemput si Vania jam tiga sore. Biar bisa nginep disana.”
Vania kembali ke kamarnya. Menjatuhkan tubuh di ranjang. Dan menikmati kesendirian dengan tenang. Tubuh yang masih terbalut mukena putihnya menggeliat dengan begitu nikmatnya.
“Vid, bagi Kakak-mah yang paling penting, kamu jemput si Vania sebelum Kakak berangkat.” Obrolan mama Vania terdengar jelas ke kamar Vania.
“Yaa.. kan besok?”
“Baguslah kalau besok kamu kesini, biar Kakak siapkan untuk kamu.” Ucap mama Vania.
Di dalam kamar, air mata Vania kembali mengalir. Meski telah berusaha menahannya. Air matanya tak dapat ia bendung. Malam kembali hening setelah mama Vania mengakhiri percakapannya dengan adiknya. Rasa sedih melanda lagi. Entah dengan apa ia dapat mengobatinya. Langit tak memberitahunya tentang cara terbaik untuk melupakan kenangan di suatu saat nanti, di tempat barunya nanti. Langit hanya diam. Mengintip sang gadis dengan mata tertutupnya.
Isya menghampiri semesta. Vania terbangun dari tubuh yang sedang tersiksa. Memperbaiki mata sendunya. Memperbaiki tangan hampanya. Memperbaiki tubuh rapuhnya. Memperbaiki nafas beratnya. Gadis itu mendirikan kewajibannya.
Ponsel Vania berkali-kali menggetarkan tanda notifikasi pesan dari seseorang yang mengganggu kekhusyukan shalatnya. Hingga usai menunaikan kewajibannya, Vania buru-buru mengambil ponselnya.
“Vania..”
Aldy. Aldy datang lagi. Tak hanya menggetarkan ponselnya, tapi membuat tubuh pemiliknya jatuh perlahan dan duduk membungkuk. Mengalirkan air mata dengan begitu derasnya. Dan menangis tersedu dalam goncangan bahunya.
“Aldy?” Vania mengetik dengan tangan yang lemas.
“Iya..” balas Aldy. “Kamu apa kabar?” Aldy mengirimkan pesan keduanya.
“Al..” Vania mengirimi Aldy pesan bersama air mata yang masih mengalir di pipinya.
“Aku kangen,” Aldy membalas.
Vania semakin tersedu membacanya. Tubuhnya semakin rapuh, tak dapat terangkat. Ia tersungkur di lantai kayu kamarnya.
“Ya Allah..” gumam Vania dalam hati. Ia kembali menatap ponselnya. Mencoba menghapus air mata yang tak henti membuat kedua matanya terbanjiri.
“Van, aku masih di sini untuk kau cintai, untuk kau miliki.” Aldy kembali menusuk mata Vania yang semakin berair.
“Aldy.. kenapa kamu tak pernah kabari aku?” Vania segera mengklik tombol send di ponselnya.
“Aku sendiri enggak tahu alasannya seperti apa, Van.” Balas Aldy.
“Kenapa bisa, Al?” balas Vania.
Air mata menetes. Membasahi layar ponsel yang sedang Vania pegang dengan kedua tangannya.
“Aku bilang aku tidak tahu, Van..” Balas Aldy.
“Al...aku tak pernah bisa lupakan kamu. Entah apa alasannya. Tolong kamu pahami hal ini.” Air mata masih membanjiri pipi Vania.
“Aku tahu itu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku ada untukmu, tapi kamu pun harus ada untuk aku. Aku yakin, kita ini jodoh.”
“Apakah semudah itu?”
“Yakinlah padaku..”
“Akan kucoba.”
“Harus.”
“Mami?”
“Kenapa dengan Mami?”
“Bagaimana kalau Mami marah?”
“Percaya padaku! Aku akan memilihmu.”
“Al..”
Tiada balasan yang langsung Vania terima. Jarum jam mengitari waktu yang mengelilingi tubuhnya. Mendentingkan harapan pada ketukan waktu. Lima menit berlalu, tiada jawaban apapun dari lelaki itu. Delapan menit. Sepuluh menit. Dua belas menit. Dua puluh menit. Dan setengah jam. Vania tak mendengar notifikasi apapun dari ponselnya. Pikirnya, mungkin Aldy sudah tidur. Selisih waktunya satu jam lebih cepat dibanding di negara Vania.
“Al..” Vania kembali mengetik.
Vania mulai menyimpan ponselnya, membuka mukenanya, merapikannya, menyimpannya di atas lemari. Aldy masih belum menjawab.
Getar notifikasi membuat mata Vania terbelalak dan jantungnya serasa berhenti begitu saja. Ia segera membuka ponselnya.
“Besok berangkat jam berapa ke sekolah?” Reno. Rupanya Reno. Vania menghela nafas dengan berat dan mencoba untuk menenangkat hatinya sendiri.
“Gimana besok aja.” Balas Vania dengan ekspresi yang terpaksa.
“Kamu yakin?” balas Reno.
“Ya..” balas Vania dengan malas.
“Kamu kenapa?”
“Gak apa-apa.”
“Van,”
“Kenapa?”
“Kamu kenapa?”
“Aku bilang aku gak apa-apa.”
“Kamu ini.”
“Apa?”
“Kamu kenapa?”
“Aku kan udah bilang kalau aku enggak apa-apa, Ren!” Vania melemparkan ponselnya.
Getar di ponsel tak ia pedulikan lagi. Meski berkali-kali ponselnya bergetar. Ia berbaring kembali di kasurnya. Mendadak rasa benci itu muncul pada Reno. Medadak kembali rindu pada Aldy. Lelaki yang kembali datang menghampiri.
“Sudahlah. Ini bagian dari takdir. Semoga Aldy menjadi jodoh yang tepat untukku.” Gumamnya dalam hati.
Malam membawanya menuju alam lain. Mimpi. Mimpi yang menjadi teman tidurnya.
Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan
Angin datang saat teduh sudah hilang. Hembusannya menelusup ke sela tangan. Ada sejuk yang dirasakan. Sungguh dalam kenikmatan. Vania menggeliat. Menatap gunung yang menjulang sendirian. Gunung yang jauh dari gunung manapun. Gunung yang hanya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil di kakinya. Mentari mengintip dari pundak gunung. Memberi Vania kehangatan dalam tubuhnya.“Pagi..” sapa Sidik.“Pagi.” Jawab Vania.“Teh Raninya ada?” tanya Sidik.“Ada. Masuk aja.” Vania mempersilahkan Sidik masuk.“Emhh.. terimakasih, Teh.” Sidik mengangguk.“Sama-sama.” Jawab Vania.Vania kembali menatap gunung yang menjulang sendirian. Seakan disana ada dirinya sedang mendaki, menuju kemenangan. Kaki Vania berjingkat-jingkat seperti orang yang sedang melakukan pemanasan. Tangannya bertolak pinggang. Ia menghitung semua gerakannya dari satu sampai delapan dan terus mengulanginya. Ya. Ben