Share

Nineth

Masih di hari yang sama.

Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu.  

Dering ponsel menghiasi malam  itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun  paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.

“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan kecil yang sempurna.

Langit yang semakin biru tua menyuarakan hening dalam gulitanya. Menyamarkan kesedihan dalam tenang yang harus dipertahankan. Vania menuangkan harapannya pada tetes air mata yang mengalir di pipi. Mengaduh pada malam yang menemaninya saat memanjatkan do’a.

Dering ponsel kembali menyuarakan notifikasinya. Vania mengusap wajahnya dengan lembut. Menandakan bahwa ia menyudahi do’anya.

Dua panggilan tak terjawab tercantum di layar ponsel. Vania segera membukanya.

“Om David.” Vania menghela nafasnya dengan berat.

Jarinya mengklik kembali kontak pamannya, David. Dia paman yang akan segera menjemput Vania lusa mendatang.

“Halo?” pamannya mengangkat telepon Vania.

“Halo, Om.” Vania kembali menghela nafas dengan berat. “Ada apa, Om? Tadi Vania sedang shalat.” Sambung Vania.

“Besok Om berangkat dari sini jam tiga sore. Mau nginep. Biar lusa enggak terlalu capek.” David mengabari.

“Iya, Om. Vania kasih tahu Mama sekarang, ya?” Vania melangkahkan kakinya dengan gontai. Menjadikan udara malam sebagai beban yang berat untuk ia lumpuhkan. “Ma, Om David.” Sambung Vania sambil memberikan ponselnya pada mamanya. Dan kembali ke kamarnya.

“Halo, Dav.” Mama Vania mendekatkan ponselnya pada telinganya.

“Halo..”

“Halo..”

“Halo...”

Mama Vania mengutak-atik ponsel itu. Ia tak mendengar suara apapun dari ponsel Vania.

“Vaaaan,” panggil mama Vania.

“Apa, Ma?” teriak Vania yang baru saja duduk di ranjang sambil memutar bola matanya.

“Kok enggak ada suaranya?” teriak Mama Vania.

“Ah, Mama, tinggal klik loudspeaker.” Vania menggerutu dan menghampiri mamanya.

“Ini!” Mama Vania memberikan ponselnya.

“Hmmm... Halo, Vid, gimana?” mama Vania melanjutkan teleponnya.

“Gini, Kak, besok saya jemput si Vania jam tiga sore. Biar bisa nginep disana.”

Vania kembali ke kamarnya. Menjatuhkan tubuh di ranjang. Dan menikmati kesendirian dengan tenang. Tubuh yang masih terbalut mukena putihnya menggeliat dengan begitu nikmatnya.

“Vid, bagi Kakak-mah yang paling penting, kamu jemput si Vania sebelum Kakak berangkat.” Obrolan mama Vania terdengar jelas ke kamar Vania.

“Yaa.. kan besok?”

“Baguslah kalau besok kamu kesini, biar Kakak siapkan untuk kamu.” Ucap mama Vania.

Di dalam kamar, air mata Vania kembali mengalir. Meski telah berusaha menahannya. Air matanya tak dapat ia bendung. Malam kembali hening setelah mama Vania mengakhiri percakapannya dengan adiknya. Rasa sedih melanda lagi. Entah dengan apa ia dapat mengobatinya. Langit tak memberitahunya tentang cara terbaik untuk melupakan kenangan di suatu saat nanti, di tempat barunya nanti. Langit hanya diam. Mengintip sang gadis dengan mata tertutupnya.

Isya menghampiri semesta. Vania terbangun dari tubuh yang sedang tersiksa. Memperbaiki mata sendunya. Memperbaiki tangan hampanya. Memperbaiki tubuh rapuhnya. Memperbaiki nafas beratnya. Gadis itu mendirikan kewajibannya.

Ponsel Vania berkali-kali menggetarkan tanda notifikasi pesan dari seseorang yang mengganggu kekhusyukan shalatnya. Hingga usai menunaikan kewajibannya, Vania buru-buru mengambil ponselnya.

“Vania..”

Aldy. Aldy datang lagi. Tak hanya menggetarkan ponselnya, tapi membuat tubuh pemiliknya jatuh perlahan dan duduk membungkuk. Mengalirkan air mata dengan begitu derasnya. Dan menangis tersedu dalam goncangan bahunya.

“Aldy?” Vania mengetik dengan tangan yang lemas.

“Iya..” balas Aldy. “Kamu apa kabar?” Aldy mengirimkan pesan keduanya.

“Al..” Vania mengirimi Aldy pesan bersama air mata yang masih mengalir di pipinya.

“Aku kangen,” Aldy membalas.

Vania semakin tersedu membacanya. Tubuhnya semakin rapuh, tak dapat terangkat. Ia tersungkur di lantai kayu kamarnya.

“Ya Allah..” gumam Vania dalam hati. Ia kembali menatap ponselnya. Mencoba menghapus air mata yang tak henti membuat kedua matanya terbanjiri.

“Van, aku masih di sini untuk kau cintai, untuk kau miliki.” Aldy kembali menusuk mata Vania yang semakin berair.

“Aldy.. kenapa kamu tak pernah kabari aku?” Vania segera mengklik tombol send di ponselnya.

“Aku sendiri enggak tahu alasannya seperti apa, Van.” Balas Aldy.

“Kenapa bisa, Al?” balas Vania.

Air mata menetes. Membasahi layar ponsel yang sedang Vania pegang dengan kedua tangannya.

“Aku bilang aku tidak tahu, Van..” Balas Aldy.

“Al...aku tak pernah bisa lupakan kamu. Entah apa alasannya. Tolong kamu pahami hal ini.” Air mata masih membanjiri pipi Vania.

“Aku tahu itu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku ada untukmu, tapi kamu pun harus ada untuk aku. Aku yakin, kita ini jodoh.”

“Apakah semudah itu?”

“Yakinlah padaku..”

“Akan kucoba.”

“Harus.”

“Mami?”

“Kenapa dengan Mami?”

“Bagaimana kalau Mami marah?”

“Percaya padaku! Aku akan memilihmu.”

“Al..”

Tiada balasan yang langsung Vania terima. Jarum jam mengitari waktu yang mengelilingi tubuhnya. Mendentingkan harapan pada ketukan waktu. Lima menit berlalu, tiada jawaban apapun dari lelaki itu. Delapan menit. Sepuluh menit. Dua belas menit. Dua puluh menit. Dan setengah jam. Vania tak mendengar notifikasi apapun dari ponselnya. Pikirnya, mungkin Aldy sudah tidur. Selisih waktunya satu jam lebih cepat dibanding di negara Vania.

“Al..” Vania kembali mengetik.

Vania mulai menyimpan ponselnya, membuka mukenanya, merapikannya, menyimpannya di atas lemari. Aldy masih belum menjawab.

Getar notifikasi membuat mata Vania terbelalak dan jantungnya serasa berhenti begitu saja. Ia segera membuka ponselnya.

“Besok berangkat jam berapa ke sekolah?” Reno. Rupanya Reno. Vania menghela nafas dengan berat dan mencoba untuk menenangkat hatinya sendiri.

“Gimana besok aja.” Balas Vania dengan ekspresi yang terpaksa.

“Kamu yakin?” balas Reno.

“Ya..” balas Vania dengan malas.

“Kamu kenapa?”

“Gak apa-apa.”

“Van,”

“Kenapa?”

“Kamu kenapa?”

“Aku bilang aku gak apa-apa.”

“Kamu ini.”

“Apa?”

“Kamu kenapa?”

“Aku kan udah bilang kalau aku enggak apa-apa, Ren!” Vania melemparkan ponselnya.

Getar di ponsel tak ia pedulikan lagi. Meski berkali-kali ponselnya bergetar. Ia berbaring kembali di kasurnya. Mendadak rasa benci itu muncul pada Reno. Medadak kembali rindu pada Aldy. Lelaki yang kembali datang menghampiri.

“Sudahlah. Ini bagian dari takdir. Semoga Aldy menjadi jodoh yang tepat untukku.” Gumamnya dalam hati.

Malam membawanya menuju alam lain. Mimpi. Mimpi yang menjadi teman tidurnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status