Share

Nineth

Penulis: Sarahyo
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-05 22:42:25

Masih di hari yang sama.

Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu.  

Dering ponsel menghiasi malam  itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun  paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.

“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan kecil yang sempurna.

Langit yang semakin biru tua menyuarakan hening dalam gulitanya. Menyamarkan kesedihan dalam tenang yang harus dipertahankan. Vania menuangkan harapannya pada tetes air mata yang mengalir di pipi. Mengaduh pada malam yang menemaninya saat memanjatkan do’a.

Dering ponsel kembali menyuarakan notifikasinya. Vania mengusap wajahnya dengan lembut. Menandakan bahwa ia menyudahi do’anya.

Dua panggilan tak terjawab tercantum di layar ponsel. Vania segera membukanya.

“Om David.” Vania menghela nafasnya dengan berat.

Jarinya mengklik kembali kontak pamannya, David. Dia paman yang akan segera menjemput Vania lusa mendatang.

“Halo?” pamannya mengangkat telepon Vania.

“Halo, Om.” Vania kembali menghela nafas dengan berat. “Ada apa, Om? Tadi Vania sedang shalat.” Sambung Vania.

“Besok Om berangkat dari sini jam tiga sore. Mau nginep. Biar lusa enggak terlalu capek.” David mengabari.

“Iya, Om. Vania kasih tahu Mama sekarang, ya?” Vania melangkahkan kakinya dengan gontai. Menjadikan udara malam sebagai beban yang berat untuk ia lumpuhkan. “Ma, Om David.” Sambung Vania sambil memberikan ponselnya pada mamanya. Dan kembali ke kamarnya.

“Halo, Dav.” Mama Vania mendekatkan ponselnya pada telinganya.

“Halo..”

“Halo..”

“Halo...”

Mama Vania mengutak-atik ponsel itu. Ia tak mendengar suara apapun dari ponsel Vania.

“Vaaaan,” panggil mama Vania.

“Apa, Ma?” teriak Vania yang baru saja duduk di ranjang sambil memutar bola matanya.

“Kok enggak ada suaranya?” teriak Mama Vania.

“Ah, Mama, tinggal klik loudspeaker.” Vania menggerutu dan menghampiri mamanya.

“Ini!” Mama Vania memberikan ponselnya.

“Hmmm... Halo, Vid, gimana?” mama Vania melanjutkan teleponnya.

“Gini, Kak, besok saya jemput si Vania jam tiga sore. Biar bisa nginep disana.”

Vania kembali ke kamarnya. Menjatuhkan tubuh di ranjang. Dan menikmati kesendirian dengan tenang. Tubuh yang masih terbalut mukena putihnya menggeliat dengan begitu nikmatnya.

“Vid, bagi Kakak-mah yang paling penting, kamu jemput si Vania sebelum Kakak berangkat.” Obrolan mama Vania terdengar jelas ke kamar Vania.

“Yaa.. kan besok?”

“Baguslah kalau besok kamu kesini, biar Kakak siapkan untuk kamu.” Ucap mama Vania.

Di dalam kamar, air mata Vania kembali mengalir. Meski telah berusaha menahannya. Air matanya tak dapat ia bendung. Malam kembali hening setelah mama Vania mengakhiri percakapannya dengan adiknya. Rasa sedih melanda lagi. Entah dengan apa ia dapat mengobatinya. Langit tak memberitahunya tentang cara terbaik untuk melupakan kenangan di suatu saat nanti, di tempat barunya nanti. Langit hanya diam. Mengintip sang gadis dengan mata tertutupnya.

Isya menghampiri semesta. Vania terbangun dari tubuh yang sedang tersiksa. Memperbaiki mata sendunya. Memperbaiki tangan hampanya. Memperbaiki tubuh rapuhnya. Memperbaiki nafas beratnya. Gadis itu mendirikan kewajibannya.

Ponsel Vania berkali-kali menggetarkan tanda notifikasi pesan dari seseorang yang mengganggu kekhusyukan shalatnya. Hingga usai menunaikan kewajibannya, Vania buru-buru mengambil ponselnya.

“Vania..”

Aldy. Aldy datang lagi. Tak hanya menggetarkan ponselnya, tapi membuat tubuh pemiliknya jatuh perlahan dan duduk membungkuk. Mengalirkan air mata dengan begitu derasnya. Dan menangis tersedu dalam goncangan bahunya.

“Aldy?” Vania mengetik dengan tangan yang lemas.

“Iya..” balas Aldy. “Kamu apa kabar?” Aldy mengirimkan pesan keduanya.

“Al..” Vania mengirimi Aldy pesan bersama air mata yang masih mengalir di pipinya.

“Aku kangen,” Aldy membalas.

Vania semakin tersedu membacanya. Tubuhnya semakin rapuh, tak dapat terangkat. Ia tersungkur di lantai kayu kamarnya.

“Ya Allah..” gumam Vania dalam hati. Ia kembali menatap ponselnya. Mencoba menghapus air mata yang tak henti membuat kedua matanya terbanjiri.

“Van, aku masih di sini untuk kau cintai, untuk kau miliki.” Aldy kembali menusuk mata Vania yang semakin berair.

“Aldy.. kenapa kamu tak pernah kabari aku?” Vania segera mengklik tombol send di ponselnya.

“Aku sendiri enggak tahu alasannya seperti apa, Van.” Balas Aldy.

“Kenapa bisa, Al?” balas Vania.

Air mata menetes. Membasahi layar ponsel yang sedang Vania pegang dengan kedua tangannya.

“Aku bilang aku tidak tahu, Van..” Balas Aldy.

“Al...aku tak pernah bisa lupakan kamu. Entah apa alasannya. Tolong kamu pahami hal ini.” Air mata masih membanjiri pipi Vania.

“Aku tahu itu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku ada untukmu, tapi kamu pun harus ada untuk aku. Aku yakin, kita ini jodoh.”

“Apakah semudah itu?”

“Yakinlah padaku..”

“Akan kucoba.”

“Harus.”

“Mami?”

“Kenapa dengan Mami?”

“Bagaimana kalau Mami marah?”

“Percaya padaku! Aku akan memilihmu.”

“Al..”

Tiada balasan yang langsung Vania terima. Jarum jam mengitari waktu yang mengelilingi tubuhnya. Mendentingkan harapan pada ketukan waktu. Lima menit berlalu, tiada jawaban apapun dari lelaki itu. Delapan menit. Sepuluh menit. Dua belas menit. Dua puluh menit. Dan setengah jam. Vania tak mendengar notifikasi apapun dari ponselnya. Pikirnya, mungkin Aldy sudah tidur. Selisih waktunya satu jam lebih cepat dibanding di negara Vania.

“Al..” Vania kembali mengetik.

Vania mulai menyimpan ponselnya, membuka mukenanya, merapikannya, menyimpannya di atas lemari. Aldy masih belum menjawab.

Getar notifikasi membuat mata Vania terbelalak dan jantungnya serasa berhenti begitu saja. Ia segera membuka ponselnya.

“Besok berangkat jam berapa ke sekolah?” Reno. Rupanya Reno. Vania menghela nafas dengan berat dan mencoba untuk menenangkat hatinya sendiri.

“Gimana besok aja.” Balas Vania dengan ekspresi yang terpaksa.

“Kamu yakin?” balas Reno.

“Ya..” balas Vania dengan malas.

“Kamu kenapa?”

“Gak apa-apa.”

“Van,”

“Kenapa?”

“Kamu kenapa?”

“Aku bilang aku gak apa-apa.”

“Kamu ini.”

“Apa?”

“Kamu kenapa?”

“Aku kan udah bilang kalau aku enggak apa-apa, Ren!” Vania melemparkan ponselnya.

Getar di ponsel tak ia pedulikan lagi. Meski berkali-kali ponselnya bergetar. Ia berbaring kembali di kasurnya. Mendadak rasa benci itu muncul pada Reno. Medadak kembali rindu pada Aldy. Lelaki yang kembali datang menghampiri.

“Sudahlah. Ini bagian dari takdir. Semoga Aldy menjadi jodoh yang tepat untukku.” Gumamnya dalam hati.

Malam membawanya menuju alam lain. Mimpi. Mimpi yang menjadi teman tidurnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencarimu dalam Bimbang   Entah

    Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa

  • Mencarimu dalam Bimbang   Ke kampus

    “Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Jembatan

    “HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”

  • Mencarimu dalam Bimbang   Salam

    Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng

  • Mencarimu dalam Bimbang   Puisi

    Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kakak

    Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status