Dua hari sebelum pindah
Air mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.
Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.
“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.
“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.
Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit merasa tenang dengan suasana di shubuh itu. Kakinya mulai merebah. Tangannya terentang. Ia membuka selimut yang membalut tubuhnya perlahan. Tangannya mulai membuka tirai dan jendela kamarnya. Angin berhembus dengan tenang. Sejuknya membuat kedua mata Vania terasa teduh. Langit masih gelap, tapi ia harus bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Handuk terkalung di bahu. Matanya ia kucek. Lampu kamar ia matikan dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Air dingin memanjakan tubuhnya. Segar. Vania merasakan kesegaran yang Tuhan anugerahkan.
Usai mandi, ia bergegas ke kamar tidurnya. Tanpa menyalakan lampu, ia berganti pakaian dengan seragam PMR. Ada rasa bangga saat mengenakan seragam barunya. Ia akan menjadi anggota PMR ramu setelah dilantik oleh para senior. Lampu kembali ia nyalakan dan mulai mengenakan mukenanya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan.
Shalat telah selesai Vania dirikan. Ia terduduk sejenak dalam keheningan itu. Menatap tempat sujudnya dan mengingat seseorang yang dicintainya, Aldy. Tangannya mulai terangkat untuk memanjatkan permohonan pada Tuhan.
“Ya Allah, hamba sudah memperbincangkan lelaki itu sesering mungkin. Hamba begitu mencintainya, tapi ia tak kunjung kembali. Hingga hamba
Kakinya berdiri tegak. Mengenakan sepatu bertali plastik dengan warna yang berbeda. Merah dan biru. Syarat lain untuk mengikuti pelantikan tersebut, Vania mengenakan topi kerucut berwarna merah terbuat dari kertas karton yang dibelinya. Tak lupa ia membawa berbagai makanan ringan dalam tasnya.
Jalanan seakan membebaninya dengan rasa lain. Entah apa yang sedang Vania rasakan. Pohon tak lagi menjadi pohon. Dilihatnya seperti lambai selamat tinggal. Trotoar tak lagi menjadi trotoar. Dilihatnya seperti hamparan lumut yang akan selalu ia rindukan.
“Kenapa kamu terlambat?” tanya seorang senior dengan nada tegasnya.
“Saya tidak ada kendaraan, Kak. Saya jalan kaki dari Rumah.” Ucap Vania dengan kepala menunduk.
“Emmh. Pada jadwal sudah kita tentukan, bukan?”
“Iya, Kak, maaf.” Tunduk Vania pada seniornya.
“Sudahlah, Des, enggak perlu kamu perpanjang. Durasi, niiih.” Ucap senior lain pada Desi.
“Ga, dia udah salah, masih kamu bela?” Desi cemberut.
“Ayo, Van.” Ulur tangan Rangga pada Vania yang masih saja tertunduk.
Vania tak menerima ulur tangannya. Ia berlalu meninggalkan keduanya dengan tubuh yang sedikit membungkuk. Rangga hanya menatap punggung adik kelasnya itu dengan penuh belas kasih. Desi pergi dengan rasa cemburunya.
Reno sudah berada di tempat perkumpulan semua anggota. Vania mendapatinya sedang tertunduk di bangku paling belakang. Namun, Vania tak mencoba untuk mendekatinya. Vania hanya menatapnya dari jauh.
Handphone semua calon anggota ramu dikumpulkan. Begitu juga milik Vania dan Reno. Mereka tidak bisa berkomunikasi melalui HP-nya.
Angin tak memberitahu mereka tentang apapun. Ia sungguh menipu keduanya. Entah akan ada apa di suatu hari nanti jika mereka berdua berpisah di waktu tersebut.
Hanya ada senyum di bibir Reno. Namun entah mengapa Reno tak menunjukkan senyum yang biasa ia lempar pada gadis yang sedang dekat dengannya. Mata Reno hanya menatap Vania dari jauh. Tangannya tak dapat meraih gadis itu.
“Tuhan, dia tidak cantik. Tetapi, dia lucu sekali.” Gumam Reno dalam hati.
Mata Reno berpaling pada bibir lain yang berbicara di depan semua siswa yang sedang melaksanakan pelantikan PMR. Reno mulai memnyimak. Begitupun Vania yag duduk di kejauhan.
“Oke, semua harus kita lengkapi dengan keadilan. Siapapun yang tidak mengikuti pelantikan ini, mereka tidak bisa mengikuti pelantikan selanjutnya. Mengerti?” tegas salah seorang senior.
Semua pendengar saling mengangguk. Pertanda mereka paham tentang hal yang disampaikan.
“Reeen!!” teriak Vania dari jauh.
Reno tersenyum menatap gadis itu dan menghampirinya.
“Kenapa?” tanya Reno.
Vania bersandar pada dinding UKS. Tempat yang biasa dijadikan base camp oleh anak-anak PMR. Angin menemani keduanya. Suara manusia yang sedang berkerumun tak mengganggu kebersamaan mereka.
“Udah makan?” tanya Vania. Reno mengernyitkan dahinya dan mengangguk, pertanda bahwa ia mengiyakan.
“Kamu yakin?” Vania menyentuh pipi Reno.
Jantung mereka seakan berhenti. Waktu tak ikut berlalu. Lagu menjadi bagian dari suasana itu. Mengabaikan suara angin yang mendesah dari arah lain.
“Hhahhahahah...” Reno tertawa menunjukkan kerongkongannya yang gelap.
“Ishh.. kamu..” Vania mencubit pinggang Reno dan merasa malu sendiri.
“Lagian ngapain sih kamu, pegang-pegang pipi aku? Lebay, tahu!” ejek Reno pada gadis yang telah menyentuh pipinya.
“Yaa.. suka-suka aku-lah.” Vania memutar kedua bola matanya.
Detak jantung keduanya memudar. Perlahan mereka sedikit tenang dengan canda tawa yang mereka bawakan di tengah hari.
Terik mentari tak mengubah haluan. Keduanya tetap merasakan keteduhan. Seperti pagi yag telah berlalu meninggalkan keringat keduanya. Angin tak menampakkan amarahnya meski malaikat telah mencatat amal buruk yang sedang kedua sejoli itu nikmati.
Gelak tawa masih mengisi kekosongan siang. Menyamarkan suara lautan manusia yang berlalu lalang melewati keduangya. Menjauhkan ketuk sepatu yang semakin mendekat. Menjauhkan seruan yang seperti orang tercekik.
“Ren,” Vania menunduk, menghentikan tawanya. Ada raut sedih dalam pucuk kepalanya. Reno menghela nafas dengan berat. Merasa ada yang membebani gadis yang sedang ada di hadapannya.
“Masuk, yuk?” ajak Reno.
“Kemana?” Vania mengangkat kepalanya dan menatap mata Reno.
“Ke dalam-lah, masa keluar.” Reno menuntun tangan Vania.
Mereka berjalan pada ruang sepi yang tirainya menyelimuti jendela. Tetapi terkadang, tirai itu terbang, terdorong angin yang menguasainya. Mereka kemabli tenang dengan rasa teduh yang mereka sendiri ciptakan.
Vania duduk di ranjang pasien. Reno mencari kursi yang bisa diambilnya. Vania memperhatikan Reno sesaat.
“Tampan.” Gumamnya dalam hati.
Reno menghampiri Vania dan membawa kursi untuk ia duduki.
“Kamu kenapa?” tanya Reno sambil menduduki kursi yang baru saja ia letakkan.
“Aku mau pindah. Aku enggak tahu, apakah di tempat baru aku akan menemukan orang-orang seperti kamu, anak PMR, dan teman-teman lainnya?” Vania menunjukkan kesedihannya.
“Van,” Reno menghela nafas dengan berat. Mencoba terlihat kuat meski hati Reno merasa tersentu oleh seosok gadis yang sedang mecurahkan isi hatinya.
“Ren,” kedua mata Vania mulai mengkristal.
“Van, Tuhan itu Maha Adil. Kamu mungkin akan mendapat kebahagiaan yang lebih baik di tempat baru. Teman-teman di sana juga mungkin lebih baik dari kami. Kamu jangan dulu merendah. Kamu harus kuat.” Reno menggenggam tangan Vania. Hangat. Tangan Vania begitu hangat.
“Tapi Ren, rasanya berat.” Sudut mata Vania menitikkan kejernihannya. Reno mengusap-usap tangan Vania. Vania menangis tersedu.
Keduanya terlarut dalam kesedihan yang berbeda. Reno merasa berat dengan semua yang membebani Vania. Tetapi Vania, merasa berat untuk meninggalkan kisah sejatinya bersama sahabat dan sesosok yang tak dapat dimengerti sebagai siapakah lelaki itu.
Waktu istirahat berlalu. Menghentikan kebersamaan mereka. Keduanya keluar dari ruang UKS. Menikmati angin yang berhembus menerpa tubuh keduanya. Waktu berlanjut pada kewajiban mereka sebagai siswa yang harus dilantik sebagai anggota PMR hingga maghrib berkumandang di ujung gedung.
Semua kaki dengan hati yang riang tak berhenti mengetuk jalanan menuju rumah mereka. Pulang. Sudah waktunya mereka pulang. Berseri menikmati pangkat yang baru mereka dapatkan. Begitupun Reno dan Vania. Meski kelabu mengkabut di kedua bola mata mereka, ada rasa bangga atas pelantikan yang telah meleka lewati. Setidaknya, ada satu titik sebagai pengantar tidur untuk mereka.
Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan
Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan