Satu hari sebelum pindah.
Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.
Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.
“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.
“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.
Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan itu. Kakak perempuannya menjadi bulan-bulanan hayalannya. Ia sungguh menginginkan hal itu. Apalagi saat sedih melanda. Mengutuk perasaannya.
“Ya Allah...” keluhnya.
Vania beranjak dari duduk. Mengeluh pada Tuhan tentang kerinduan yang tak mungkin berujung. Baginya, kakak perempuannya adalah hati yang tak dapat ia sentuh. Hati yang tak dapat ia raih. Entah ada apa dengan dirinya.
Shubuh menjelma nyanyian. Menumpukkan rasa pada puncak malam. Vania tertegun dalam kesedirian itu. Satu hari lagi ia kan pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan kenangan terindahnya. Reno dan teman yang lainnya.
“Aldy..” Aldy sekejap membayang. Mata gadis itu kembali menitikkan rasa sedihnya. Mengingat hal yang harus ia lupakan.
Tangannya segera meraih ponsel. Memeriksa pesan masuk pada benda tersebut. Lima belas pesan belum dibaca.
“Van,” pesan dari Aldy.
“Van..” pesan dari Reno.
“Apa salah jika kita melanjutkan hubungan kita?” pesan dari Aldy.
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,” Reno mengirimi pesan sebanyak itu.
“Aldy.. semua terserah kamu. Bagaimanapun baiknya, aku ikut saja. Apa yang menurut kamu baik.” Balas Vania. Tak sedikitpun ia hiraukan pesan dari Reno.
“Udah bangun?” balas Aldy.
“Udah.”
“Disana jam berapa?” Aldy bertanya.
“Jam 04.12.”
“Oh, disini jam 05.12.”
“Kapan kita bisa bertemu?” tanya Vania yang semakin rindu.
“Bulan depan?”
“Lama sekali?”
“Sayang, ongkos dadri luar negeri itu mahal, loh.”
“Iyakah? Kenapa enggak tinggal di Bandung saja?”
“Aku kan masih harus sekolah.”
“Aku akan menunggumu.”
“Belum shalat?”
“Belum. Ini baru bengun.”
“Ya sudah, lebih baik, kamu shalat dulu.”
“Siap, suamiku..”
“Hehehe.”
Vania sedikit berseri. Menikmati bunga yang mekar dalam dadanya. Menikmati detak jantung yang tak dapat ia hentikan debarnya. Langkah bangganya mengantar tubuhnya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Hingga wajahnya terbasuh dengan kesejukan itu. Telinganya terpijat dengan jemarinya. Kakinya terbersihkan dengan kejernihan airnya.Adzan shubuh berkumandang. Alunannya mendayu-dayu. Membuat sepasang telinga merasa lebih tenang lagi. Vania mendirikan kewajibannya. Melantunkan do’a di setiap gerakannya.
“Tuhan, Aldy kembali lagi. Menemani hati ini, tapi entah di suatu hari nanti. Apakah aku akan bertahan dengan rasa yang kumiliki ini.. aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku sungguh mencintainya. Berikanlah hamba jalan untuk menjadi jodohnya.” Vania mencurahkan isi hatinya pada Yang Maha Cinta.
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.21. Vania terlarut dalam do’a-doa’a lain yang ia panjatkan. Setelah itu i abergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pergi ke sekolah, belajar, da bertemu teman-teman, juga bertemu dengan Reno.
“Van..” Reno menyapa Vania yang baru datang ke sekolah.
“Iya?” Vania menjawab sambil menyimpan tas di kursinya.
“Ke kantin, yuk?” ajak Reno.
“Enggak. Kamu aja. Aku enggak lapar.” Tolak Vania dengan raut datarnya.
“Kamu kenapa? Beberapa hari ini aneh sekali.” Reno berlalu meninggalkan kelas. Vania mengikutinya dari belakang.
“Kenapa ikut?” Reno menoleh ke arah Vania.
“Aku mau buang sampah keluar.” Jawab Vania.
“Kenapa gak mau ikut aku?” Reno kembali bertanya.
“Harus?” Vania mengernyitkan dahi.
“Yuk, ke kantin?” Reno mengajaknya kembali.
Vania tak mengatakan apapun. Ia hanya mengikuti langkah Reno yang segera menuju kantin. Mereka duduk berdampingan. Membiarkan siswa lain mengamati keduanya.
“Teh manis hangat satu, Bi!” Reno memesan minuman paginya.
“Neng Vanianya enggak?” Tanya Bibi kantin.
“Kamu mau minum apa?” Reno menoleh ke arah Vania.
“Aku enggak.” Jawab Vania.
“Kenapa?” Reno mengerutkan dahinya.
“Enggak apa-apa.” Jawab Vania.
“Enggak usah katanya, Bi.” Ucap Reno pada bibi kantin.
“Oke, boss..” bibi kantin mengangkat jempolnya.
Angin menunjuk pagi dengan teduh. Sejuk menghampiri mentari yang belum menghangat. Suara semesta masih belum mereda. Lalu lalang kendaraan karyawan masih mengganggu pagi. Inginnya, pagi itu masih mengelilingi Reno dan Vania. Namun bagi keduanya, waktu tetap berjalan begitu saja.
“Van..” Reno memegang tangan Vania.
“Kenapa?” Vania mulai menatap. Reno menajamkan tatapannya.
“Apa salahku?” tanya Reno dengan sungguh.
“Maksudmu?” Vania kembali bertanya dengan heran.
“Kesalahan apa yang sudah aku perbuat sama kamu?” tanya Reno.
Saat bersitatap. Saling bertanya tentang apa yang tidak mereka pahami. Lastri datang menghampiri keduanya.
“Ren, tugas udah? Nyontek, dong!” ucap Lastri sambil duduk di depan mereka.
Vania menghela nafas dengan berat. Mencoba bertahan dalam suasana canggung itu. Vania ingin segera mengakhiri suasana tersebut. Namun apa daya, ia tak dapat melakukan apa-apa.
“Udah, tapi aku juga nyontek dari Vania.” Reno mengelak.
Vania menoleh ke arah Reno dengan tatapan ajamnya. Reno menatapnya dengan hangat. Mengubah kecanggungan itu menjadi beralih pada gadis yang baru saja datang menghampiri mereka. Vania tak mengerti. Mengapa Reno berkata hal yang tidak benar. Mengatakan dirinya mencontek tugas yang Vania kerjakan.
“Hmmmm... ya sudah, gak apa-apa.. tapi tetap belum boleh mencontek?” tanya Lastri.
“Kalau kamu mau, kamu bisa minta ijin ke pemiliknya.” Reno menyentuh punggung Vania.
Vania terlihat risih. Begitupun Lastri, ia tak hanya risih. Namun, ia merasakan hal yang lebih dari itu. Cemburu. Ia sungguh cemburu dengan apa yang sedang Reno lakukan. Tiada yang bisa Lastri lakukan untuk meredam api cemburunya. Ia berbalik. Meninggalkan keduanya. Hatinya teriris. Ada sedikit air mata yang hampir menetes, tapi segera ia tepis. Sakit. Ia sungguh sakit. Langkahnya mengetuk lantai dengan ketukan amarahnya. Tak mampu untuk bersabar. Mengetuk lantai dengan perlahan. Hatinya sedang terbakar. Sulit untuk ia padamkan.
Reno menatap Vania dengan senyumannya. Sedang Vania menatap kepergian Lastri dengan rasa tidak enak pada Lastri. Kakinya tak diam. Terus memikirkan Lastri.
“Sudah.. jangan dipikirkan.. itu hanya masalah kecil.” Reno menenangkan Vania dengan mengusap-usap punggung tangannya.
“Lastri suka sama kamu?” tanya Vania dengan wajah gelisahnya.
“Kelihatannya?” Reno mengangkat bahunya.
“Ini, tehnya.” Bibi kantin memberikan Reno secangkir teh manis yang masih mengepul.
“Terimakasih, Bi.” Ucap Reno dengan senyum dan tatapan nakalnya.
Waktu berlalu. Membawa mereka ke ruang kelasnya. Kegaduhan pagi mereka lewati. Belajar menjadi waktu yang paling mereka tunggu. Meski mereka termasuk siswa yang nakal.
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan
Angin datang saat teduh sudah hilang. Hembusannya menelusup ke sela tangan. Ada sejuk yang dirasakan. Sungguh dalam kenikmatan. Vania menggeliat. Menatap gunung yang menjulang sendirian. Gunung yang jauh dari gunung manapun. Gunung yang hanya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil di kakinya. Mentari mengintip dari pundak gunung. Memberi Vania kehangatan dalam tubuhnya.“Pagi..” sapa Sidik.“Pagi.” Jawab Vania.“Teh Raninya ada?” tanya Sidik.“Ada. Masuk aja.” Vania mempersilahkan Sidik masuk.“Emhh.. terimakasih, Teh.” Sidik mengangguk.“Sama-sama.” Jawab Vania.Vania kembali menatap gunung yang menjulang sendirian. Seakan disana ada dirinya sedang mendaki, menuju kemenangan. Kaki Vania berjingkat-jingkat seperti orang yang sedang melakukan pemanasan. Tangannya bertolak pinggang. Ia menghitung semua gerakannya dari satu sampai delapan dan terus mengulanginya. Ya. Ben
Vania menemukan hari dimana ia hanya bisa mengetuk mimpi dari pintu yang jauh. Vania tak menyesal tentang apa yang baru saja ia dapatkan. Tempat baru, kisah baru, dan rasa yang baru tentang kehidupan. Semua Vania nikmati dalam kesesakkan dadanya. Vania duduk di tengah-tengah majlis. Hatinya sedang merindukan sang ibu yang selalu membuatkan masakan untuknya di siang hari."Ma.. " Gumamnya dalam hati.Santriah lalu lalang di luar, ada yang bergegas mandi, ada yang membersihkan halaman majlis, ada yang mencuci piring, ada juga yang menuju warung untuk membeli makanan. Vania tak tergubris sedikitpun oleh ketuk kaki yang mungkin jika bagi orang lain, akan menjadi kekacauan. Hatinya dalam keteguhan rindu. Vania mulai meneteskan air mata di pipinya."Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab merah.Vania mengangkat kepalanya yang menunduk. Ia menghaous air matanya. Menatap mata gadis yang berbicara kepadanya