Share

Tenth

Satu hari sebelum pindah.

Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.

Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.

“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.

“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.

Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan itu. Kakak perempuannya menjadi bulan-bulanan hayalannya. Ia sungguh menginginkan hal itu. Apalagi saat sedih melanda. Mengutuk perasaannya.

“Ya Allah...” keluhnya.

Vania beranjak dari duduk. Mengeluh pada Tuhan tentang kerinduan yang tak mungkin berujung. Baginya, kakak perempuannya adalah hati yang tak dapat ia sentuh. Hati yang tak dapat ia raih. Entah ada apa dengan dirinya.

Shubuh menjelma nyanyian. Menumpukkan rasa pada puncak malam. Vania tertegun dalam kesedirian itu. Satu hari lagi ia kan pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan kenangan terindahnya. Reno dan teman yang lainnya.

“Aldy..” Aldy sekejap membayang. Mata gadis itu kembali menitikkan rasa sedihnya. Mengingat hal yang harus ia lupakan.

Tangannya segera meraih ponsel. Memeriksa pesan masuk pada benda tersebut. Lima belas pesan belum dibaca.

“Van,” pesan dari Aldy.

“Van..” pesan dari Reno.

“Apa salah jika kita melanjutkan hubungan kita?” pesan dari Aldy.

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,”

“Van,” Reno mengirimi pesan sebanyak itu.

“Aldy.. semua terserah kamu. Bagaimanapun baiknya, aku ikut saja. Apa yang menurut kamu baik.” Balas Vania. Tak sedikitpun ia hiraukan pesan dari Reno.

“Udah bangun?” balas Aldy.

“Udah.”

“Disana jam berapa?” Aldy bertanya.

“Jam 04.12.”

“Oh, disini jam 05.12.”

“Kapan kita bisa bertemu?” tanya Vania yang semakin rindu.

“Bulan depan?”

“Lama sekali?”

“Sayang, ongkos dadri luar negeri itu mahal, loh.”

“Iyakah? Kenapa enggak tinggal di Bandung saja?”

“Aku kan masih harus sekolah.”

“Aku akan menunggumu.”

“Belum shalat?”

“Belum. Ini baru bengun.”

“Ya sudah, lebih baik, kamu shalat dulu.”

“Siap, suamiku..”

“Hehehe.”

Vania sedikit berseri. Menikmati bunga yang mekar dalam dadanya. Menikmati detak jantung yang tak dapat ia hentikan debarnya. Langkah bangganya mengantar tubuhnya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Hingga wajahnya terbasuh dengan kesejukan itu. Telinganya terpijat dengan jemarinya. Kakinya terbersihkan dengan kejernihan airnya.Adzan shubuh berkumandang. Alunannya mendayu-dayu. Membuat sepasang telinga merasa lebih tenang lagi. Vania mendirikan kewajibannya. Melantunkan do’a di setiap gerakannya.

“Tuhan, Aldy kembali lagi. Menemani hati ini, tapi entah di suatu hari nanti. Apakah aku akan bertahan dengan rasa yang kumiliki ini.. aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku sungguh mencintainya. Berikanlah hamba jalan untuk menjadi jodohnya.” Vania mencurahkan isi hatinya pada Yang Maha Cinta.

Jam di dinding menunjukkan pukul 05.21. Vania terlarut dalam do’a-doa’a lain yang ia panjatkan. Setelah itu i abergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pergi ke sekolah, belajar, da bertemu teman-teman, juga bertemu dengan Reno.

“Van..” Reno menyapa Vania yang baru datang ke sekolah.

“Iya?” Vania menjawab sambil menyimpan tas di kursinya.

“Ke kantin, yuk?” ajak Reno.

“Enggak. Kamu aja. Aku enggak lapar.” Tolak Vania dengan raut datarnya.

“Kamu kenapa? Beberapa hari ini aneh sekali.” Reno berlalu meninggalkan kelas. Vania mengikutinya dari belakang.

“Kenapa ikut?” Reno menoleh ke arah Vania.

“Aku mau buang sampah keluar.” Jawab Vania.

“Kenapa gak mau ikut aku?” Reno kembali bertanya.

“Harus?” Vania mengernyitkan dahi.

“Yuk, ke kantin?” Reno mengajaknya kembali.

Vania tak mengatakan apapun. Ia hanya mengikuti langkah Reno yang segera menuju kantin. Mereka duduk berdampingan. Membiarkan siswa lain mengamati keduanya.

“Teh manis hangat satu, Bi!” Reno memesan minuman paginya.

“Neng Vanianya enggak?” Tanya Bibi kantin.

“Kamu mau minum apa?” Reno menoleh ke arah Vania.

“Aku enggak.” Jawab Vania.

“Kenapa?” Reno mengerutkan dahinya.

“Enggak apa-apa.” Jawab Vania.

“Enggak usah katanya, Bi.” Ucap Reno pada bibi kantin.

“Oke, boss..” bibi kantin mengangkat jempolnya.

Angin menunjuk pagi dengan teduh. Sejuk menghampiri mentari yang belum menghangat. Suara semesta masih belum mereda. Lalu lalang kendaraan karyawan masih mengganggu pagi. Inginnya, pagi itu masih mengelilingi Reno dan Vania. Namun bagi keduanya, waktu tetap berjalan begitu saja.

“Van..” Reno memegang tangan Vania.

“Kenapa?” Vania mulai menatap. Reno menajamkan tatapannya.

“Apa salahku?” tanya Reno dengan sungguh.

“Maksudmu?” Vania kembali bertanya dengan heran.

“Kesalahan apa yang sudah aku perbuat sama kamu?” tanya Reno.

Saat bersitatap. Saling bertanya tentang apa yang tidak mereka pahami. Lastri datang menghampiri keduanya.

“Ren, tugas udah? Nyontek, dong!” ucap Lastri sambil duduk di depan mereka.

Vania menghela nafas dengan berat. Mencoba bertahan dalam suasana canggung itu. Vania ingin segera mengakhiri suasana tersebut. Namun apa daya, ia tak dapat melakukan apa-apa.

“Udah, tapi aku juga nyontek dari Vania.” Reno mengelak.

Vania menoleh ke arah Reno dengan tatapan ajamnya. Reno menatapnya dengan hangat. Mengubah kecanggungan itu menjadi beralih pada gadis yang baru saja datang menghampiri mereka. Vania tak mengerti. Mengapa Reno berkata hal yang tidak benar. Mengatakan dirinya mencontek tugas yang Vania kerjakan.

“Hmmmm... ya sudah, gak apa-apa.. tapi tetap belum boleh mencontek?” tanya Lastri.

“Kalau kamu mau, kamu bisa minta ijin ke pemiliknya.” Reno menyentuh punggung Vania.

Vania terlihat risih. Begitupun Lastri, ia tak hanya risih. Namun, ia merasakan hal yang lebih dari itu. Cemburu. Ia sungguh cemburu dengan apa yang sedang Reno lakukan. Tiada yang bisa Lastri lakukan untuk meredam api cemburunya. Ia berbalik. Meninggalkan keduanya. Hatinya teriris. Ada sedikit air mata yang hampir menetes, tapi segera ia tepis. Sakit. Ia sungguh sakit. Langkahnya mengetuk lantai dengan ketukan amarahnya. Tak mampu untuk bersabar. Mengetuk lantai dengan perlahan. Hatinya sedang terbakar. Sulit untuk ia padamkan.

Reno menatap Vania dengan senyumannya. Sedang Vania menatap kepergian Lastri dengan rasa tidak enak pada Lastri. Kakinya tak diam. Terus memikirkan Lastri.

“Sudah.. jangan dipikirkan.. itu hanya masalah kecil.” Reno menenangkan Vania dengan mengusap-usap punggung tangannya.

“Lastri suka sama kamu?” tanya Vania dengan wajah gelisahnya.

“Kelihatannya?” Reno mengangkat bahunya.

“Ini, tehnya.” Bibi kantin memberikan Reno secangkir teh manis yang masih mengepul.

“Terimakasih, Bi.” Ucap Reno dengan senyum dan tatapan nakalnya.

Waktu berlalu. Membawa mereka ke ruang kelasnya. Kegaduhan pagi mereka lewati. Belajar menjadi waktu yang paling mereka tunggu. Meski mereka termasuk siswa yang nakal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status