Share

Seventh

Tiga hari sebelum pindah

Langit semakin terik. Tertatap dari surga, sepasang mata cokelat yang meratapi kehidupannya. Baju-baju telah dirapikannya. Rumah telah selesai ditatanya. Beberapa hari lagi, ia harus meninggalkan tempat yang sedang dalam kenyamanannya. Sabtu itu Vania isi dengan ratapan hatinya. Entah pada siapa ia harus mengungkapkan perasaannya.

Hujan jatuh dalam bayangan. Rahasia teduhnya hanya Vania yang merasakan. Aldy menjadi bagian dari rintiknya. Vania mulai merindu. Reno tertepis bayangan itu. Bayangan yang mungkin menyakiti hatinya.

“Al.. semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dengan rasa yang sama, seperti rasa yang dulu kita satukan.” Ucap Vania sambil menatap tas yang berisi pakaian miliknya.

Air mata tertetes. Tak banyak. Hanya beberapa tetes saja. Namun gemuruh dalam dada seakan menjelaskan  tentang kehancurannya. Aldy mungkin tak peduli lagi dengan Vania. Aldy mungkin pergi tanpa rasa ingin kembali lagi padanya. Hari ini Vania hampa. Benar-benar hampa.

“Kamu lagi apa?” pesan terbaca saat Vania membuka HP-nya.

“Aku lagi duduk.” Balas Vania.

“Duduk terus?” Reno membalas lagi.

“Harus berdiri, ya?” Vania menghela nafas dengan berat.

“Aku lagi kangen.”

“Sungguh?” Vania sedikit tersenyum.

Seperti biasa, jarak dan waktu selalu memisahkan Vania dengan orang terkasihnya. Percakapan antara ia dengan Reno terjeda dengan sendirinya. Reno tak membalas lagi pesan yang Vania kirim. Vania menyimpan kembali HP-nya di atas lemari.

Hujan tiba-tiba hilang dalam bayangannya. Rintiknya pun tak lagi ia rindukan. Seakan Reno telah menjadi penenag dalam hidupnya. Seakan Reno telah mengobati kehampaannya.

Daun melambai tenang. Pohon-pohon mengucapkan selamat datang pada gadis yang tengah membukakan jendela kamarnya. Angin berhembus menerbangkan rambut merahnya. Juga menembus keteduhan mata cokelatnya. Ada rasa lain saat ia mematung di jendela kamarnya. Namun entah, ia sendiri tak mengerti dengan perasaannya.

Getar HP terdengar lagi. Vania segera membuka pesan yang pasti dari Reno.

“Sungguh. Besok kamu ikut pelantikan PMR-kan?” Vania berdiri di sisi lemari saat membacanya.

Yes, I am.” Balasnya.

“Kamu kenapa lagi?” Vania duduk setelah membuka pesan lagi.

“Enggak apa-apa.” Balas Vania.

“Jangan sedih terus, ya.” Pesan Reno pada Vania.

“Iya, enggak.” Vania mengiyakan.

“Kalau kamu sedih, berarti kamu enggak bahagia sama aku.” Vania memutar bola matanya dan menyunggingkan bibir.

“Bukan karena kamu, kok.” Balas Vania sambil menggerutu dalam hati bahwa Reno menyebalkan.

“Terus karena apa?” Balas Reno.

“Aku ingin tetap disini. Sama kamu.” Vania mencoba untuk gombal.

“Aku pasti menemuimu nanti setelah kamu pindah. Mungkin seminggu sekali.” Reno semamkin serius.

“Aku tidak yakin dengan itu.”

Vania menyimpan kembali HP-nya. Ia kembali menata tetntengan tas yang akan dibawanya beberapa hari lagi. Mengecek kembali barang bawaannya. Satu per satu tasnya ia buka kembali. Berharap tiada yang tertinggal. Pakaian, buku, berkas, dan peralatan yang mungkin ia butuhkan di tempat baru.

Tempat baru yang akan ia singgahi berupa kota kecil yang dikenal dengan kota santri. Vania akan tinggal di pesantren pamannya, adik dari ibunya. Disana Vania akan menimba ilmu sesuai dengan harapan kedua orang tuanya.

Enam bulan yang lalu, sebelum Vania masuk SMA. Hidupnya lebih rumit. Kedua orang tuanya tak menerima pilihan Vania untuk bersekolah di sekolah favorit. Kendalanya, biaya. Ya, dari dulu, Vania selalu disengketakan dengan biaya, biaya, dan biaya.

Kini, Vania membiarkan hal itu terjadi. Ia merasa Tuhan tak kan membiarkan dirinya jauh dari pendidikan. Apapun caranya, Vania harus berdo’a sesering mungkin untuk kehidupannya dan kekluarganya. Sebagai anak pertama, pikirnya, tegar adalah baggian dari kewajibannya. Vania mulai memahami keadaan keluarganya sendiri.

Di sisi lain, tiada yang mengerti dengan keadaan Vania. Semua serba salah dengan Vania. Banyak yang tidak menyukai Vania. Jelas. Vania buruk rupa, hitam, kucel, bau, dan sombong.

Matanya kembali melirik HP-nya. Dilihatnya pesan datang lagi dari Reno.

“Percayalah.” Reno mengiriminya pesan lagi, menyambung percakapan sebelumnya.

“Akan kucoba.” Balas Vania.

“Harus.” Tegas Reno dalam pesannya.

“Hmm..”

“Aku mencintaimu.” Reno mulai menggoda.

“Pret!” bantah Vania.

“Hahahaha.. iya becanda.”

“Hmmm..”

“Apa ah?”

“Enggak.”

“Yakin enggak?”

“Yakin.”

“Nanti nyesel, loh.”

“Enggak mungkin, ah.”

“Mungkin, ah.”

“Sok tahu, deh.”

“Daripada sok tempe.”

“Mending sok buah.”

“Apaan tuh?”

“Sop buah.”

“Ah kurang nyambung.”

“Nyambung ah, dikit.”

“Enggak, ah.”

“Ih, ngeyel, deh.”

“Suka-suka Abang.”

“Abang apa? Abang Ojek?”

“Abang Reno.”

“Abang Reyot.”

“Kakek-kakek, dong?”

“Bukan.”

“Apa lagi tuh?”

“Nenek-nenek.”

“Issh sembarangan.”

Pesan mereka tiada jeda lagi. Vania mulai merasa bosan dengan teman terbaiknya itu. Ia menyimpan kembali HP-nya. Duduk. Dan membaca buku pelajaran untuk ulangan umum di minggu depan.

Ada dilema dalam dirinya. Apakah Vania akan mengikuti ulangan umum? Atau tidak mengikutinya dengan pindah. Ah, harapannya menggantung dalam kelabu yang mengkabut di sana. Di angkasa.

“Sudah lengkap semuanya? Jangan banyak barang yang dibawa! Nanti repot di jalan.” Ucap ibunya dan duduk di ranjang.

Jendela menyambut angin yang berhembus ke arahnya. Teduh menembus punggung ibunya. Nyaman. Ibunya sungguh nyaman.

“Sudah.” Jawab Vania tanpa menoleh ke arah ibunya.

“Sana bereskan yang lain! Mama capek!” Vania hanya menoleh dan mengerutkan dahi saat mendengar apa yang ibunya ucapkan.

“Ma, Vania juga capek! Mama saja!” Vania menaikkan volume bicaranya.

“Astaghfirullah, sama orang tua kasar banget! Durhaka kamu!” bentak sang ibu membuat Vania terdiam bersama bukunya.

Ada sesal sekaligus sedih dalam dada Vania. Namun, apa lagi yang harus ia lakukan? Ini sudah terjadi padanya. Ia telah salah berucap pada ibunya sendiri. Seringkali, masalah kecil itu tumbuh diantara Vania dan kedua orang tuanya. Salah ucap selalu menjadi acuan permasalahan yang cukup sulit terselesaikan oleh mereka.

Kaki Vania mulai merebah ke permukaan meja. Membiarkan bukunya teraniaya kedua kakinya. Tangannya merentang. Ia mulai merasakan pusing yang luar biasa. Dari dulu masalahnya darah rendah, hipotensi.

Dunia terlihat pergi dari pandangannya. Kepalanya terasa sangat sakit. Pendengarannya tak lagi berfungsi. Semuanya gelap. Tangannya gemetar. Detak jantungnya berdegup tak karuan. Dirinya tak tahu sedang dimana dan dengan siapa. Iangatannyapun kabur.

Dunia tak peduli lagi padanya. Semuanya seakan membenci tubuh yang terkulai lemas di kursi belajarnya. Reno tak datang menolongnya, Aldy tak hadir menemani rasa sakitnya. Orang tuanya tak tahu apa yang terjadi padannya. Ia hanya berdua dengan Tuhan. Tuhan yang senantiasa menjaganya.

Hitam menjadi sosok teman baiknya saat menghadap Tuhan. Tiada amal baik yang ia rasa telah dilakukan semasa hidupnya. Dirinya terkurung dalam gulita yang penuh dengan nista. Dirinya sedang dikhianati semesta. Air mata mengalir perlahan, tapi bukan karena sedih yang ia rasakan. Melainkan karena tubuhnya tak mampu berdiri kembali. Hidupnya seakan lumpuh begitu saja.

“Bangun!” sosok lelaki membangunkan Vania.

Perlahan lelaki itu nampak di depan matanya. Tetapi pandangannya kabur lagi. Pelupuk kerinduannya mengatup kembali. Semua kembali gelap.

“Vania?” lelaki itu kembali memanggil namanya.

Vania mulai merasakan sentuhan tangan lembuut di pipinya. Tangan yang sungguh dingin. Vania kembali membuka mata perlahan. Menahan gejolak lain yang tumbuh dalam dadanya.

“Van..?” lelaki itu memanggil kembali.

“Aldy...” Vania memanggil nama Aldy dengan senyuman dan tubuh terkulainya.

Perlahan Aldy nampak di depan kedua mata Vania. Membuat Vania benar-benar yakin bahwa yang sedang ada di hadapannya adalah Aldy, kekasih hatinya.  Aldy tersenyum saat mellihat kedua mata Vania terbuka sempurna. mereka saling bersitatap. Tanpa mereka sadari tangan Vania merangkul pinggang Aldy yang sedang membungkuk kemudian menegakkan kembali tubuhnya. Aldy megelus rambut Vania. Ada rasa haru diantara keduanya.

Tangan Vania terkulai kembali. Tubuhnya tersungkur bersujud di hadapan Aldy. Mencium lantai yang tak jauh dari kaki Aldy. Bibir dan hidung Vania mulai mengucurkan darah segar. Wajahnya terbentur lantai. Ia kembali sadar saat Aldy tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dan gelap itu datang lagi.

Vania terlelap dalam ketidaksadarannya. Tiada satupun orang memasuki kamarnya. Ia tersungkur di lantai kamarnya.

Selama dua jam ia seperti itu. Tiada angin yang membangunkannya. Kesadaran terbangun dengan sendirinya. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati wajahnya penuh dengan darah kering.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status