Share

Sixth

Penulis: Sarahyo
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-03 22:52:05

Empat hari sebelum pindah.

Sepatu mengkilat rapi membalut kaki Vania. Dasi dan seragamnya menghiasi pagi itu. Parfum yang baru Reno berikan kemarin disemprotkannya. Sempurna. Cermin yang berdiri di depannya seakan mengatakan hal baik tentang tubuuh Vania yang mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat Vania masih bersama Aldy. Ya, Aldy kembali menghantui pikirannya. Namun, dengan cepat ia menghapus bayangan kelam itu. Vania kembali tersenyum dengan memandang dirinya sendiri yang sedang bergaya dalam cermin itu.

“Vania berangkat, Ma.” Teriak Vania.

Tiada jawaban dari mamanya. Vania tak menghiraukannya. Vania berlalu dengan hati yang penuh bunga. Jalanan menjadi lebih menarik perhatiannya daripada rumah. Vania semakin berseri.

“Udah berangkat belum?” Vania mengirimi Reno pesan.

“Aku sudah di UKS. Kamu dimana?”

“Aku masih di jalan. Jemput dong, pinjam motor si Riri.”

“Oke. Di jalan mana?”

“Jalan dekat Kantor Desa.”

“Aku jemput sekarang.”

“Oke.”’

Waktu memberi jawaban tentang kepastian. Vania yang terduduk di depan kantor desa segera berdiri saat mendapati Reno membawakan motor untuk menjemputnya. Vania duduk di jok penumpang. Tangannya ragu untuk memegang pinggang Reno. Reno tak juga menyalakan motornya.

“Kenapa?” tanya Vania.

“Tangannya.”

“Tangan siapa?”

“Tangan kamu.”

“Kenapa emang?”

“Pegang dong!”

“Apanya?”

“Sepatunya!”

“Untuk apa?”

“Ih, kamu katro deh. Ya pegang pinggang aku lah.”

“Iya, nanti pegangan.”

“Peluk!”

“Kok minta nambah?”

“Mau nambahin atau turun?”

“Turun.”

“Ya sudah, turun.”

“Oke.”

Vania turun dari kendaraan itu. Hatinya cukup kesal dengan sikap Reno.

“Aku duluan.” Reno menyalakan motornya dan menjauh dari Vania.

“Reno!” teriak Vania.

Reno berhenti. Kemudian berbalik arah menuju Vania. Reno menunjukkan bibir senyumnya.

“Aku cuma bercanda.” Senyum Reno menggoda Vania yang cemberut karena ulahnya. “Ayo?” sambungnya.

Vania duduk kembali di motornya. Mereka langsung bergegas ke sekolah untuk apel pagi PMR.

Tiba di sekolah, Vania menyimpan tasnya di kelas. Sedang Reno membawa tasnya kemana-mana. Kelas masih belum banyak siswa. Mereka masih pada di jalan. Hanya Lastri dan Riri yang sudah stand by disana.

“Mau kemana lagi, Van?” tanya Riri.

“Aku mau apel pagi.” Jawab Vania sambil mengambil buku dalam tasnya.

“PMR?” tanya Lastri.

“Iya, Las.”

“Tugas Matematika udah belum?” tanya Riri pada Vania.

“Udah, dong.” Jawab Vania dengan bangga.

“Liat dong!” Riri meminta.

“Isshh. Kerjakan aja sendiri!” Vania berlalu meninggalkan mereka berdua.

“Udah?” tanya Reno yang menunggu di depan kelas.

“Udah.”

“Ya udah, yuk?”

Mereka berjalan melalui teras demi teras kelas di sekolah itu. Tangan mereka menyatu dalam tanda tanya orang-orang yang ada di sekitarnya.

“Ciee..”

“Waaaaw...”

“Widiiih..”

“Buset..”

“Duuuh... anak alay..”

“Baru jadian, rupanya.”

Begitulah kira-kira yang orang-orang katakan selama kedua sejoli itu melewati teras kelas mereka. Reno dan Vania tak memperdulikan apapun kata mereka. Reno dan Vania hanya berjalan menuju aula sekolah untuk melaksanakan apel pagi. Setelah itu mereka melaksanakan tugas seorang anggota dengan baik.

Kelas terdengar riuh saat kedua sejoli itu datang kembali kesana.

“Waah.. ada yang berbeda dengan kalian, nih.” Ucap Wahyu, Ketua Kelas mereka.

“Apa?” Tukas Vania.

“Enggak.” Jawab Wahyu.

Lastri berdiri mematung saat melihat senja berulah dalam sorenya. Jantungnya tak dapat menahan rasa yang berbeda dalam dirinya. Rasa yang berdentang dalam dada mulai mengirimi kepalanya sebagian signal goyah tentang kecemburuannya. Tiada yang bisa Lastri ucapkan selain tawa yang lain di dada. Senjanya berpaling pada malam yang lain. Malam yang mengurungnya dalam kesedihan. Malam yang mengurungnya dalam keterbatasan rasa.

Dalam kelas, kebahagiaan orang-orang tak Lastri pedulikan. Ia hanya merasakan duka dalam sesaknya. Tawa manusia tak lagi didengarnya. Seakan tuli menghiasi kedua telinganya. Seakan buta menghiasi kedua pelupuk kerinduannya. Seakan lumpuh menyelimuti seluruh tubuhnya. Lastri kecewa dengan perasaannya sendiri.

“Mengapa harus Reno, Tuhan?” gumamnya dalam hati.

Air mata tak mungkin diteteskannya. Tangis tak mungkin pecah saat itu juga. Lastri harus menebar tegar di hadapan semua teman sekelasnya. Lastri harus menebar tegar di hadapan pasangan yang telah menyakiti hatinya.

Gemuruh cemburu bergelut dalam dada. Menyamarkan denting waktu yang berputar mengelilingi angka terbaiknya. Sedang di sebrang bangkunya, gelak tawa pasangan itu mengganggu pikirannya. Mengganggu dunianya. Entah apa yang harus Lastri lakukan. Dirinya dilanda rasa bingung yang tak jua menepi. Menjauh dari hidupnya.

“Ada apa, Las?” tanya Dion.

Sejak dulu Dion memberi Lastri perhatian yang lebih. Ada rasa terbaik dalam dirinya.

“Enggak.” Jawab Lastri sambil beranjak dari kursi yang didudukinya.

“Yakin, kamu baik-baik saja?”

“Ya.”

“Las, aku tahu kamu suka sama Reno. Tapi tak mungkin kamu mengakui hal itu. Aku bisa merasakannya.” Gumam Dion dalam hati.

Doa yang memanjat fajar di shubuh hari tak menerbangkan hati Lastri pada Dion. Semua terasa sangat sempit. Tapi Dion tetap sabar menunggu gadis terbaiknya untuk menerima Dion seiring berjalannya waktu. Ditatapnya Reno dan Vania yang sedang dikelilingi bunga diantara keduanya. Dada Dion merasakan hal yang Lastri rasakan. Tapi Dion merasa lebih beruntung dengan hubungan pasangan baru itu. Setidaknya Dion mendapat kesempatan lanjutan untuk memiliki Lastri.

“Ke kantin, yuk?” ajakan Wahyu membuyarkan lamunan Dion.

Dion hanya berdiri mengikuti langkah Wahyu yang berjalan sambil memainkan HP-nya.

Di kantin, Dion mendapati Lastri yang sedang menikmati minuman teh hangatnya. Tak Dion ganggu. Lastri dibiarkannya sendiri. Dion kembali melayani obrolan Wahyu yang semakin simpang siur dengan pikiran Dion yang sedang acak-acakan. Sedangkan dalam kelas, beberapa siswa berkeliaran keluar kelas untuk beristirahat. Hanya ada Rasya, Riri, Reno, dan Vania disana.

“Ngeselin banget, ya Pak Rustan enggak masuk tadi. Padahal udah ngerjajin tugas matematikanya yang super sulit.” Ucap Riri.

“Emang dikerjakan?” tanya Vania sambil menoleh ke arah Riri.

“Iya, dong. Nyontek dari Rasya. Heheh.” Riri nyengir bergaya chibi-chibi.

“Hmmmm..” Vania mencubit pinggang Riri.

Rasya selalu juara umum sewaktu SMP. Sekarang dia bersaing dengan Vania. Vania tidak mau kalah dengan lawannya yang selalu juara umum itu. Sejak masuk SMA, Vania mengubah gaya belajarnya menjadi semakin tekun lagi dalam mendalami keilmuan.

“Eh, tadi gue ketemu sama Pak Rustan.” Reno berucap dengan sungguh.

“Dimana?” tanya Vania heran.

“Di depan UKS.”

“Hmmm... itu Pak Ruslan, Om.” Vania memutar bola matanya.

“Hahahahaha.” Reno membahak garing.

“Ih.. dasar!” ucap Rasya sambil menjewer kuping Reno.

“Ishh, sakit, Ras. Hahaha.” Reno memegang telinganya.

“Tau tuh, si Reno. Harus dijitak.” Riri telihat gemas.

Banyak hal yang mereka bicarakan. Tiada bosan untuk tertawa riang diantara keempat mulut mereka. Membiarkan waktu menghibur mereka dengan kebersamaan. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan sekolah tercintanya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan teman-teman terbaiknya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan tawa yang diinginkannya. Pikirnya, ia tak kan menemukan hal sebahagia ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencarimu dalam Bimbang   Entah

    Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa

  • Mencarimu dalam Bimbang   Ke kampus

    “Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Jembatan

    “HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”

  • Mencarimu dalam Bimbang   Salam

    Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng

  • Mencarimu dalam Bimbang   Puisi

    Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kakak

    Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status