Share

Sixth

Empat hari sebelum pindah.

Sepatu mengkilat rapi membalut kaki Vania. Dasi dan seragamnya menghiasi pagi itu. Parfum yang baru Reno berikan kemarin disemprotkannya. Sempurna. Cermin yang berdiri di depannya seakan mengatakan hal baik tentang tubuuh Vania yang mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat Vania masih bersama Aldy. Ya, Aldy kembali menghantui pikirannya. Namun, dengan cepat ia menghapus bayangan kelam itu. Vania kembali tersenyum dengan memandang dirinya sendiri yang sedang bergaya dalam cermin itu.

“Vania berangkat, Ma.” Teriak Vania.

Tiada jawaban dari mamanya. Vania tak menghiraukannya. Vania berlalu dengan hati yang penuh bunga. Jalanan menjadi lebih menarik perhatiannya daripada rumah. Vania semakin berseri.

“Udah berangkat belum?” Vania mengirimi Reno pesan.

“Aku sudah di UKS. Kamu dimana?”

“Aku masih di jalan. Jemput dong, pinjam motor si Riri.”

“Oke. Di jalan mana?”

“Jalan dekat Kantor Desa.”

“Aku jemput sekarang.”

“Oke.”’

Waktu memberi jawaban tentang kepastian. Vania yang terduduk di depan kantor desa segera berdiri saat mendapati Reno membawakan motor untuk menjemputnya. Vania duduk di jok penumpang. Tangannya ragu untuk memegang pinggang Reno. Reno tak juga menyalakan motornya.

“Kenapa?” tanya Vania.

“Tangannya.”

“Tangan siapa?”

“Tangan kamu.”

“Kenapa emang?”

“Pegang dong!”

“Apanya?”

“Sepatunya!”

“Untuk apa?”

“Ih, kamu katro deh. Ya pegang pinggang aku lah.”

“Iya, nanti pegangan.”

“Peluk!”

“Kok minta nambah?”

“Mau nambahin atau turun?”

“Turun.”

“Ya sudah, turun.”

“Oke.”

Vania turun dari kendaraan itu. Hatinya cukup kesal dengan sikap Reno.

“Aku duluan.” Reno menyalakan motornya dan menjauh dari Vania.

“Reno!” teriak Vania.

Reno berhenti. Kemudian berbalik arah menuju Vania. Reno menunjukkan bibir senyumnya.

“Aku cuma bercanda.” Senyum Reno menggoda Vania yang cemberut karena ulahnya. “Ayo?” sambungnya.

Vania duduk kembali di motornya. Mereka langsung bergegas ke sekolah untuk apel pagi PMR.

Tiba di sekolah, Vania menyimpan tasnya di kelas. Sedang Reno membawa tasnya kemana-mana. Kelas masih belum banyak siswa. Mereka masih pada di jalan. Hanya Lastri dan Riri yang sudah stand by disana.

“Mau kemana lagi, Van?” tanya Riri.

“Aku mau apel pagi.” Jawab Vania sambil mengambil buku dalam tasnya.

“PMR?” tanya Lastri.

“Iya, Las.”

“Tugas Matematika udah belum?” tanya Riri pada Vania.

“Udah, dong.” Jawab Vania dengan bangga.

“Liat dong!” Riri meminta.

“Isshh. Kerjakan aja sendiri!” Vania berlalu meninggalkan mereka berdua.

“Udah?” tanya Reno yang menunggu di depan kelas.

“Udah.”

“Ya udah, yuk?”

Mereka berjalan melalui teras demi teras kelas di sekolah itu. Tangan mereka menyatu dalam tanda tanya orang-orang yang ada di sekitarnya.

“Ciee..”

“Waaaaw...”

“Widiiih..”

“Buset..”

“Duuuh... anak alay..”

“Baru jadian, rupanya.”

Begitulah kira-kira yang orang-orang katakan selama kedua sejoli itu melewati teras kelas mereka. Reno dan Vania tak memperdulikan apapun kata mereka. Reno dan Vania hanya berjalan menuju aula sekolah untuk melaksanakan apel pagi. Setelah itu mereka melaksanakan tugas seorang anggota dengan baik.

Kelas terdengar riuh saat kedua sejoli itu datang kembali kesana.

“Waah.. ada yang berbeda dengan kalian, nih.” Ucap Wahyu, Ketua Kelas mereka.

“Apa?” Tukas Vania.

“Enggak.” Jawab Wahyu.

Lastri berdiri mematung saat melihat senja berulah dalam sorenya. Jantungnya tak dapat menahan rasa yang berbeda dalam dirinya. Rasa yang berdentang dalam dada mulai mengirimi kepalanya sebagian signal goyah tentang kecemburuannya. Tiada yang bisa Lastri ucapkan selain tawa yang lain di dada. Senjanya berpaling pada malam yang lain. Malam yang mengurungnya dalam kesedihan. Malam yang mengurungnya dalam keterbatasan rasa.

Dalam kelas, kebahagiaan orang-orang tak Lastri pedulikan. Ia hanya merasakan duka dalam sesaknya. Tawa manusia tak lagi didengarnya. Seakan tuli menghiasi kedua telinganya. Seakan buta menghiasi kedua pelupuk kerinduannya. Seakan lumpuh menyelimuti seluruh tubuhnya. Lastri kecewa dengan perasaannya sendiri.

“Mengapa harus Reno, Tuhan?” gumamnya dalam hati.

Air mata tak mungkin diteteskannya. Tangis tak mungkin pecah saat itu juga. Lastri harus menebar tegar di hadapan semua teman sekelasnya. Lastri harus menebar tegar di hadapan pasangan yang telah menyakiti hatinya.

Gemuruh cemburu bergelut dalam dada. Menyamarkan denting waktu yang berputar mengelilingi angka terbaiknya. Sedang di sebrang bangkunya, gelak tawa pasangan itu mengganggu pikirannya. Mengganggu dunianya. Entah apa yang harus Lastri lakukan. Dirinya dilanda rasa bingung yang tak jua menepi. Menjauh dari hidupnya.

“Ada apa, Las?” tanya Dion.

Sejak dulu Dion memberi Lastri perhatian yang lebih. Ada rasa terbaik dalam dirinya.

“Enggak.” Jawab Lastri sambil beranjak dari kursi yang didudukinya.

“Yakin, kamu baik-baik saja?”

“Ya.”

“Las, aku tahu kamu suka sama Reno. Tapi tak mungkin kamu mengakui hal itu. Aku bisa merasakannya.” Gumam Dion dalam hati.

Doa yang memanjat fajar di shubuh hari tak menerbangkan hati Lastri pada Dion. Semua terasa sangat sempit. Tapi Dion tetap sabar menunggu gadis terbaiknya untuk menerima Dion seiring berjalannya waktu. Ditatapnya Reno dan Vania yang sedang dikelilingi bunga diantara keduanya. Dada Dion merasakan hal yang Lastri rasakan. Tapi Dion merasa lebih beruntung dengan hubungan pasangan baru itu. Setidaknya Dion mendapat kesempatan lanjutan untuk memiliki Lastri.

“Ke kantin, yuk?” ajakan Wahyu membuyarkan lamunan Dion.

Dion hanya berdiri mengikuti langkah Wahyu yang berjalan sambil memainkan HP-nya.

Di kantin, Dion mendapati Lastri yang sedang menikmati minuman teh hangatnya. Tak Dion ganggu. Lastri dibiarkannya sendiri. Dion kembali melayani obrolan Wahyu yang semakin simpang siur dengan pikiran Dion yang sedang acak-acakan. Sedangkan dalam kelas, beberapa siswa berkeliaran keluar kelas untuk beristirahat. Hanya ada Rasya, Riri, Reno, dan Vania disana.

“Ngeselin banget, ya Pak Rustan enggak masuk tadi. Padahal udah ngerjajin tugas matematikanya yang super sulit.” Ucap Riri.

“Emang dikerjakan?” tanya Vania sambil menoleh ke arah Riri.

“Iya, dong. Nyontek dari Rasya. Heheh.” Riri nyengir bergaya chibi-chibi.

“Hmmmm..” Vania mencubit pinggang Riri.

Rasya selalu juara umum sewaktu SMP. Sekarang dia bersaing dengan Vania. Vania tidak mau kalah dengan lawannya yang selalu juara umum itu. Sejak masuk SMA, Vania mengubah gaya belajarnya menjadi semakin tekun lagi dalam mendalami keilmuan.

“Eh, tadi gue ketemu sama Pak Rustan.” Reno berucap dengan sungguh.

“Dimana?” tanya Vania heran.

“Di depan UKS.”

“Hmmm... itu Pak Ruslan, Om.” Vania memutar bola matanya.

“Hahahahaha.” Reno membahak garing.

“Ih.. dasar!” ucap Rasya sambil menjewer kuping Reno.

“Ishh, sakit, Ras. Hahaha.” Reno memegang telinganya.

“Tau tuh, si Reno. Harus dijitak.” Riri telihat gemas.

Banyak hal yang mereka bicarakan. Tiada bosan untuk tertawa riang diantara keempat mulut mereka. Membiarkan waktu menghibur mereka dengan kebersamaan. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan sekolah tercintanya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan teman-teman terbaiknya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan tawa yang diinginkannya. Pikirnya, ia tak kan menemukan hal sebahagia ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status