Empat hari sebelum pindah.
Sepatu mengkilat rapi membalut kaki Vania. Dasi dan seragamnya menghiasi pagi itu. Parfum yang baru Reno berikan kemarin disemprotkannya. Sempurna. Cermin yang berdiri di depannya seakan mengatakan hal baik tentang tubuuh Vania yang mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat Vania masih bersama Aldy. Ya, Aldy kembali menghantui pikirannya. Namun, dengan cepat ia menghapus bayangan kelam itu. Vania kembali tersenyum dengan memandang dirinya sendiri yang sedang bergaya dalam cermin itu.
“Vania berangkat, Ma.” Teriak Vania.
Tiada jawaban dari mamanya. Vania tak menghiraukannya. Vania berlalu dengan hati yang penuh bunga. Jalanan menjadi lebih menarik perhatiannya daripada rumah. Vania semakin berseri.
“Udah berangkat belum?” Vania mengirimi Reno pesan.
“Aku sudah di UKS. Kamu dimana?”
“Aku masih di jalan. Jemput dong, pinjam motor si Riri.”
“Oke. Di jalan mana?”
“Jalan dekat Kantor Desa.”
“Aku jemput sekarang.”
“Oke.”’
Waktu memberi jawaban tentang kepastian. Vania yang terduduk di depan kantor desa segera berdiri saat mendapati Reno membawakan motor untuk menjemputnya. Vania duduk di jok penumpang. Tangannya ragu untuk memegang pinggang Reno. Reno tak juga menyalakan motornya.
“Kenapa?” tanya Vania.
“Tangannya.”
“Tangan siapa?”
“Tangan kamu.”
“Kenapa emang?”
“Pegang dong!”
“Apanya?”
“Sepatunya!”
“Untuk apa?”
“Ih, kamu katro deh. Ya pegang pinggang aku lah.”
“Iya, nanti pegangan.”
“Peluk!”
“Kok minta nambah?”
“Mau nambahin atau turun?”
“Turun.”
“Ya sudah, turun.”
“Oke.”
Vania turun dari kendaraan itu. Hatinya cukup kesal dengan sikap Reno.
“Aku duluan.” Reno menyalakan motornya dan menjauh dari Vania.
“Reno!” teriak Vania.
Reno berhenti. Kemudian berbalik arah menuju Vania. Reno menunjukkan bibir senyumnya.
“Aku cuma bercanda.” Senyum Reno menggoda Vania yang cemberut karena ulahnya. “Ayo?” sambungnya.
Vania duduk kembali di motornya. Mereka langsung bergegas ke sekolah untuk apel pagi PMR.
Tiba di sekolah, Vania menyimpan tasnya di kelas. Sedang Reno membawa tasnya kemana-mana. Kelas masih belum banyak siswa. Mereka masih pada di jalan. Hanya Lastri dan Riri yang sudah stand by disana.
“Mau kemana lagi, Van?” tanya Riri.
“Aku mau apel pagi.” Jawab Vania sambil mengambil buku dalam tasnya.
“PMR?” tanya Lastri.
“Iya, Las.”
“Tugas Matematika udah belum?” tanya Riri pada Vania.
“Udah, dong.” Jawab Vania dengan bangga.
“Liat dong!” Riri meminta.
“Isshh. Kerjakan aja sendiri!” Vania berlalu meninggalkan mereka berdua.
“Udah?” tanya Reno yang menunggu di depan kelas.
“Udah.”
“Ya udah, yuk?”
Mereka berjalan melalui teras demi teras kelas di sekolah itu. Tangan mereka menyatu dalam tanda tanya orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Ciee..”
“Waaaaw...”
“Widiiih..”
“Buset..”
“Duuuh... anak alay..”
“Baru jadian, rupanya.”
Begitulah kira-kira yang orang-orang katakan selama kedua sejoli itu melewati teras kelas mereka. Reno dan Vania tak memperdulikan apapun kata mereka. Reno dan Vania hanya berjalan menuju aula sekolah untuk melaksanakan apel pagi. Setelah itu mereka melaksanakan tugas seorang anggota dengan baik.
Kelas terdengar riuh saat kedua sejoli itu datang kembali kesana.
“Waah.. ada yang berbeda dengan kalian, nih.” Ucap Wahyu, Ketua Kelas mereka.
“Apa?” Tukas Vania.
“Enggak.” Jawab Wahyu.
Lastri berdiri mematung saat melihat senja berulah dalam sorenya. Jantungnya tak dapat menahan rasa yang berbeda dalam dirinya. Rasa yang berdentang dalam dada mulai mengirimi kepalanya sebagian signal goyah tentang kecemburuannya. Tiada yang bisa Lastri ucapkan selain tawa yang lain di dada. Senjanya berpaling pada malam yang lain. Malam yang mengurungnya dalam kesedihan. Malam yang mengurungnya dalam keterbatasan rasa.
Dalam kelas, kebahagiaan orang-orang tak Lastri pedulikan. Ia hanya merasakan duka dalam sesaknya. Tawa manusia tak lagi didengarnya. Seakan tuli menghiasi kedua telinganya. Seakan buta menghiasi kedua pelupuk kerinduannya. Seakan lumpuh menyelimuti seluruh tubuhnya. Lastri kecewa dengan perasaannya sendiri.
“Mengapa harus Reno, Tuhan?” gumamnya dalam hati.
Air mata tak mungkin diteteskannya. Tangis tak mungkin pecah saat itu juga. Lastri harus menebar tegar di hadapan semua teman sekelasnya. Lastri harus menebar tegar di hadapan pasangan yang telah menyakiti hatinya.
Gemuruh cemburu bergelut dalam dada. Menyamarkan denting waktu yang berputar mengelilingi angka terbaiknya. Sedang di sebrang bangkunya, gelak tawa pasangan itu mengganggu pikirannya. Mengganggu dunianya. Entah apa yang harus Lastri lakukan. Dirinya dilanda rasa bingung yang tak jua menepi. Menjauh dari hidupnya.
“Ada apa, Las?” tanya Dion.
Sejak dulu Dion memberi Lastri perhatian yang lebih. Ada rasa terbaik dalam dirinya.
“Enggak.” Jawab Lastri sambil beranjak dari kursi yang didudukinya.
“Yakin, kamu baik-baik saja?”
“Ya.”
“Las, aku tahu kamu suka sama Reno. Tapi tak mungkin kamu mengakui hal itu. Aku bisa merasakannya.” Gumam Dion dalam hati.
Doa yang memanjat fajar di shubuh hari tak menerbangkan hati Lastri pada Dion. Semua terasa sangat sempit. Tapi Dion tetap sabar menunggu gadis terbaiknya untuk menerima Dion seiring berjalannya waktu. Ditatapnya Reno dan Vania yang sedang dikelilingi bunga diantara keduanya. Dada Dion merasakan hal yang Lastri rasakan. Tapi Dion merasa lebih beruntung dengan hubungan pasangan baru itu. Setidaknya Dion mendapat kesempatan lanjutan untuk memiliki Lastri.
“Ke kantin, yuk?” ajakan Wahyu membuyarkan lamunan Dion.
Dion hanya berdiri mengikuti langkah Wahyu yang berjalan sambil memainkan HP-nya.
Di kantin, Dion mendapati Lastri yang sedang menikmati minuman teh hangatnya. Tak Dion ganggu. Lastri dibiarkannya sendiri. Dion kembali melayani obrolan Wahyu yang semakin simpang siur dengan pikiran Dion yang sedang acak-acakan. Sedangkan dalam kelas, beberapa siswa berkeliaran keluar kelas untuk beristirahat. Hanya ada Rasya, Riri, Reno, dan Vania disana.
“Ngeselin banget, ya Pak Rustan enggak masuk tadi. Padahal udah ngerjajin tugas matematikanya yang super sulit.” Ucap Riri.
“Emang dikerjakan?” tanya Vania sambil menoleh ke arah Riri.
“Iya, dong. Nyontek dari Rasya. Heheh.” Riri nyengir bergaya chibi-chibi.
“Hmmmm..” Vania mencubit pinggang Riri.
Rasya selalu juara umum sewaktu SMP. Sekarang dia bersaing dengan Vania. Vania tidak mau kalah dengan lawannya yang selalu juara umum itu. Sejak masuk SMA, Vania mengubah gaya belajarnya menjadi semakin tekun lagi dalam mendalami keilmuan.
“Eh, tadi gue ketemu sama Pak Rustan.” Reno berucap dengan sungguh.
“Dimana?” tanya Vania heran.
“Di depan UKS.”
“Hmmm... itu Pak Ruslan, Om.” Vania memutar bola matanya.
“Hahahahaha.” Reno membahak garing.
“Ih.. dasar!” ucap Rasya sambil menjewer kuping Reno.
“Ishh, sakit, Ras. Hahaha.” Reno memegang telinganya.
“Tau tuh, si Reno. Harus dijitak.” Riri telihat gemas.
Banyak hal yang mereka bicarakan. Tiada bosan untuk tertawa riang diantara keempat mulut mereka. Membiarkan waktu menghibur mereka dengan kebersamaan. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan sekolah tercintanya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan teman-teman terbaiknya. Semakin berat hati Vania untuk meninggalkan tawa yang diinginkannya. Pikirnya, ia tak kan menemukan hal sebahagia ini.
Tiga hari sebelum pindahLangit semakin terik. Tertatap dari surga, sepasang mata cokelat yang meratapi kehidupannya. Baju-baju telah dirapikannya. Rumah telah selesai ditatanya. Beberapa hari lagi, ia harus meninggalkan tempat yang sedang dalam kenyamanannya. Sabtu itu Vania isi dengan ratapan hatinya. Entah pada siapa ia harus mengungkapkan perasaannya.Hujan jatuh dalam bayangan. Rahasia teduhnya hanya Vania yang merasakan. Aldy menjadi bagian dari rintiknya. Vania mulai merindu. Reno tertepis bayangan itu. Bayangan yang mungkin menyakiti hatinya.“Al.. semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dengan rasa yang sama, seperti rasa yang dulu kita satukan.” Ucap Vania sambil menatap tas yang berisi pakaian miliknya.Air mata tertetes. Tak banyak. Hanya beberapa tetes saja. Namun gemuruh dalam dada seakan menjelaskan tentang kehancurannya. Aldy mungkin tak peduli lagi dengan Vania. A
Dua hari sebelum pindahAir mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit merasa tenang dengan suasana di shubuh
Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan
Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq