Share

Cinta yang Ternoda

“Maafkan aku. Sungguh jangan lakukan ini kak Ramon,” ucap Ganis dengan putus asa saat Ramon berhasil membuat tubuhnya polos. Ramon yang kalap langsung meraih wajahnya sekaligus mengungkungnya dari atas dengan kuat. 

“Kak kau salah paham. Dengarkan aku dulu,” mohon Ganis mulai terisak. Ganis tahu ia tak akan lolos dari Ramon. Tubuhnya kalah jauh dengan tubuh besar Ramon. Ia hanya gadis asli Indonesia dan Ramon adalah pria bule. Tubuh Ramon hampir dua kali tubuh Ganis.

Dengan beringas dikuasai nafsu dan amarah Ramon melahap bibir Ganis dengan rakus. 

“Kak tolong hentikan! kasihanilah aku,” Ramon tak mendengar permohonan dan rintihan Ganis. Ia seakan tuli dan terus menjelajah dengan liar. Air mata Ganis mengalir tiada henti. Hatinya sangat sakit dan perih. Tubuhnya serasa diremas dan diremat dengan buas. Ia merasa tak berharga. 

Rasa sakit seakan terbelah ia rasakan begitu Ramon dengan kasar melebarkan pahanya dan merusak sesuatu yang ia pertahankan sebagai gadis baik-baik. 

“Akhhh!,” Ganis tak bisa menahan jeritan keluar dari mulutnya. Ia memejamkan matanya pilu. Mengapa dalam suasana berkabung ini terjadi. Kenapa harus Ramon. Pria yang dicintainya secara diam-diam sejak Marco mengenalkannya sebagai kakaknya.

Rasa sakit itu terus merangsek naik. Ia menggigit bibirnya dengan keras ketika Ramon bergerak tak terkendali menerjang area bawah tubuhnya. Area dadanya juga tak luput dari ulah bejat Ramon. Ia rasakan remasan, kuluman, hisapan dan juga gigitan yang begitu kuat. Ramon seakan menumpahkan semua perasaan sedih, frustasi dan amarahnya pada tubuh Ganis. 

Sesaat kemudian tubuh Ramon mengejang di atas tubuh Ganis. Pria itu memejamkan matanya merasakan hormon dophamin menguasai otaknya . Perlahan ia melepaskan diri dari Ganis. Ganis hanya bisa terisak sambil meringkuk dengan kedua tangan berusaha menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun. 

“Apa yang aku lakukan?” seru Ramon memandang Ganis. Ganis menatap Ramon benci.

"Kau kejam! Dasar binatang," umpat Ganis merasa tubuhnya sangat kotor dan hina.

Ramon menyugar rambutnya seakan tersadar. Ia telah kehilangan kendali dirinya. Pria itu sekilas menatap Ganis linglung dan kemudian menggeleng keras. Pasti ini hanya mimpi. Hari ini adalah mimpi terburuknya. Ia baru saja kehilangan adik kesayangannya dan sekarang ia telah memperkosa seorang gadis karena ia tak bisa mengendalikan rasa frustasinya. Ia dengan cepat meraih celananya dan mengenakannya asal. Ia melempar selimut pada Ganis dan perlahan melangkah keluar kamar.

Dengan sedikit terhuyung ia berjalan menuju ke dapur. Ia meraih sebotol minuman keras dan langsung menenggaknya tanpa berpikir. Ia tak bisa menghadapi hari ini. Teramat menyedihkan. 

****

Ganis mulai menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk redam. Rasa sakit di area pangkal pahanya langsung menghantamnya begitu ia turun dari ranjang. Ia terdiam sesaat berharap ia bisa meredam rasa perih itu. 

Gadis itu kembali tergugu dalam tangisnya. Kesedihan mendera hatinya begitu besar. 

“Marc, kenapa kau harus pergi,” bisiknya lemah. Kenangan terakhirnya bersama Marco masih tergambar jelas. Ingatanya tentang hari kemarin masih begitu nyata. 

Flashback

“Cemen lho. Kau tak terima tantangan ini hanya karena ucapan seorang banci,” ejek Dannis menatap pada Ganis yang saat itu berdiri di samping Marco. Dannis adalah musuh Marco yang beberapa hari yang lalu dikalahkan Marco dalam sebuah adu balap.

“Apa maksud Lho?” hardik Marco mendelik. Tangannya terkepal menahan amarah. Ia tak terima Ganis dianggap banci.

“Heran saja. Kulihat kau tak pernah jalan sama cewek. Hanya anak ini yang menempel padamu. Marco percuma menang balapan kalau kau tak bisa menaklukkan seorang cewek manapun atau kau memang suka yang tak ori atau kau ini gay?” cemooh Dannis menaikkan alisnya dan menatap semua orang yang saat itu berkumpul. Semuanya kini tertawa kecuali teman-teman Marco. Mata Ganis terasa penuh melihat semua orang menatapnya dengan pandangan menghina dan meremehkan. Ia memang berpotongan seperti cowok. Ia gadis tomboy tapi selalu dianggap banci di lingkungan para cowok yang tak mengenalnya.

“Dasar mulut busuk. Dia bukan banci. Dia cewek,” bantah Marco sangat gatal ingin meninju muka Dannis saat itu juga. Hanya saja Ganis kembali menahan tangannya.

“Baiklah, aku terima tantanganmu!” ucap Marco menatap tajam pada Dannis. Ganis akan protes tapi semua teman Marco setuju dengan keputusan Marco.

“Ok. Kita tanding besok. Oh ya jangan lupa buktikan kalau kau memang beneran cewek,” seru Dannis beranjak dan secara tiba-tiba mengusap dada Ganis. Tentunya saja membuat Ganis langsung melayangkan tamparan tapi Dannis rupanya sudah mengantisipasinya.

Marco langsung melayangkan tinjunya dan itu pun tak mengenai Dannis karena ia buru-buru ditarik oleh kelompoknya. Dannis hanya tertawa-tawa penuh kepuasan dan pergi meninggalkan Marco dan kelompoknya yang sangat kesal dan geram.

Ganis tak pernah merasa direndahkan seperti itu. Ia sangat malu sekali. Ia pernah hampir dilecehkan oleh ayah tirinya tapi rasanya tak semalu dilecehkan di depan cowok sebanyak itu.

“Nis seharusnya kau tak mengalami ini. Maafkan aku. Ah kenapa kita ke arena balap. Harusnya main bilyar saja. Kau kan tak akan mengalami kejadian seperti ini,” ucap Marco masih bingung melihat Ganis yang dari tadi menenggelamkan wajahnya sambil memeluk lututnya. Semua teman-teman mereka pada bubar. Hanya tinggal Marco yang sangat ingin menghibur Ganis.

Ganis akhirnya mengangkat mukanya.

“Apa menurutmu aku cantik?” ujarnya dengan mata masih basah. Marco tersenyum lega. Selesai juga menangisnya.

“Tentu saja kau cantik. Meskipun aku tak pernah melihatmu tampil mengenakan gaun atau baju wanita. Dan rambutmu yang terlihat panjang,” seru Marco mencoba menghibur Ganis. Terus terang makin lama kenal gadis tomboy ini hatinya makin terpaut. 

Ganis mengusap air mata yang tersisa di matanya. Ia tersenyum kecil,

“Kau bohong. Kau hanya ingin menyenangkanku,kan,” kata Ganis menatap Marco. Marco tak pernah gagal untuk membuat hati Ganis merasa lebih baik.

Marco menggaruk rambutnya yang tak gatal dan tersenyum jahil.

“Tentu saja aku bohong. Tapi jujur aku penasaran melihatmu tampil feminin. Kau tahu aku selalu membayangkanmu. Akh bakal seseksi apa ya,” 

Tak ayal sebuah pukulan mengenai lengan Marco. Marco hanya menyeringai senang. Ada gelayar menyenangkan dari sentuhan mereka yang singkat. Mungkin saat inilah ia harus menyatakan perasaanya pada Ganis. Waktu hampir setahun ia rasa sudah cukup mengenalnya dan gadis ini memang layak dicintai.

“Nis,” kata Marco sedikit tersendat. Gimanapun nembak cewek adalah pertama kali buatnya. Ternyata seperti ini.

“Ya,” jawab Ganis menatap mata kecoklatan Marco.

“Mau kamu jadi cewekku mulai malam ini?” kata Marco mengumpulkan segenap keberaniannya.

Ganis malah tersenyum. Ia pikir Marco hanya bercanda dan tak serius.

“Baiklah aku akan menerimamu jadi pacarku tapi ada syaratnya,” ucap Ganis menelengkan kepala.

“Waduh pakai syarat segala. Nggak jadi,” seloroh Marco. 

“Ya udah kalau gitu,” kata Ganis yang rasa sedihnya telah lenyap sama sekali gara-gara ulah Marco.

“Ehh tunggu! baiklah. Katakan saja. Aku akan berusaha memenuhi syaratmu,” ucap Marco buru-buru.

“Ehm. Besok aku akan tampil feminin. Aku ingin tahu pendapatmu. Kau harus jujur. Kalau kau bisa mengatakan aku cantik maka aku akan menerimamu. Kita pacaran!” ujar Ganis masih menganggap ini tak serius. Ia tak bisa mengatakan kalau hatinya sudah milik kakak Marco. Ia masih menyembunyikan perasaanya rapat-rapat terutama pada Marco. 

Hati Ganis terkesiap saat Marco meraih tangannya. Mata coklat dan hangat itu menatap Ganis dalam. Tak pernah Ganis melihat Marco seserius itu. Ia tak menyangka kalau Marco ternyata mencintainya.

“Aku akan jujur Nis. Ia swear,” ucapnya dan mencium punggung tangan Ganis. Tak urung tindakan Marco membuat Ganis makin dilema.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status