Share

Mencintai Kakak Sahabatku
Mencintai Kakak Sahabatku
Penulis: dwi23end

Dalam Api Emosi

Suasana duka begitu kental terasa. Seorang gadis muda masih terisak tak jauh dari makam. Ia tak peduli gerimis membasahi tubuhnya. Di sekitar makam pendeta baru saja mengakhiri doanya. Semua membubarkan diri dalam keheningan. Seseorang pria berhenti di depan gadis itu. Matanya menatap penuh kebencian. Para pengikutnya ikut berhenti waspada di belakangnya.

“Kau masih di sini? Rupanya kita harus bicara. Bawa dia ke mobilku!” perintah pria itu dengan suara dingin dan sinis.

“Hentikan! kalian mau apa? apa salahku,” teriak gadis itu berusaha melepaskan diri ketika dua orang pengikut pria itu memeganginya dan membawanya mengikuti pria itu

“Diamlah!” bentak salah satu pria itu. Gadis itu akhirnya berhenti mencoba melawan.

Gadis itu didorong masuk ke dalam jok belakang sebuah mobil mewah. Tak lama kemudian pria yang memberi perintah itu pun masuk ke bangku pengemudi. Seorang teman wanitanya akan ikut masuk tapi ia segera mencegahnya.

“Biarkan aku sendiri!” ucap pria itu muram.

“Aku akan menemanimu hari Ini Ramon,” ucap wanita berambut coklat itu dengan nada suara begitu lembut dan penuh permohonan.

“Sofia aku sungguh tak apa-apa,” kata pria itu melepaskan kaca matanya. Tampak mata indah hazelnya yang sembap.

“Kenapa kau malah memasukkan gadis itu ke mobil ini?” tanya wanita yang bernama Sofia melirik gadis yang kini duduk diam di jok belakang dengan wajah ingin tahu.

“Aku ingin mengintrogasinya. Bagaimanapun dialah yang terakhir kali bersama adikku sebelum kecelakaan terjadi,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya. Kesedihan membayang di wajah tampannya.

“Aku harap kau cepat melepaskannya setelah kau selesai. Kalau kau mencurigainya kau bisa langsung serahkan ke kantor polisi. Kau tak perlu mengotori tanganmu,” ujar Sofia memandang pria itu dengan prihatin. Hilang sudah wajah garang dan aura ketegasanya. Maklum ia baru saja kehilangan Marco, adik yang sangat disayanginya.

Pria itu hanya mendengus dan berkata,

“Ini urusan pribadiku. Biar aku selesaikan sendiri,” serunya kini dengan sudut bibir berkedut. Dalam matanya ada kilatan api amarah yang begitu besar.

“Ramon sebenarnya aku ingin berada di sisimu saat ini tapi kurasa kau butuh ruang. Hubungi aku kalau kau butuh sesuatu,” seru wanita bermata coklat terang itu mendaratkan kecupan bibir pada pria berdarah latin-Indonesia itu.

Ramon hanya mengangguk pada wanita yang baru beberapa bulan lalu telah menjadi tunangannya itu. Ramon memberikan isyarat pada mobil di belakangnya agar segera kembali ke markas sementara ia melajukan mobilnya dengan cepat menuju suatu tempat.

Beberapa saat kemudian Ramon mematikan mesin mobilnya di depan sebuah Bungalow. Pria berbadan tinggi dan tegap itu segera membuka pintu belakang dengan kasar begitu turun dari mobil.

“Keluar kau gadis binal!” teriak Ramon mencondongkan tubuhnya dan meraih tangan Gadis itu dengan keras.

“Aku bisa turun sendiri,” kata gadis muda itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Ramon. Pria itu tak menggubris ucapannya. Ia langsung menyeret gadis itu memasuki pelataran Bungalow.

Seorang pelayan berlari tergopoh-gopoh. Ia segera membukakan pintu untuk tuanya yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan.

“Aku akan menginap!” teriak Ramon pada pelayan tanpa melepaskan gadis itu.

Sampai di ruang tamu Ramon langsung menghempaskan gadis itu ke sebuah sofa panjang. Gadis itu terkesiap menatap sinar kesedihan bercampur kemarahan di mata Ramon.

“Apa maumu?” seru gadis berambut silver itu mengusap tangannya yang terasa sakit dan membenahi posisi duduknya.

“Kau yang melibatkan Marco dalam balap liar ini, kan? kau puas sekarang melihat Marco tewas?” sembur Ramon melepaskan jasnya dan melemparkannya sembarangan.

“Ini tak seperti yang kau pikirkan. Aku sahabat Marco. Kau tahu itu. Aku juga sedih,” sahut gadis itu mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu yang paling kehilangan Marco adalah Ramon. Ramon memang sangat menyayangi adik semata wayangnya itu.

Ramon mendekati gadis itu, membungkuk dan mencondongkan wajahnya. Gadis itu bisa merasakan nafas Ramon menyapu wajahnya. Ia mencoba mengusir sebetik rasa takut dari tatapan Ramon.

“Hentikan kepura-puraanmu. Kau gadis jalanan yang hanya memanfaatkan kebaikan adikku. Kau menjerumuskan adikku dalam pergaulan sesat. Kalau tak mengenalmu pasti ia masih baik-baik saja sekarang,” kata Ramon dengan dingin penuh amarah. Tangannya meraih dagunya hingga ia menengadah menentang wajah Ramon.

Ramon menemukan kesenduan di mata legamnya. Sejenak timbul iba di hatinya tapi itu tak berlangsung lama. Ia tak boleh terpedaya oleh gadis liar ini.

“Marco memang baik padaku. Ia banyak menolongku. Tapi aku tak pernah memanfaatkanya. Kami hanya bersenang-senang dan aku tak tahu akan jadi seperti ini,” jelas gadis itu merasakan intimidasi yang kuat dari pria di hadapannya itu.

“Kau pikir aku percaya pada gadis murahan sepertimu? Lihat penampilanmu itu. Tak lebih baik dari seorang pelacur jalanan. Sudah berapa pria kau tiduri? berharap pria kaya menjadi sugar daddymu? Apakah kau mencoba menjadi sugar baby adikku?” bentak Ramon menyeringai. Ia bisa melihat dengan jelas lekuk tubuh gadis itu dengan pakaiannya yang basah. Kelihatannya gadis itu masih sangat muda. Usianya mungkin baru menginjak 20 an tahun.

“Hentikan!aku bukan jalang apalagi pelacur. Aku sahabat adikmu. Aku juga sangat sedih sekarang ini. Bisa-bisanya di hari berkabungnya Marco kau tuduh aku seperti itu,” balas gadis itu menentang mata Ramon.

Ramon mengeratkan gerahamnya. Rahangnya mengeras. Matanya kini meneliti wajah gadis itu.

“Kau Ganis?” ucap Ramon tiba-tiba tangannya menjambak rambut gadis itu. Gadis berkulit sawo matang itu sedikit terkejut. Rambut silver palsunya lepas dan terkulai di lantai. Kini gadis bernama Ganis muncul dengan penampilan aslinya. Berambut cepak, hitam legam seperti pria. Ia memang memakai rambut palsu hanya untuk membuat Marco senang hari itu. Ramon ingat saat Marco mengenalkan Ganis dan kemudian sering menceritakan tentang gadis itu ketika mereka bersama. Ia sungguh hampir saja tak mengenalinya dengan penampilannya itu.

"PLAAKKK!"

Tak sadar telapak tangan Ganis sudah menampar pipi Ramon. Pria itu terkesiap. Matanya kian menyipit memindai Ganis. Bibirnya berkedut penuh amarah.

“Kau mencoba merayu Marco untuk melakukan balap liar? Apa tujuanmu sebenarnya? apa kau suruhan seeorang? kau ingin menang taruhan? Kau ini beneran wanita atau banci?” maki Ramon bergetar menahan emosinya. Beraninya Ganis menamparnya.

“Sudah cukup kau menghinaku! Jangan menyalahkan diriku! Kaulah yang salah. Kau sebagai kakak harusnya membuat Marco nyaman bersamamu. Aku tahu kenapa Marco sering main keluar. Kakaknya ternyata seorang monster!” teriak Ganis menepis tangan Ramon. Dengan segenap keberaniannya ia beranjak berdiri. Ia akan pergi. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan. Mau dijelaskan seperti apa juga Ramon tak akan percaya.

"PLAAAAK," Belum sempat ia melangkah sebuah tamparan keras dirasakan Ganis. Matanya sampai kebas. Darah menetes dari bibirnya yang robek. Kepalanya terasa berputar. Ramon segera meraih tangannya dan menyeretnya masuk ke sebuah kamar. Ia meronta-ronta mencoba melepaskan diri.

“Lepaskan aku!” teriaknya dengan segenap kekuatanya.

Ramon tak peduli. Amarah telah menguasainya. Kata-kata Ganis terakhir melukai hatinya yang terdalam. Tentu saja ia tak mau mengakui kalau sebagai kakak ia telah gagal membuat Marco bahagia dan nyaman bersamanya. Kedua orang tua mereka telah meninggal dunia saat Marco masih berusia TK. Otomatis dialah pengganti orang tua bagi Marco selama ini. Usianya dengan Marco terpaut jauh. Hampir 15 tahun.

Ramon menghempaskan Ganis ke atas ranjang. Hati Ganis mencelos. Apa yang akan dilakukan Ramon padanya.

“Mau apa kau?” teriak Ganis kini beringsut ke sudut ranjang saat Ramon ikut naik dan menindihnya.

“Menghukummu jalang!” ucap Ramon mulai melepas baju Ganis dengan kasar. Ganis berusaha mempertahankan kain yang melekat pada tubuhnya sekuat tenaga. Ia merasakan bibir Ramon ingin meraih bibirnya. Ia langsung memalingkan wajahnya dan menggerakkan seluruh tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status