Share

Mencintai Suami Adikku
Mencintai Suami Adikku
Penulis: Bemine

Bab 1: Terungkap

“Menikah? Siapa yang akan menikah, Mak?” tanyaku setelah melepas heels yang seharian begitu menyiksa kaki. 

Tubuhku yang setinggi 155 cm membutuhkan bantuan dari sepatu berhak demi menunjang tinggi tubuhku ini. Mengendarai motor matik yang tinggi, juga cukup membantu dengan menggunakan heels. 

Aku meletakkan sepatu mengkilap berwarna hitam yang telah kusemir pagi ini di atas rak sepatu teratas. Sebuah senyum kusematkan saat melihat raut wajah bahagia yang tersurat dari wajah Mamak dan Anisya, adikku satu-satunya. 

Aku sempat menangkap pembicaraan antara Mamak dan Anisya perihal pernikahan, pelaminan juga tamu undangan saat memarkirkan motor di garasi samping rumah. 

“Mak?” panggilku untuk kedua kalinya setelah memasuki pintu rumah. 

Keningku yang berpeluh setelah pulang dari mengajar di salah satu kampus agama milik negara di kota Banda Aceh itu membuatku sangat lelah. Ya! Aku memang berprofesi sebagai dosen, dan masih honorer. 

Baru setahun yang lalu, aku menamatkan kuliah sebagai mahasiswa magister dari jurusan Ekonomi Islam, dan memutuskan untuk mengabdi di kampus yang sama. Syukurnya, kemampuan akademik yang rata-rata ini tidak dipandang sebelah mata oleh almamaterku itu. 

“Siapa yang menikah, Mak?” ulangku untuk ketiga kalinya. Memanglah begitu cara kami, orang-orang di provinsi paling barat negara ini memanggil Ibunya. 

“Anisya dilamar Hasan, Nak,” balas Mamak. 

Hampir saja jantungku terlepas dari tautannya saat mendengar nama Hasan disebutkan oleh Mamak. Sebab, lelaki berparas manis yang selama ini memikat hatiku juga bernama Hasan. 

Belum lama ini, Bang Hasan diterima di salah satu kantor BUMN sebagai karyawan tetap dan memang berniat untuk segera menghalalkan gadis pujaannya setelah punya pekerjaan. Usaha, kerja keras dan doa yang tidak putus membuat Bang Hasan berhasil menembus sulitnya seleksi dari perusahaan tersebut. 

“Hasan yang mana ya, Mak?” Aku bertanya dengan pelipis yang semakin banjir. 

Harap-harap cemas jika Hasan yang disebut Mamak bukanlah Hasan yang selalu kuidam-idamkan dalam hidupku. Bukanlah Hasan yang namanya kusebut di setiap sepertiga malamku. 

Jantungku berdegub begitu cepat, seakan ingin segera terbebas dari dalam rongga dada. Aku menahan semua siksaan ini dengan wajah tersenyum, sedang dalam hati terus saja merapal do'a agar Mamak memberiku jawaban yang berbeda.

“Hasan Al-Basri, Nak. Temanmu itu, loh!”

Sebuah sambaran petir terasa di dalam dada. Hampir saja aku menjerit namun berusaha kututupi dengan gelak tawa bahagia yang kupalsukan. 

“Hasan? Bang Hasan, Mak? Hahaha!” 

Palsu! Sebuah tawa yang sangat palsu. 

“Aduh, Nak, Mamak juga engga nyangka kalo Hasan itu tertarik sama Anisya. Tadi keluarga dari Hasan datang dan mengatakan jika Hasan ingin mengkhitbah Anisya, secepatnya,” jelas Mamak dengan wajah berbinar. 

Perasaanku bagai tersayat-sayat, berdarah, namun tidak bisa kutunjukkan pada siapapun. 

Berulangkali aku beristigfar di dalam hati, meminta pada Rabb agar membuat semua ini menjadi seperti mimpi.

Sekarang, aku paham benar, alasan dari kedatangan Bang Hasan berulangkali ke rumah. Ternyata semuanya demi melihat Anisya lebih dekat. 

Bang Hasan, sudah terpikat dengan Anisya, mungkin sejak aku mengira Bang Hasan menaruh hati padaku, hingga terus bertamu ke rumah dan mengobrol dengan Mamak. 

Kedua kakiku saat ini terasa begitu lemah. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa, yang bisa membantuku berdiri lebih tegak. 

Kuputuskan untuk mengakhiri siksaan ini dengan berpamitan pada Mamak dan Anisya yang terlihat begitu bahagia, “Ya sudah, Mak, Nisya. Kak Zahra masuk ke kamar dulu ya? Mau mandi dan solat dhuhur,” elakku pada Mamak dan Anisya. 

“Ya sudah, sana, Nak. Nanti jangan lupa bantu-bantu Mamak buat persiapan lamaran Anisya. Tidak enak jika menunggu uluran tangan dari keluarga Mak Cek terus, setidaknya kita bisa mengurus acara lamaran ini sendiri.”

Mamak terus saja berbicara panjang lebar dengan semangat yang membara meski aku sudah berlalu ke kamar. 

Kututup pintu kamar dengan perlahan dan menguncinya dari dalam. Hampir saja tangisku pecah dengan suara yang keras, jika aku tidak mengingat ada Mamak dan Anisya di luar sana. 

“Jadi ini alasannya, Bang?” lirihku tidak tertahankan. 

Entah pada siapa aku menaruh kekecewaanku saat ini. Bang Hasan yang kuimpikan sebagai imamku, telah memilih makmumnya, yaitu Anisya, adikku. 

Air mataku tumpah ruah, aku meremas tepian baju dengan keras hingga telapak tangan terasa begitu perih. 

Berulangkali aku memukul dada yang sesak, bahkan menampar pipi agar aku bisa menghentikan tangisan ini. 

Aku merosot terduduk di balik daun pintu, masih dengan tas yang ikut terjatuh dan menghamburkan isi perutnya. 

Salah satu notes book yang diberikan Bang Hasan kepadaku telah menarik perhatian. Tertulis jelas di sampul depan, “Untuk wanita hebat, Zahrah Al-Humairah.”

Seketika tangisku kembali pecah. Tidak ada yang tersisa saat ini selain rasa sakit dan arah tujuan yang hilang. 

Dalam hidupku yang sangat sederhana ini, aku tidak pernah menginginkan apapun sebanyak aku menginginkan Bang Hasan. 

Sejak kami masih kuliah sarjana, aku sudah menjatuhkan hatiku padanya. Dari senior dan junior, naik pangkat jadi teman. 

Lalu berjuang bersama-sama mencari pekerjaan di tengah sulitnya lapangan kerja. Hingga aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2 setelah dinyatakan lulus beasiswa dan Bang Hasan memulai usahanya menembus barrier seleksi BUMN. 

“Kak Zahrah, kenapa lama sekali di dalam? Nanti telat dhuhurnya. Kakak temani Anisya beli bahan kain untuk lamaran, yah?” Permintaan Anisya terdengar jelas olehku dari dalam kamar. 

Aku benar-benar merutuki nasibku sendiri saat ini. Bahkan mendengar suara Anisya saja membuatku sangat benci. 

Diam, aku enggan menjawab. Mulutku kubekap dengan kedua tangan agar tangisku tidak terdengar. 

“Kak Zahrah? Temenin Anisya, ya? Soalnya, Mamak harus ke rumah Nenek untuk menyampaikan berita lamaran Anisya. Lalu ke rumah Uwak, Cecek, Bunda juga. Ada banyak rumah keluarga yang harus Mamak datangi.”

Anisya terus saja berceloteh ria di luar sana. Dia bahkan tidak menyadari, jika perasaanku telah remuk redam di dalam sini. 

Setiap kali Anisya mengucapkan kata lamaran, satu lagi tebasan pedang melukai hati dan jantungku yang telah hancur. Mencincangnya hingga menjadi bubur.

“Mak? Kak Zahrah diam, Mak,” adu Anisya pada Mamak. 

“Ya sudah, biarkan saja, Nak. Mungkin Kakakmu terlalu lelah seharian atau tertidur di kamarnya. Kita berangkat berdua saja, ya?” Begitulah balasan dari Mamak yang sempat terdengar olehku. 

Suasana berubah hening, hanya terdengar bunyi pintu yang ditutup, lalu dikunci dari dalam. Tangisku semakin keras setelah sadar jika Mamak dan Anisya sudah pergi. Hanya ada aku sendiri di rumah, hingga aku bebas melepaskan rasa sakit yang mengoyak dada. 

Ponselku bergetar sesaat, layarnya menyala dan menampilkan preview pesan dari W******p di sana.

Sebuah pesan dari pengirim bertuliskan “Impian” terpampang di layar,

[Zahrah, keluargaku sudah datang ke rumah gadis itu dan melamarnya. Kamu tahu? Gadis itu setuju menikah denganku. Terima kasih atas saran-sarannya, Zahrah. Kamu memang sahabat yang baik.]

“Kamu gila, Bang!” umpatku setelah membaca pesan dari Bang Hasan. 

Bagaimana bisa selama ini aku memberinya saran untuk melamar adikku sendiri? Bagaimana mungkin aku tidak menyadari jika semua kisah yang diceritakan Bang Hasan padaku adalah tentang adikku? 

Aku terus saja terisak sembari memeluk kedua lutut. Mengabaikan pipi yang basah, dan mata yang perih karena tangis yang tidak kunjung usai ini. 

Ya Allah, Ya Rabbi. Hatiku remuk redam saat ini ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status