Share

Bab 2: Keberuntungan untuk Anisya

“Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur. 

Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur. 

Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat. 

Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan. 

Aku keluar dari kamar setelah memastikan keadaan wajah lebih mirip seseorang yang baru saja tertidur dibanding menangis. Aku tidak ingin Mamak bertanya-tanya alasan dari tangisanku, tentu saja Mamak akan curiga, jika melihatku begitu. 

Suara riuh rendah yang menggema di dalam rumah membuatku melirik ke seluruh sudut. Aku penasaran sekali tentang suara-suara yang saat ini bersahut-sahutan itu. 

“Zahrah?!” Teguran dari Mamak baru saja menghentikan langkahku untuk mencari tahu. 

Aku menoleh, lalu tersenyum pada Mamak yang datang dengan nampan di tangan. 

Gelas-gelas sloky yang Mamak isi dengan sirup dingin memberiku informasi, jika ada tamu saat ini.

“Keluarga Bang Hasan, Mak?” 

Mamak menggeleng, “Bukan, tapi keluarga dari Burhan. Aduh, Mamak bingung sekali, mereka datang mau melamar Anisya. Burhan itu, sudah diterima bekerja di Jakarta. Mau membawa Anisya juga ke Jakarta.”

Aku mematung saat mendengar penjelasan singkat dari Mamak. Betapa hebatnya Anisya, dua lamaran datang dalam satu hari untuknya. 

Padahal, setahuku gadis yang sudah dilamar tidak boleh lagi dilamar. Namun hal ini sepertinya dapat dipahami, mengingat belum banyak orang yang tahu tentang pernikahan Anisya dan ... bahkan aku kesulitan menyebut nama lelaki itu. 

“Anisya bilang apa, Mak?”

“Mau bilang apa, coba? Pastilah ditolak. Anisya sudah menerima lamaran Hasan, tidak mungkin menerima Burhan juga. Lagian, kenapa dua-duanya ngelamar Anisya, sih? Padahal Mamak punya dua anak gadis, kan bagus kalau kalian nikahnya barengan.” 

Aku hanya mengulas senyum setelah mendengar ucapan dari Mamak. Meski sebenarnya, ucapan Mamak menoreh luka baru di benakku. 

Usiaku sudah dua puluh lima tahun dan belum menikah. Sedang Anisya, tahun ini dia menginjak usia dua puluh dua tahun dan sudah dilamar dua orang. 

Paras? Memang Anisya lebih cantik. Meski sama-sama berkulit putih bening, Anisya memiliki paras indah khas orang Aceh. 

Hidung mungil namun mancung, mata yang kecil dan indah, bibir tipis menggemaskan dan dagu yang lancip. Bentuh tubuh Anisya juga kecil, namun sedikit berisi. Menambah daya tarik setiap kali melihat Anisya. 

Sedang aku lebih mirip Almarhum Ayah. Hidung seperti jambu dengan mata bulat besar. Meski banyak orang-orang memuji bentuk mataku yang beriris coklat terang, tetap saja tidak seindah parah Anisya. 

Astagfirullah! Aku bahkan membanding-bandingkan ciptaan Allah. Iri dengan nasib yang dimiliki adikku sendiri. Benar-benar syeitan telah berhasil menggoyahkan diriku. 

Kuusap wajah yang kembali memanas, rupanya menangis selama berjam-jam belum cukup untuk batin yang terluka ini. 

“Zahrah?” Mamak kembali memanggilku yang hanya diam. 

Kutengadahkan kepala demi menahan air mata yang kembali mengisi kelopak. Sakit! Perih! Kecewa! Bahkan benci telah bersarang di dalam jiwa. 

“Kakak solat dhuhur dulu, Mak. Takut keburu asar,” pamitku pada Mamak.

“Ya sudah, sana solat. Mamak ke depan dulu, ya?!” 

“Iya, Mak.”

Aku menuju ke kamar mandi yang terletak dekat dengan dapur. Melipat lengan kaos yang panjang agar tidak basah saat berwudu'. 

Langkahku terhenti saat melihat Anisya sedang duduk di kursi meja makan, sembari mengunyah anggur merah dalam satu keranjang besar. 

“Kak, Bang Burhan itu baik, ya? Lebih mapan mana dari Bang Hasan?” 

Sebuah pertanyaan yang membuatku membulatkan mata terucap dari bibir Anisya. Aku menoleh pada Anisya, tanpa meninggalkan pintu kamar mandi. 

Keningku mengernyit saat melihat Anisya dengan santainya menikmati buah yang dibawakan oleh keluarga Bang Hasan, namun dengan teganya membandingkan Bang Hasan dengan Bang Burhan.

“Apa maksudmu, Dek?” 

“Ya, gini loh, kak. Kan Bang Hasan kerjanya di Aceh, kalau Bang Burhan kerjanya di Jakarta. Logika saja, Bang Burhan pasti lebih mapan.” Anisya terkekeh setelah mengucapkan kalimat tersebut. 

Dia kembali memetik anggur dari tangkai lalu mengunyahnya dengan wajah bahagia. 

“Harusnya, kamu menolak Bang Hasan jika ingin hidup kaya dengan Bang Burhan, Dek. Bukannya berucap seperti ini setelah menerima pinangan Bang Hasan,” balasku. 

Jujur aku begitu tersinggung dengan ucapan Anisya, padahal apa yang diucapkan oleh Anisya tidak ada kaitannya denganku. 

Sedikit membandingkan. Bukan! Aku memang membandingkan perasaanku terhadap Bang Hasan dengan perasaan Anisya. Bagiku, perasanku jaauh lebih tulus, namun sayangnya bukan aku pilihan Bang Hasan. 

“Ih, Kakak Zahrah kenapa jadi marah begitu? Kan yang dilamar Anisya, jadi Anisya berhak dong untuk memilih yang terbaik demi masa depan Anisya sendiri.”

Dadaku bergemuruh saat melihat alasan konyol yang diucapkan oleh Anisya. Tidak tahu diri! Begitulah umpatan yang berulangkali terucap di dalam benakku. 

“Tapi, Bang Hasan lebih cocok sama Anisya dibanding Bang Burhan. Bang Hasan lembut dan terlihat sangat sayang sama mamak.” Anisya berceloteh ria sendirian. 

Aku memutuskan menutup telinga dan beranjak masuk ke kamar mandi. Air dari keran mengucur deras, sengaja aku memutar keran hingga mentok agar bisa menumpahkan tangis tanpa terdengar oleh Anisya. 

Semudah itu Anisya membandingkan Bang Hasan dengan lelaki lain, padahal bagiku, Bang Hasan adalah satu-satunya. Lelaki satu-satunya yang namanya tidak pernah absen kusebutkan di solat malamku. Lelaki yang tidak henti kupinta pada Ilahi. 

--

Kuhabiskan malam ini dengan bersemedi di kamar. Aku memang jarang duduk mengobrol dengan mamak atau Anisya sembari menonton TV. 

Selama ini, aku lebih senang membaca novel dibandingkan bergosip ria. Itulah yang memperbesar jarak antara aku dan mamak, juga Anisya. 

Hanya saja, aku merasa damai setelah membaca novel dibandingkan menonton drama seperti yang dilakukan oleh Anisya. 

Barisan kata demi kata, baik itu di dalam novel fisik atau pun digital, selalu membuatku takjub. Kisah-kisah yang tertulis di dalamnya, memberi pelajaran baru bagiku. 

Ibu jari dan telunjukku membalik halaman novel fisik yang baru kubeli minggu lalu. Novel komedi romantis yang saat ini menemani berhasil membuatku melupakan sedikit rasa sakit yang disebabkan oleh Bang Hasan dan Anisya. 

Drt!

Ketenanganku terusik saat ponsel itu bergetar. Aku meraih ponsel tersebut lalu membuka pesan beruntun yang baru saja masuk. 

[Bang Hasan ngelamar cewek? @Zahrah @Wulan. Group almamater heboh sama berita ini. Katanya si ganteng Hasan udah sold out!]

Isi pesan yang dikirimkan oleh Tya mengangetkan diriku. Tya, juga Wulan merupakan dua sahabat baik yang mengenal diriku hingga bagian kecil. Jika aku dekat dengan Bang Hasan, maka aku lebih dekat dengan Tya dan Wulan. 

[Gila Bang Hasan! Tega banget.] Balasan lainnya dari Wulan masuk ke dalam group chat. 

Aku hanya menyimak tanpa membalas. Keduanya mulai berseteru hingga group chat w******p yang kami beri nama “Pesona Gadis Aceh” itu sangat riuh. Padahal, hanya kami bertiga yang ada di sana.

[Aku tidak terima Bang Hasan seperti ini.]

[Aku juga tidak terima, Tya. Sudah bikin baper anak orang kok yang dilamar cewek yang lain, sih?]

[Hei, @Zahrah. Sudah, jangan perdulikan lagi Bang Hasan. Hapus nomornya, jika perlu blokir saja. Kamu terlalu baik untuk lelaki yang tidak peka itu.]

Tya terus saja mengomel, lalu disahuti Wulan yang tidak kalah garangnya. Tingkah keduanya membuatku merasa terhibur. 

Aku mulai mengetik balasan, agar Tya dan Wulan berhenti meng-tag namaku di dalam typingan mereka. 

Namun, perhatianku teralihkan oleh notifikasi lain yang muncul di atas layar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal terlihat jelas di pesan preview. 

[Dek Zahrah, apa kabarmu, Dek? Ini Abang, Zaky Mubarak.]

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Namira P
si adiknya itu belagu. pada buta laki2 itu melihat fisik aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status