“Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur.
Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur.
Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat.
Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan.
Aku keluar dari kamar setelah memastikan keadaan wajah lebih mirip seseorang yang baru saja tertidur dibanding menangis. Aku tidak ingin Mamak bertanya-tanya alasan dari tangisanku, tentu saja Mamak akan curiga, jika melihatku begitu.
Suara riuh rendah yang menggema di dalam rumah membuatku melirik ke seluruh sudut. Aku penasaran sekali tentang suara-suara yang saat ini bersahut-sahutan itu.
“Zahrah?!” Teguran dari Mamak baru saja menghentikan langkahku untuk mencari tahu.
Aku menoleh, lalu tersenyum pada Mamak yang datang dengan nampan di tangan.
Gelas-gelas sloky yang Mamak isi dengan sirup dingin memberiku informasi, jika ada tamu saat ini.
“Keluarga Bang Hasan, Mak?”
Mamak menggeleng, “Bukan, tapi keluarga dari Burhan. Aduh, Mamak bingung sekali, mereka datang mau melamar Anisya. Burhan itu, sudah diterima bekerja di Jakarta. Mau membawa Anisya juga ke Jakarta.”
Aku mematung saat mendengar penjelasan singkat dari Mamak. Betapa hebatnya Anisya, dua lamaran datang dalam satu hari untuknya.
Padahal, setahuku gadis yang sudah dilamar tidak boleh lagi dilamar. Namun hal ini sepertinya dapat dipahami, mengingat belum banyak orang yang tahu tentang pernikahan Anisya dan ... bahkan aku kesulitan menyebut nama lelaki itu.
“Anisya bilang apa, Mak?”
“Mau bilang apa, coba? Pastilah ditolak. Anisya sudah menerima lamaran Hasan, tidak mungkin menerima Burhan juga. Lagian, kenapa dua-duanya ngelamar Anisya, sih? Padahal Mamak punya dua anak gadis, kan bagus kalau kalian nikahnya barengan.”
Aku hanya mengulas senyum setelah mendengar ucapan dari Mamak. Meski sebenarnya, ucapan Mamak menoreh luka baru di benakku.
Usiaku sudah dua puluh lima tahun dan belum menikah. Sedang Anisya, tahun ini dia menginjak usia dua puluh dua tahun dan sudah dilamar dua orang.
Paras? Memang Anisya lebih cantik. Meski sama-sama berkulit putih bening, Anisya memiliki paras indah khas orang Aceh.
Hidung mungil namun mancung, mata yang kecil dan indah, bibir tipis menggemaskan dan dagu yang lancip. Bentuh tubuh Anisya juga kecil, namun sedikit berisi. Menambah daya tarik setiap kali melihat Anisya.
Sedang aku lebih mirip Almarhum Ayah. Hidung seperti jambu dengan mata bulat besar. Meski banyak orang-orang memuji bentuk mataku yang beriris coklat terang, tetap saja tidak seindah parah Anisya.
Astagfirullah! Aku bahkan membanding-bandingkan ciptaan Allah. Iri dengan nasib yang dimiliki adikku sendiri. Benar-benar syeitan telah berhasil menggoyahkan diriku.
Kuusap wajah yang kembali memanas, rupanya menangis selama berjam-jam belum cukup untuk batin yang terluka ini.
“Zahrah?” Mamak kembali memanggilku yang hanya diam.
Kutengadahkan kepala demi menahan air mata yang kembali mengisi kelopak. Sakit! Perih! Kecewa! Bahkan benci telah bersarang di dalam jiwa.
“Kakak solat dhuhur dulu, Mak. Takut keburu asar,” pamitku pada Mamak.
“Ya sudah, sana solat. Mamak ke depan dulu, ya?!”
“Iya, Mak.”
Aku menuju ke kamar mandi yang terletak dekat dengan dapur. Melipat lengan kaos yang panjang agar tidak basah saat berwudu'.
Langkahku terhenti saat melihat Anisya sedang duduk di kursi meja makan, sembari mengunyah anggur merah dalam satu keranjang besar.
“Kak, Bang Burhan itu baik, ya? Lebih mapan mana dari Bang Hasan?”
Sebuah pertanyaan yang membuatku membulatkan mata terucap dari bibir Anisya. Aku menoleh pada Anisya, tanpa meninggalkan pintu kamar mandi.
Keningku mengernyit saat melihat Anisya dengan santainya menikmati buah yang dibawakan oleh keluarga Bang Hasan, namun dengan teganya membandingkan Bang Hasan dengan Bang Burhan.
“Apa maksudmu, Dek?”
“Ya, gini loh, kak. Kan Bang Hasan kerjanya di Aceh, kalau Bang Burhan kerjanya di Jakarta. Logika saja, Bang Burhan pasti lebih mapan.” Anisya terkekeh setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Dia kembali memetik anggur dari tangkai lalu mengunyahnya dengan wajah bahagia.
“Harusnya, kamu menolak Bang Hasan jika ingin hidup kaya dengan Bang Burhan, Dek. Bukannya berucap seperti ini setelah menerima pinangan Bang Hasan,” balasku.
Jujur aku begitu tersinggung dengan ucapan Anisya, padahal apa yang diucapkan oleh Anisya tidak ada kaitannya denganku.
Sedikit membandingkan. Bukan! Aku memang membandingkan perasaanku terhadap Bang Hasan dengan perasaan Anisya. Bagiku, perasanku jaauh lebih tulus, namun sayangnya bukan aku pilihan Bang Hasan.
“Ih, Kakak Zahrah kenapa jadi marah begitu? Kan yang dilamar Anisya, jadi Anisya berhak dong untuk memilih yang terbaik demi masa depan Anisya sendiri.”
Dadaku bergemuruh saat melihat alasan konyol yang diucapkan oleh Anisya. Tidak tahu diri! Begitulah umpatan yang berulangkali terucap di dalam benakku.
“Tapi, Bang Hasan lebih cocok sama Anisya dibanding Bang Burhan. Bang Hasan lembut dan terlihat sangat sayang sama mamak.” Anisya berceloteh ria sendirian.
Aku memutuskan menutup telinga dan beranjak masuk ke kamar mandi. Air dari keran mengucur deras, sengaja aku memutar keran hingga mentok agar bisa menumpahkan tangis tanpa terdengar oleh Anisya.
Semudah itu Anisya membandingkan Bang Hasan dengan lelaki lain, padahal bagiku, Bang Hasan adalah satu-satunya. Lelaki satu-satunya yang namanya tidak pernah absen kusebutkan di solat malamku. Lelaki yang tidak henti kupinta pada Ilahi.
--
Kuhabiskan malam ini dengan bersemedi di kamar. Aku memang jarang duduk mengobrol dengan mamak atau Anisya sembari menonton TV.
Selama ini, aku lebih senang membaca novel dibandingkan bergosip ria. Itulah yang memperbesar jarak antara aku dan mamak, juga Anisya.
Hanya saja, aku merasa damai setelah membaca novel dibandingkan menonton drama seperti yang dilakukan oleh Anisya.
Barisan kata demi kata, baik itu di dalam novel fisik atau pun digital, selalu membuatku takjub. Kisah-kisah yang tertulis di dalamnya, memberi pelajaran baru bagiku.
Ibu jari dan telunjukku membalik halaman novel fisik yang baru kubeli minggu lalu. Novel komedi romantis yang saat ini menemani berhasil membuatku melupakan sedikit rasa sakit yang disebabkan oleh Bang Hasan dan Anisya.
Drt!
Ketenanganku terusik saat ponsel itu bergetar. Aku meraih ponsel tersebut lalu membuka pesan beruntun yang baru saja masuk.
[Bang Hasan ngelamar cewek? @Zahrah @Wulan. Group almamater heboh sama berita ini. Katanya si ganteng Hasan udah sold out!]
Isi pesan yang dikirimkan oleh Tya mengangetkan diriku. Tya, juga Wulan merupakan dua sahabat baik yang mengenal diriku hingga bagian kecil. Jika aku dekat dengan Bang Hasan, maka aku lebih dekat dengan Tya dan Wulan.
[Gila Bang Hasan! Tega banget.] Balasan lainnya dari Wulan masuk ke dalam group chat.
Aku hanya menyimak tanpa membalas. Keduanya mulai berseteru hingga group chat w******p yang kami beri nama “Pesona Gadis Aceh” itu sangat riuh. Padahal, hanya kami bertiga yang ada di sana.
[Aku tidak terima Bang Hasan seperti ini.]
[Aku juga tidak terima, Tya. Sudah bikin baper anak orang kok yang dilamar cewek yang lain, sih?]
[Hei, @Zahrah. Sudah, jangan perdulikan lagi Bang Hasan. Hapus nomornya, jika perlu blokir saja. Kamu terlalu baik untuk lelaki yang tidak peka itu.]
Tya terus saja mengomel, lalu disahuti Wulan yang tidak kalah garangnya. Tingkah keduanya membuatku merasa terhibur.
Aku mulai mengetik balasan, agar Tya dan Wulan berhenti meng-tag namaku di dalam typingan mereka.
Namun, perhatianku teralihkan oleh notifikasi lain yang muncul di atas layar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal terlihat jelas di pesan preview.
[Dek Zahrah, apa kabarmu, Dek? Ini Abang, Zaky Mubarak.]
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me