Aku terduduk lesu di salah satu meja batu yang berada di taman kampus. Posisinya yang terbuka memang terlihat kurang nyaman, namun semilir angin yang berhembus di sana begitu menenangkan.
Sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di sini, menikmati segelas kopi dingin yang datang dari kafe dan menghabiskannya sendirian.
Aku menunggui Bang Hasan yang telah membuat janji denganku semalam. Sebuah kabar tentang kepastian untuk bertemulah, yang aku tunggu hingga tidak terasa, tiga puluh menit telah berlalu.
Cukup menguras tenaga dan emosi, jika mengingat hal sensitif apa yang akan kami bahas saat bertemu nanti. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi, dan aku sudah berjanji pada mamak untuk membantu pernikahan Anisya, meski yang sebenarnya adalah aku sedang mengorbankan perasaanku sendiri.
Ponselku bergetar, menampilkan nama Bang Hasan yang tertera di layar. Segera kuangkat agar Bang Hasan tidak perlu menunggu waktu yang lama.
“Assalamualaikum, Zahrah! Abang sudah di parkiran kampus ini, kamu dimana?” Bang Hasan bersuara merdu di seberang sana. Sebuah suara yang harus kuikhlaskan untuk dimiliki oleh Anisya.
“Waalaikumsalam, di taman kampus. Tunggu saja di sana, Bang Hasan. Aku akan menyusul sebentar lagi,” ucapku seraya Bangkit dari Bangku taman yang terbuat dari semen.
“Baiklah kalau itu maumu.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bang Hasan, lalu panggilan dia matikan tanpa mengucap salam.
Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya, hingga Bang Hasan dengan mudahnya mematikan telfon tanpa sebuah salam. Hal yang hampir tidak pernah dia lakukan selama kami berkenalan.
Kususuri lorong demi lorong, lalu jalan setapak yang panjang menuju parkiran. Seharusnya, aku tidak mengitari kampus seperti ini karena telah memilih untuk duduk sendirian di kantin, saat bisa menunggui Bang Hasan di gedung FEB. Entah apa yang merasuki diriku, hingga mengunjungi kantin dan meneguk minuman pahit berpemanis gula itu.
Dari jauh, sudah terlihat wujud dari mobil Bang Hasan. Mobil jazz putih yang sangat cocok dengan kepribadiannya terparkir di sana. Terlihat Bang Hasan juga berdiri di sisi luar pintu kemudi, sembari bersandar dan melipat satu tangan di dada.
Sebuah pemandangan nan mempesona, yang membuatku segera beristigfar, sebab Bang Hasan tidak lagi pantas untuk kukagumi, apalagi berharap bisa dimiliki.
Kudekati dia dengan guncangan hebat yang melanda jiwa, bagaimanapun aku merapal do’a juga usaha, tetap saja jantung ini berdebar dengan sendirinya. Semakin dekat kepada Bang Hasan, semakin keras juga debarannya.
“Sudah datang, Zahrah?” sapanya.
Canggung! Bang Hasan terlihat sangat canggung denganku. Lelaki itu menoleh ke sembarang arah, demi menghindari tatapanku.
“Iya, sudah! Kita bicara di mana? Tidak mungkin di parkiran begini, kan?” ujarku tulus. Sebuah keberanian yang besar telah kucurahkan untuk bisa berhadapan dengan Bang Hasan.
“Tentu! Kafe?”
“Tidak! Bagaimana dengan warung makan? Aku lebih nyaman di sana, Bang!” pintaku penuh harap.
“Baiklah, Zahrah! Abang setuju saja.”
Kulihat Bang Hasan melewatiku dan memutari mobilnya. Begitu dia sampai di sisi seberang mobil, Bang Hasan menarik gagang pintu mobil dan membukanya. Pemuda itu memandangi ke arahku dengan sebuah tatapan yang tidak kumengerti.
“Naiklah?!” pintanya.
“Tidak, Bang Hasan. Aku bawa motor ke sini, lebih baik pakai motor sendiri. Lagipula kita harus mulai menarik batas yang jelas sebagai saudara ipar, tidak baik berbagi mobil yang sama,” tolakku halus.
Tidak lagi terpikirkan dampak jika Bang Hasan akan tersinggung dengan ucapanku barusan. Hal terpenting saat ini, adalah menyelesaikan yang tertinggal, dan memastikan tidak ada lagi hal yang bisa dibahas antara aku dan Bang Hasan nantinya.
Kulihat Bang Hasan terdiam, dia kebingungan untuk bersikap. Ragu-ragu, Bang Hasan akhirnya menutup kembali pintu mobil dan memutari mobilnya sendiri.
“Ya sudah, kita bertemu di warung kesukaanmu, ya?” Akhir kata dari Bang Hasan sebelum pemuda itu merunduk masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan parkiran.
Sepeninggal Bang Hasan, kuhela nafas dalam-dalam hingga bahuku sedikit terangkat, lalu melangkah menuju motor matikku yang terparkir agak jauh dari parkiran mobil. Kuucapkan bismillah dalam hati, serta memohon kepada Rabbi, agar semua berjalan dengan semestinya.
--
Aku tiba di warung makan yang kusepakati dengan Bang Hasan setelah dua puluh menit perjalanan. Jalanan yang macet itulah penyebabnya, bahkan beberapakali ditahan oleh lampu merah yang cukup lama detiknya.
Meja yang berada di sudut warung, sudah ditempati oleh pemuda dengan kemeja biru cerah itu. Terlihat di meja, dua gelas jus jeruk, serta dua piring nasi uduk telah tertata di atas sana. Rupanya Bang Hasan sudah memesan, meski tanpa kuminta.
Posisi di depan Bang Hasan menjadi pilihan begitu aku berada tepat di meja tersebut. Bang Hasan sedikit mendongak menyambutku datang, lalu menata ulang sepiring nasi uduk dan jus jeruk agar lebih dekat denganku.
“Zahrah?” panggil Bang Hasan saat melihatku hanya duduk diam di depannya. Bahkan tidak menyentuh gelas jus jeruk yang sudah berembun.
“Jangan batalkan pernikahannya, Bang.” Sebuah kalimat yang meluncur dari bibirku setelah lama diam ternyata membuat kedua mata Bang Hasan membulat.
“Apa ini yang ingin kamu bicarakan, Zahrah?”
“Iya, ini yang ingin aku bicarakan, Bang,” jawabku tanpa berpikir. Semuanya sudah tertulis dalam sebuah naskah di kepala, serta semua kemungkinan jawaban tambahan yang akan kuberikan kepada Bang Hasan.
“Lalu bagaimana dengan perasaanmu?” todong Bang Hasan. Gantian, kini kedua mata ini yang membola. Tega sekali Bang Hasan bertanya segamblang ini padaku.
“Perasaan yang mana, ya?”
“Apa Abang harus menelfon Tya? Biar dia yang menjelaskan semuanya?” ancam Bang Hasan. Sejurus kemudian, ponsel mahal keluaran terbaru miliknya sudah terduduk di permukaan meja. Hal itu sukses membuatku banjir keringat dingin.
“Kenapa menyeret Tya dalam urusan ini?” protesku tidak terima.
“Karena dari Tya Abang tahu semuanya, Zahrah.”
“Tidak penting, Bang!” elakku lagi. Aku membuang pandangan dengan menatap embun yang mengalir jatuh di gelas. Setidaknya, aku tidak perlu memandangi paras Bang Hasan, agar lidah ini dengan mudahnya mengucapkan kebohongan.
“Lalu apa yang penting untukmu, Zahrah?” Bang Hasan terlihat gundah. Sepertinya dia juga tertekan membicarakan hal seperti ini dengan teman baiknya sendiri.
Sejenak kuhela nafas, pertanyaan Bang Hasan ini tidak ada dalam naskah yang sudah kucetak di kepala. Aku memutar otak dengan keras, agar bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab Bang Hasan.
“Zahrah?” Bang Hasan terlihat begitu tidak sabar, sampai memanggilku berulangkali.
“Pernikahan Anisya!” jawabku cepat, lalu menatap Bang Hasan.
Pemuda itu terdiam setelah melihatku memandanginya. Mungkin, Bang Hasan tidak pernah mengira, jika seorang Zahrah akan seberani ini, sebab selama ini dia mengenalku sebagai pribadi yang pendiam dan sangat tenang.
Sebenarnya, keberanianku itu didasari oleh sebuah rahasia. Keputusasaan! Itu rahasianya. Aku putus asa, juga patah hati. Aku tidak siap jika harus dibenci oleh Anisya, apalagi sampai dibenci oleh mamak. Lebih baik, mengorbankan perasaanku, lalu mengantar semuanya kembali ke jalan yang seharusnya, dengan tanganku sendiri.
“Apa kamu tidak menyukaiku seperti yang dikatakan oleh Tya?”
“Tidak, Bang! Semua itu sudah berlalu, sekarang, aku sudah menemukan lelaki yang tepat untukku. Di masa lalu, junior yang mengagumi seniornya itu hal yang wajar, bukan?” kataku sembari mengukir senyum. Sebuah senyum yang dipenuhi kepalsuan, sebab aku tidak pernah menganggap Bang Hasan sebagai senior, melainkan seorang lelaki dewasa.
“Siapa orangnya? Katakan, agar Abang bisa percaya dengan ucapanmu.”
Aku memutar bola mata, kehilangan arah untuk membela ucapanku sendiri. Sungguh, menyedihkan sekali diri ini. Bagaimana mungkin diri ini sembarangan menyebutkan nama seseorang? Bagaimana caraku mempertanggungjawabkan hal ini nantinya?
“Siapa, Zahrah? Kamu berbohong, kan?” tuntut Bang Hasan. Seakan diriku dihadapkan di dalam sebuah persidangan karena kesalahan besar yang aku lakukan.
Saat kesulitan besar itu mendera, ponselku yang sedari tadi diam memancarkan cahaya. Pesan chat yang baru masuk membuatku segera menemukan alasan untuk menjawab Bang Hasan, “Bang Zaky, kami mulai bertemu kembali, Bang,” jawabku dengan sejuta rasa bersalah.
Satu bulan setelah kebohongan besar itu, pernikahan Anisya dan Bang Hasan digelar. Tugasku sebagai anggota keluarga dari mempelai wanita terbilang cukup banyak, termasuk memastikan semua kerabat dan kenalan sudah diundang, juga membantu mamak memesan bahan makanan untuk pesta pernikahan.Umumnya, kami merayakan pernikahan dengan mengikuti adat traditional di Aceh, yang artinya pesta pernikahan akan diselenggarakan dua kali, sekali di rumah mempelai perempuan yang disebut dengan “preh linto” atau ngunduh mantu dari pihak perempuan, sedang lainnya adalah “intat darabaro” atau ngunduh mantu dari pihak lelaki.Tidak hanya bertindak sebagai keluarga dari darabaro “mempelai perempuan”, aku juga menjadi topik hangat untuk kerabat juga tetangga di sana. “Dilangkahi” itulah yang menjadikanku semakin terkenal.Setiap kali aku melintasi sanak keluarga atau tamu yang berkumpul, mereka selalu memandangiku, lalu berbisik s
Aku meninggalkan pintu depan rumah setelah membaca pesan tidak mengenakkan dari Anisya. Tepat di belakangku, Tya juga Wulan menyusul dengan wajah bingung. Keduanya saling melirik satu dengan yang lain, bertanya melalui sorot mata tentang alasan dari kepergianku yang tiba-tiba.“Mau kemana?” Terdengar Tya bertanya. Gadis itu sedikit sebal karena aku tidak kunjung berhenti berjalan.Sejujurnya, aku sendiri bingung harus melangkah kemana. Pesta pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan bagaikan sangkar besi yang mengurungku dari dunia luar.“Bisa jelaskan, Zahrah?” tuntut Tya yang diangguki Wulan.Aku bagaikan gadis linglung, hilang arah juga tujuan. Jemari-jemari yang mulai dingin ini perlahan memijat kening yang terasa berdenyut, sesekali menyeka pelipis yang basah oleh keringat.“Zahrah?” Aku masih diam meski mendengar jelas panggilan itu.“Kenapa berdiri di tengah lorong begini?” tegurnya
Setelah pesta kedua digelar di kediaman Bang Zaky, maka malam ini, Anisya ditemani beberapa kerabat akan menjemput Bang Zaky untuk tinggal bersama di rumah kami. Mengikuti tradisi turun-temurun yang berlaku di daerah ini.Anisya terlihat begitu anggun dengan gamis biru gelap yang merupakan seserahan dari suaminya. Gamis itu dihiasi ornamen kristal di bagian depan, serta selendang panjang yang jatuh dari pundak. Jilbab persegi yang menutup dada, juga riasan nan manis di wajahnya membuat gadis itu terlihat begitu menawan.Beberapa kerabat yang menemani, mak cik, mamak juga tetangga kiri dan kanan tidak kalah memukau dibanding Anisya. Penampilan mereka mengundang canda dari beberapa sanak saudara yang masih membantu pembersihan sisa-sisa pesta pernikahan.“Ini, yang darabaro-nya Anisya atau mamaknya?” Bang Jun berceloteh dari luar rumah. Kepalanya mendongak dengan wajah yang tersenyum lebar.“Kalau Hasannya mau, sama mak ciknya jug
“Apa maksudnya coba ngajakin kamu ketemu?” Tya mengomel dengan tangan yang sibuk mengendalikan setir kemudi.Mobil berjenis Agya milik gadis itu melaju santai membelah jalanan kota Banda Aceh yang padat dan panas. Keahliannya menyetir, memang sudah diakui hingga ke pelosok negeri. Sebab, saat kami bertemu di kampus untuk pertama kalinya dulu, Tya sudah jago menyetir. Wajar saja, gadis itu terlahir dari keluarga berada hingga dibelikan mobil sejak SMA.“Kalau aku tahu alasannya, ngapain susah-susah buat ketemu, Tya?” balasku yang duduk di kursi sebelah kemudi. Gadis itu dengan senang hati menjemput ke kampus meski tanpa kuminta. Menurutnya, jalan berbarengan jauh lebih efektif dan efesien, meski aku harus meninggalkan motor di parkiran kampus.“Bang Zaky enggak ngajakin kamu selingkuh, kan? Awas saja kalau ....”“Hei ... mulutnya direm, Bu. Awas nabrak beton, baru tau rasa. Ngapain juga Bang Zaky ngajakin aku selin
“Aku apa, Dek?” Bang Zaky, tidak sabar untuk bertanya.Bibir ini begitu kelu. Belum lagi otak yang terasa membeku.Bagaimana bisa aku menjawab permintaan Bang Zaky? Sadar jika sedang dilamar pun tidak. Baru kemarin kami bertemu, tiba-tiba pemuda ini memintaku menjadi bagian dari hidupnya?“Maaf ... sepertinya ini terlalu terburu-buru, Bang.”Hufh! Akhirnya terucap juga. Semoga setelah ini, labirin hidupku yang menyulitkan segera berakhir. Kulihat Bang Zaky kecewa dengan jawabanku, meski begitu tampak dia begitu memaklumi . Pemuda itu mengerjapkan mata kemudian mengusap tengkuknya agar terasa lebih nyaman.“Baiklah, tapi bukan berarti tidak untuk selamanya, kan?” harap Bang Zaky. Sontak saja aku kehabisan kata-kata. Mengira jika Bang Zaky akan berhenti bertanya, namun ternyata dia masih ingin menunggu.“Pantang nyerah ya, Bang?” Tya mulai ngedumel lagi.“Laki-laki h
Sebuah dosa yang tidak pernah kusadari, telah melemparku ke dalam jurang tanpa tepi. Di sinilah aku, bersemayamkan luka dan tangisan yang bisu. Menapaki sisa hari nan kelabu. -Zahrah Al-Humairah--Entah sudah berapa kali telapak tangan ini basah lalu mengering, kemudian basah dan mengering kembali. Kesedihan serta kesakitan yang merongrong, terus saja mengundang air mata meski tidak sempat mengalir di pipi.Seiring dengan semakin menuanya malam, pandanganku ikut buram lantaran selaksa air yang terus membasahi bendungan mata. Sesekali, isak tangis yang tersisa setelah meraung berjam-jam lamanya, menjadi nada baru di kamar yang bisu.Kutepuk dada yang tersiksa, lalu meneguk saliva yang mungkin sudah bercampur air mata. Menengadah tinggi-tinggi, agar pipi tidak lagi banjir, apalagi sampai membanjiri kamar milik sahabatku ini.Ya ... sesuai dengan ucapanku sore tadi, aku telah bermigrasi menuju rumah kos yang
Dahi ini sedikit mengernyit setelah mendengar penjelasan kikuk dari pemuda tersebut. Memang ucapannya tidak mengandung kebohongan, sebab di tangannya terdapat dua plastik yang berisi lontong sayur yang sama dengan milikku.“Tunggu sebentar, dua?” Aku mendelik seraya membatin, merasa curiga dengan plastik satunya lagi.“Apa mugkin untuk dirinya sendiri? Ah ... bisa saja untuk keluarganya di rumah,” monologku masih dalam diam. Tentu hal yang wajar membeli makanan lebih dari satu bungkus, mengingat aku juga melakukan hal yang sama untuk keluarga.Merasa dipandangi olehku, pemuda itu berjalan mendekat, sembari mengusap belakang kepalanya. Wajahnya berhiaskan rasa canggung, ditambah dengan gerak-geriknya yang ragu-ragu.“Orang baru, ya? Saya belum pernah lihat Kakak sebelumnya.”“Iya, saya tinggal di kost ujung lorong. Baru pindah kemarin,” jelasku basa-basi.Pemuda itu ikut melihat ujung jariku yan
“Anisya?” Aku hampir kehabisan kata saat melihat kedatangan Anisya ke kost-an Wulan.Dia datang dengan tangan yang mengepal serta raut wajah yang dikuasai kemarahan. Entah apalagi masalah yang terjadi di rumah, hingga Anisya meluapkannya dengan mendatangiku ke sini.Tidak sempat aku menyambut kedatangannya, Wulan sudah lebih dulu memasang barrier berlapis dengan menghadang Anisya dariku. Gadis itu merentangkan kedua tangan di udara, lalu memasang raut wajah siap bertarung.“Minggir, aku tidak ada urusannya denganmu!” cecar Anisya.“Ini rumahku, harusnya kamu yang minggir!” Wulan membalas. Keduanya mulai beradu tatap.“Biar aku yang hadapi, Wulan. Tidak apa, dia adikku,” pintaku pada Wulan yang dihadiahi sebuah senyum mencibir dari Anisya.Wulan melirikku yang berdiri di belakangnya. Pandangannya menjelaskan jika dia tidak setuju dengan keinginanku untuk berbicara dengan Anisya. Namun,