Share

Bab 3 Firasat

Dear diary.

"Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."

***

Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.

Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.

Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.

Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.

Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ayah.

"Dek. Kamu kok akhir-akhir ini hobi melamun. Ada masalah?" Teguran dari Kak Rania membuatku menoleh.

"Nggak, kok, Kak. Cuma lagi jenuh aja," jawabku asal.

"Nah, kalau gitu habiskan sarapannya supaya cepat berangkat. Kakak dengar ada banyak novel fantasi yang baru terbit. Apalagi kisah tentang, apa itu ww ...."

"Werewolf?"

"Nah iya itu," ujar Kak Rania dengan senyum mengembang.

"Beneran nih? Tapi Kakak yang bayar ya," ucapku antusias.

"Iya, nanti Kakak yang bayar," jawabnya yang membuat senyuman terukir di wajahku.

Seperti liburan bulan-bulan yang lalu, kakak akan membawaku berkeliling di toko buku. Kami biasa melakukan ini sejak SMP.

Awalnya kami pergi secara diam-diam. Namun, lama-kelamaan ayah dan bunda mengetahuinya. Kami sempat dihukum karena hal itu. Tapi tidak berlangsung lama karena Kak Rania kembali menemukan cara aman untuk melakukannya, meski dengan sedikit kebohongan.

Tapi kini semua itu sudah berlalu. Bunda dan ayah tidak pernah melarang kami lagi untuk membeli novel.

Di sinilah kami sekarang. Berada di antara rak-rak buku yang menjajakan novel-novel terbaru. Kak Rania sudah lebih dulu menuju kumpulan novel romansa, sedangkan aku berjalan menuju tumpukan novel fantasi.

Benar kata Kak Rania. Banyak buku-buku terbaru tentang manusia serigala.

Tanganku lincah mengambil buku-buku dengan tema kesukaanku.

"Aih, kenapa tadi tidak ambil keranjang, gini 'kan susah," gerutuku.

Kedua tanganku memegang setumpuk novel dengan ketebalan rata-rata tiga ratus halaman. Aku berjalan pelan karena novel di tanganku sedikit menutupi pandangan.

Hingga tanpa sadar, aku menabrak seseorang. Buku-buku berjatuhan dan berserakan di lantai.

"Maaf, saya tidak sengaja," ujarnya sambil membantu memungut novelku.

"Iya, nggak apa kok, salahku juga yang ceroboh."

"Ini bukumu."

"Ah, iya, terima kasih."

Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera berlalu. Ada rasa tidak nyaman berada di dekat lelaki itu. Bahasanya yang terlalu formal dan kaku membuat suasana semakin canggung.

Jika dilihat sekilas dia lumayan tampan dengan rambut dibelah rapi. Meski hanya memakai kaos biasa dan celana training panjang, dia terlihat manis.

Hus, apa-apaan otakku ini, dasar jomblo nggak bisa liat yang bening dikit!

"Dek, udah pilih novelnya?" tanya Kak Rania yang sudah berada di dekatku.

"Udah, Kak," jawabku seraya meliriknya yang membawa dua novel berwarna coklat susu dan biru muda.

"Ya, sudah, ayo ke kasir!"

Antrian cukup panjang membuat tanganku pegal karena buku yang ku pegang cukup berat. Kakakku tersayang sepertinya tidak ingin membantu sama sekali. Karena sekarang tangannya yang satu sedang sibuk berlarian di atas keyboard ponsel.

Aku dan Kak Rania sudah sampai di parkiran. Kami berniat mengunjungi toko es krim. Es krim adalah makanan yang tidak akan pernah dilewatkan saat kami pergi ke luar.

"Kakak sudah pesan tempat duduk biasanya 'kan?"

"Sudah kok, semuanya sudah beres."

Kami memang tidak pernah absen untuk ke toko itu setiap bulannya. Bahkan sang pemilik toko sudah sangat hafal dengan kami.

***

Kak Rania menghentikan laju mobil kami di parkiran toko. Bangunan khas anak muda dengan nuansa romance mendominasi. Namun, jangan salah sangka, bangunan toko tidak berwarna merah muda, melainkan biru muda yang sangat indah. Warna yang dipilih sangat mencolok dan membuatnya tidak pernah sepi pengunjung.

Tanganku terulur membuka pintu dan membuat lonceng berbunyi. Kami disambut senyum manis salah satu petugas yang berjaga di dekat pintu. Inilah yang membedakan kedai es krim yang satu ini dengan lainnya. Pekerja di sini sangat ramah dan murah senyum sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama.

Selain dari segi pelayanan, es krim di sini juga paling enak. Favoritku adalah coklat dengan saos stroberi dan taburan kacang almond. Sedangkan Kak Rania sangat suka dengan vanila bluberi.

Kami menempati meja paling dekat dengan panggung. Kedai es krim ini juga menyediakan panggung untuk orang-orang kreatif yang belum memiliki tempat untuk menyalurkan bakat mereka.

Alunan musik terdengar indah di telinga. Duduk berhadapan bersama Kak Rania sambil menikmati es krim adalah momen yang selalu kutunggu setiap bulan.

Kak Rania yang semakin sibuk membuat waktu kami bersama semakin jarang. Jadi, saat-saat seperti inilah kami bisa menghabiskan waktu bersama.

"Dek, nyanyi, yuk. Udah lama loh kita nggak duet," ajak Kak Rania.

"Nggak, ah, Kak. Pengunjung lagi rame banget. Anjani malu," tolakku.

Jujur saja aku tidak terlalu percaya diri dengan suaraku. Aku takut saat bernyanyi dan aku merasa bagus, tetapi nyatanya terdengar buruk di telinga orang lain.

"Ayolah, masa cuma duduk-duduk."

"Anjani nggak mau, Kak. Mending minta satu lagu aja ke mereka," jawabku sambil menunjuk sekelompok orang yang berada di atas panggung.

"Nggak, ah."

"Ya, udah, makan es krim aja, punya Kakak masih banyak tuh."

Akhirnya Kak Rania mengalah dan memilih untuk melanjutkan makannya. Kami menikmati es krim sambil sesekali membicarakan hal tidak penting.

Dari mulai kucing tetangga yang mati setelah semalaman terjebak di got, keisengan teman Kak Rania saat menangani pasien, dan masih banyak lagi.

Waktu terus bergulir, bahkan aku sudah menghabiskan dua porsi es krim. Kini senja mulai terlihat, memamerkan cahaya jingga yang menawan.

"Udah mau gelap. Pulang, yuk!"

"Ayo, Kak. Sebelum ada teror dari bunda," ujarku sambil tertawa.

Baru saja berucap ponsel Kak Rania berbunyi tanda pesan masuk.

"Bunda ya, Kak?"

"Iya, kamu balas nih, Kakak mau bayar dulu."

Aku dan Kak Rania sudah berada di dalam mobil dan siap melaju. Perlahan mobil bergerak meninggalkan pelataran kedai es krim tersebut.

Entah hanya perasaanku saja atau memang pertanda, aku merasa akan merindukan momen ini.

"Kak, cari penjual martabak dulu, ya," pintaku.

"Boleh, sekalian beli buat ayah sama bunda biar nggak diomelin," sahut Kak Risa sambil tertawa.

***

Kami sampai di rumah tepat pukul tujuh malam. Bunda sudah berada di teras menunggu aku dan Kak Rania.

"Bunda kok di luar, ‘kan Anjani udah bilang, kalau kita pergi jangan ditungguin pulangnya," ujarku saat sudah di dekat bunda.

"Kamu ini gimana, kalian itu anak gadis Bunda, mana mungkin Bunda nggak khawatir."

"Tapi kami udah besar, Bunda," protesku.

"Sudah-sudah, Anjani ini novelmu," lerai Kak Rania sambil memberikan kantong keresek besar kepadaku.

"Ya Tuhan, kamu abis merampok Kakakmu? Dasar anak nakal," ujar bunda dengan nada bercanda.

Aku sudah lebih dulu melarikan diri sebelum terkena cubitan cinta dari bunda. Kudengar suara tawa Kak Rania dari dalam. Namun, rasanya ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang akan hilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status