Share

Bab 2

Author: Isha
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar, yang memutuskan lamunan Kania.

Dia mendongak mendengar suara itu, dan tepat bertemu pandang dengan mata Sandi.

Melihat Kania duduk sendiri di meja makan, Sandi langsung melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas.

Dia mengernyit sedikit, nyaris tidak terlihat, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun dan langsung melangkah menuju lantai atas.

Tak ada sepatah pun kata sapaan dari awal hingga akhir, sikapnya dingin seperti orang asing.

Hati Kania terasa pedih, tapi dia tetap tidak tahan untuk memanggilnya.

"Om, makan malam ...."

Sandi tidak berhenti melangkah, suaranya sangat dingin.

"Sudah makan dengan Zita. Aku sudah bilang berkali-kali, kamu nggak perlu menungguku."

Kata-katanya tertelan oleh bunyi pintu yang tertutup keras.

Hati Kania ikut bergetar, matanya terasa pedih.

Dulu, Sandi tidak pernah bicara padanya dengan nada seperti itu.

Sandi tahu betul bahwa setelah kehilangan keluarganya, dia sangat takut sendiri, tidak suka makan sendirian. Bahkan ketika sibuk dengan studi atau pekerjaan, Sandi selalu pulang untuk makan bersamanya. Saat bepergian ke luar negeri pun Sandi selalu pulang secepat mungkin, khawatir dia tidak enak badan dan jatuh sakit.

Selama bertahun-tahun, tidak ada pengecualian.

Namun, sejak pertama kali Kania mengungkapkan perasaannya, segalanya berubah.

Sandi mulai menjaga jarak darinya, sering lembur atau pergi dinas untuk menghindari bertemu dengannya, dan tidak lagi memberinya kejutan atau hadiah. Sandi menarik semua perhatian istimewa yang pernah diberikannya.

Setelah Zita muncul, pandangannya terhadap Kania tambah dingin, seperti orang asing.

Kania tahu penyebabnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Dia hanya mengambil sendok, menyuap makanan yang hampir dingin dan menelannya dengan rasa hambar.

Satu meja penuh dengan berbagai hidangan, tapi hanya terasa pahit di lidah.

Setelah merasa cukup kenyang, dia merapikan semuanya dan berjalan menuju pintu kamar Sandi, mengetuknya perlahan.

Sandi membuka pintu dengan dahi berkerut, suaranya tidak terlalu ramah.

"Bukannya sudah aku bilang, kalau nggak penting, jangan ganggu aku?"

Kania menggigit bibirnya, jari-jarinya saling menggenggam.

"Om, aku mau pindah kamar."

Sandi terlihat agak terkejut sejenak, tapi dia segera melupakan masalah itu.

"Kalau mau pindah, ya pindah saja."

Kania mengangguk pelan, lalu diam-diam berbalik dan kembali ke kamar tidurnya.

Melihat jendela besar yang menghadap ke luar dan berbagai perabotan mewah, serta lemari pakaian yang penuh dengan pakaian dan sepatu, hati Kania sedikit bingung.

Kamar ini adalah kamar tidur terbesar dan paling terang di vila ini, dulunya adalah kamar Sandi.

Saat dia pindah ke rumah Keluarga Buwono, dengan sukarela Sandi memberi kamar ini padanya. Sambil mengelus kepalanya, Sandi berkata, "Kania adalah putri kecil kita, dia harus tinggal di rumah yang terbaik."

Sekarang dia akan pergi, Zita bisa saja pindah ke sini kapan saja.

Dia hanya anak angkat yang tinggal sementara, jadi apa haknya untuk menempati kamar utama yang seharusnya hanya untuk tuan rumah?

Makanya dia mengusulkan untuk menukar kamar, satu, supaya bisa memberi ruang, dua, untuk memeriksa barang-barangnya.

Keesokan siang, Kania sudah memindahkan semua barangnya ke kamar kecil di ujung lorong, yang dulunya adalah ruang kerja Sandi.

Setelah merapikan kamar, dia membawa berbagai dokumennya dan turun ke bawah, bersiap untuk mengurus visa.

Saat melewati ruang tamu, dia membungkuk sedikit untuk memberi salam, tidak seperti dulu yang selalu menyapa dengan antusias.

Sandi merasa risih dengan sikapnya yang lebih tenang dan diam itu.

Melihat Kania yang diam menunduk, berjalan keluar dengan hati-hati, dia merasa seperti ada yang berubah dari Kania, dan tanpa sadar memanggilnya.

"Di luar sedang hujan deras, kamu mau kemana? Mau aku antar?"

Kania terkejut sejenak, sudah lama dia tidak mendengar Sandi menawarkan untuk mengantarnya.

"Hari ini kan hari Natal, kamu nggak mau pergi berkencan?"

Kania bergumam pelan, dan Sandi tidak mendengarnya dengan jelas, lalu bertanya lagi.

"Apa?"

Tangan Kania mengepal, matanya menunduk.

"Kemarin aku lihat di berita, kamu membeli kalung berlian puluhan miliar di rumah lelang, pasti mau dikasih untuk Zita, 'kan?"

Sandi terdiam sejenak, dengan refleks menjawab.

"Itu mau aku kasih ke ...."

Bunyi bel pintu yang berbunyi tiba-tiba memotong kalimatnya.

Tak lama kemudian, Zita yang mengenakan gaun rajutan, dengan rambut panjang tergerai, dan riasan wajah sempurna, masuk dengan ceria, menggandeng tangan Sandi dengan manja.

"Sandi, aku punya hadiah Natal untukmu, tebak apa?"

Semuanya persis seperti yang dipikirkan Kania.

Dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum pahit.

Mungkin karena sudah memutuskan untuk pergi, mendengar mereka akan berkencan tidak lagi membuatnya sakit hati seperti dulu. Dia hanya mundur beberapa langkah memberi jalan.

Sandi juga tidak lagi memberikan penjelasan, dia menarik tangan Zita dan keluar, sambil mengajak Kania untuk ikut.

"Jangan pergi sendiri. Mau ke mana, biar aku antar."

Kania terkejut sejenak, lalu menjawab dengan patuh.

"Terima kasih, Om."

Kali ini, dia benar-benar mengucapkan terima kasih dengan tulus.

Dan benar-benar memanggil Sandi dengan sebutan "Om".

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rna 1122
ntar lakinya mewek
goodnovel comment avatar
Mualiza mualifa aminn
sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencintai dalam Diam   Bab 26

    Meskipun Keluarga Kurnia bukan dari kalangan pejabat atau pedagang kaya, mereka selalu dihormati di Jintara berkat warisan budaya literatur mereka yang sudah turun-temurun.Hingga generasi Zita, Keluarga Kurnia hanya memiliki satu anak perempuan, sehingga mereka membesarkannya dengan penuh perhatian, mencurahkan banyak sumber daya sejak kecil untuk memastikan masa depan cerah yang dapat mendukung keluarga.Untuk itu, Keluarga Kurnia secara khusus mengundang seorang maestro seni lukis tradisional yang paling terkenal di negeri ini untuk mendidik Zita sejak kecil. Dengan reputasi sebagai murid langsung dari Pak Jayadi, Zita berhasil menciptakan nama besar di dunia seni lukis meski usianya masih muda.Melalui Pak Jayadi pula Zita bisa mengenal Sandi.Ketika berita pertunangan mereka menyebar, Keluarga Kurnia sangat gembira, mengira inilah kesempatan untuk mencapai puncak kesuksesan.Namun, tidak sampai satu bulan kemudian, berita bahwa Zita diusir dari vila Keluarga Buwono menyebar luas d

  • Mencintai dalam Diam   Bab 25

    Setelah upacara pembukaan selesai, Kania mengantar keluarga tantenya keluar dari kampus, lalu berbalik menuju fakultasnya.Baru saja sampai di gerbang, dia mendongak dan langsung bertemu dengan sepasang mata yang sangat tidak asing.Entah kenapa, setelah sepenuhnya melepaskan perasaan itu, setiap kali bertemu Sandi, dia selalu merasa seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah oleh orang tuanya.Rasanya persis seperti saat dia diam-diam memberikan kalung ibunya kepada temannya dan ketahuan.Apakah ini yang disebut wibawa dari seorang senior?Bertemu langsung seperti ini, dia tidak mungkin berpura-pura tidak melihatnya. Dengan gugup, dia maju untuk menyapa Sandi."Om, kenapa Om ke sini?"Melihat matanya yang menghindar, hati Sandi terasa sakit.Namun, dia menekan gejolak emosinya dan berpura-pura tenang."Aku datang untuk melihat upacara pembukaan."Kania mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa lagi.Keduanya berjalan dalam diam, perlahan memasuki fakultas.Keheningan ini membuat Sand

  • Mencintai dalam Diam   Bab 24

    Sejak mengetahui bahwa Nona Kania bukan kabur dari rumah melainkan pindah ke luar negeri, dahi pengurus rumah selalu berkerut.Dulu, saat Nona Kania masih di sini, jika mereka melakukan kesalahan, masih ada yang membela mereka.Selama Nona Kania yang bicara, kesalahan sebesar apa pun, Sandi pasti akan memaafkannya.Karena sekarang dia tidak ada, yang menderita adalah para pelayan di bawah Sandi.Entah kenapa, Sandi belakangan ini tidak hanya murung, tetapi juga gemar mencari kesalahan.Juru masak tidak memasak bubur pagi, Sandi langsung marah besar. Juru masak yang panik hanya bisa buru-buru memasak sambil menggerutu. "Nona Kania nggak ada, Pak Sandi sendiri juga nggak suka bubur. Wajar dong, kalau nggak dimasak?"Tukang kebun memangkas dua pohon di halaman, gajinya langsung dipotong dua bulan. Tukang kebun itu berpikir keras, tetapi tidak mengerti. Bukankah dua pohon itu ditanam oleh Nona Kania, yang sebelum pergi terus berpesan agar sering dipangkas supaya bisa tumbuh tinggi? Apa yan

  • Mencintai dalam Diam   Bab 23

    Setelah tiba di Jintara, asisten yang pengunduran dirinya ditolak langsung datang menjemput Sandi dengan mobil.Setelah melewati peristiwa ini, asisten itu melihat banyak hal dengan lebih jelas. Sekarang dia bekerja dengan sungguh-sungguh, pikirannya hanya tertuju pada atasannya dan Nona yang pernah menyelamatkan nyawanya.Selama dua hari ini, ponselnya hampir tidak berhenti berdering karena masalah pernikahan yang dibatalkan. Namun, dia tetap tutup mulut, tidak mengungkapkan sepatah kata pun.Kini bosnya sudah kembali, beban dan tekanan yang dia pikul akhirnya bisa dilepaskan, membuat suasana hatinya jauh lebih baik.Satu-satunya masalah adalah suasana hati bosnya tampaknya tidak terlalu baik, sehingga dia menyampaikan laporan dengan nada yang sangat hati-hati."Pak Sandi, meskipun pernikahan telah dibatalkan, Nona Zita terus membuat keributan. Kemarin dia bahkan membawa barang-barangnya dan pindah ke vila, tinggal di kamar yang dulu dihuni oleh Nona Kania."Mendengar hal ini, Sandi l

  • Mencintai dalam Diam   Bab 22

    Kemala tidak bicara, hanya memandanginya dengan tatapan tajam.Malam musim panas yang terik membuat Sandi berkeringat dingin di bawah tatapan itu.Sandi mengira Kemala tidak mendengarnya dengan jelas, dan saat hendak bertanya lagi, Kemala akhirnya berbicara."Kania bilang hari ini hari pernikahanmu. Kenapa kamu ada di Zelandia? Pengantin pria nggak perlu menghadiri pernikahan sendiri, ya?"Nada suaranya terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya mengguncang hati Sandi seperti badai besar.Di bawah tekanan dan aura kuatnya, akal sehat Sandi yang sempat hilang akhirnya kembali."Pernikahan dibatalkan.""Kenapa dibatalkan? Apa karena mau menemui Kania? Apa Om Buwono tahu soal ini?"Kemala tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. Rentetan pertanyaan itu seperti butiran mutiara yang jatuh ke piring keramik, menimbulkan suara gemerincing.Setelah beberapa menit hening, Sandi akhirnya memaksa dirinya memberikan jawaban."Dibatalkan sebelum aku datang. Ini nggak ada hubunganny

  • Mencintai dalam Diam   Bab 21

    Setelah Kania membawa Liana pergi, Sandi duduk sendirian di ruang pribadi hingga langit gelap.Baru setelah pelayan masuk untuk membereskan meja dan dengan hormat mengatakan bahwa restoran akan tutup, dia membayar ganti rugi atas barang-barang yang rusak, lalu meninggalkan restoran itu dengan linglung.Dalam gelapnya malam, lampu jalan mulai menyala di mana-mana.Saat dia membuka ponselnya, ada lebih dari seratus panggilan tak terjawab dan 99+ pesan yang belum dibaca.Ada dari Zita, dari orang tuanya, dari teman-temannya, dan dari pembawa acara.Pembawa acara?Oh, benar. Hari ini adalah hari pernikahannya. Dia hampir lupa.Namun, ingat atau tidak, apa bedanya?Pernikahan ini pada dasarnya hanya pura-pura. Sebuah sandiwara yang diatur olehnya dan Zita untuk menghancurkan delusi Kania terhadap dirinya.Apa yang dia inginkan sudah didapatkan tanpa usaha berarti, jadi pernikahan ini tidak lagi diperlukan.Mengingat bagaimana selama dua bulan ini dia menahan rasa tidak nyaman, berpura-pura

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status