"Aduh, aku gak bisa tidur. Kepalaku pusing, pikiran kemana-mana. Hmm.. tolong aku, ibu." gumam Aurora sambil rebahan dan memegang ponsel.
Badannya terus saja berpindah ke arah kiri dan ke nanan. Lalu, sesekali ia peluk sikecil berharap dapat kehangatan. Sayang, kehangatan itu hanya sesaat. Dadanya justru dibuat sesak. Mungkin, karena efek menaiknya berat badan Aurora. Ia jadi mudah sesak saat berpelukan dengan posisi tidur. Namun, ada ide cemerlang yang tiba-tiba muncul di benaknya. Ia memutuskan tuntuk tidur di bawah lantai beralaskan selimut. Di sana, ia mulai dapat ketenangan. Akhirnya, sekarang ia bisa tertidur dengan pulas."Udah ah, tidur di sini aja. Lebih leluasa untuk bernafas." gumam Aurora yang tidur dengan arah menyamping ke kanan. Malam berlalu begitu cepat. Jam dinding yang terpampang di kamar sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Jika terhitung, Aurora baru tidur 2 jam sejak pukul 3 dini hari terlelap. Antony yang keheheranan melihat Aurora tiba-tiba tidur di bawah, hanya bisa tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. Lalu, ia angkat Aurora dan dipindahkan ke atas untuk tidur bersama Nakula. Padahal sudah dipindahkan dan dibalut selimut oleh suami, Aurora justru menghalau selimut itu. Ia lebih memilih tidur tanpa selimut dengan kaki terbuka dan mulut menganga. Lagi-lagi, Antonya hanya bisa menggelengkan kepalanya."Badan udah kaya gajah tapi kok cantik terus ya?" gumam Antony. Lalu, ia pergi ke luar kamar bersama Nakula yang ternyata ikut bangun. Tanpa tangisan, anak sekecil ini hanya meminta Antony untuk mengantarkannya ke kamar mandi. Katanya, ingin buang air kecil. Antony mengiyakan permintaan Nakula tanpa membangunkan Aurora. Kali ini Antony berusaha bersikap manis, mengingat ketelodarannya menghakimi Aurora tanpa kejelasan. Lantas, bagaimana dengan Bu Firah? Saat Antony mengantarkan Nakula ke kamar mandi sekaligus dirinya berwudu, ia bertemu dengan Bu Firah. Tentu saja, beliau menanyakan keberadaan Aurora. Entah, akan ada masalah apa lagi."Kok gak diantar Aurora. Dia masih tidur?""Iya, bu. Dari malam gadang kayanya.""Ah, masa gadang? Harusnya bangun aja, lagian sudah waktunya salat subuh.""Iya, biar nanti aku bangunin bu.""Hmm.. kebiasaan bangun siang terus. Udah, gapapa ibu aja yang bangunin!" Antony kebingungan saat itu. Ia membiarkan ibunya untuk masuk ke kamar. Sedangkan dirinya, fokus mengantarkan anaknya ke kamar mandi. Sudah pasti akan ada perselisihan yang tak ada habisnya. Demi menghindari perselisihan, Antony buru-buru salat subuh dan menghampiri mereka. Dan benar saja, Bu Firah membangunkan Aurora dengan menyipratkan air dingin di mukanya. Karena tak bangun-bangun, Bu Firah berniat menyiramkan segayung air dingin yang ia bawa. Hampir saja tumpah, gayung itu ditahan oleh Antony. Ia meminta ibunya untuk sabar dan membiarkan dirinya yang bangunkan Aurora. Hati kecil Antony ternyata masih ada rasa iba untuk sang istri."Udah, bu gapapa. Biar aku saja, pasti bakalan bangun.""Hmm.. yakin? Oh, iya tolong belikan sarapan nasi uduk ke warung depan." ujar Bu Firah sambil menghela nafas secara perlahan dan menyodorkan uang 200ribu kepada Antonya."Iya, bu. Habis ini mau ke luar bareng Nakula" Setelah ibunya tak terlihat lagi di kamar, Antnoty membangunkan Aurora dengan mengelus rambutnya. Sapaan manis berupa sayang, berusaha ia lontarkan dengan mulut terbata-bata. Tak berhenti sampai di sana, ia mencoba ubah posisi tidur Aurora menjadi duduk. Lalu, ia peluk sambil membisikkan kata,"Hmm.. sayang, bangun yuk udah siang. Waktunya salat subuh." Dan benar saja, Aurora bangun dan membuka matanya secara perlahan. Kemudian, melepas pelukan Antonya saat itu juga. Tanpa balasan, Aurora langsung bergegas ke kamar mandi untuk ambil wudu. Setelah istrinya bangun, Antonya mengajak Nakula untuk jalan pagi ke luar sambil membeli nasi uduk. Entah, apa yang terjadi di rumah? Sudah pasti, Aurora sibuk melanjutkan kegiatan rumah tangga bersama ibu mertua. Terlihat dari sudut jendela kamar, tadinya Aurora akan tidur lagi setelah salat subuh sambil mengenakan mukena. Namun, tak sempat karena dibangunkan kembali oleh Bu Firah. Terpaksa, hari ini Aurora tidur dengan waktu yang sangat singkat."Udah, ngapain tidur lagi? Bantu ibu masak dan nyuci. Masa kalah sama Antony, dia sudah bangun lebih awal dan bawa Nakula pergi cari sarapan.""Hmm.. iya, bu." jawab Aurora dengan senyum terpaksa dan sesekali menguap."Sebenarnya ibu bagus juga bangunin aku supaya gak tidur lagi setelah salat subuh. Tapi, ibu taku gak aku semalam kurang tidur? Lama-lama aku kabur juga dari istana duri ini!" gumam hati kecil Aurora. Sesuai perintah, Aurora ikuti saja perintah sang mertua dari pada melawan dan berujung pada pertikaian. Ia memasaak lauk gulai nangka, ayam goreng, dan kerupuk seorang diri. Sedangkan Bu Firah, hanya membuat sambal terasi. Sebenarnya, sah-sah saja dengan kegiatan ini. Memang, tak ada yang salah. Hanya saja menyatukan 2 perempuan dewasa dalam satu rumah adalah sebuah hal mustahil. Percikan api kecil pasti saja muncul diantara mereka. Saat jam dinding menujukkan pukul 11.30, masakan sudah matang. Tapi, jemuran di mesin cuci sudah menanti untuk dikeringkan. Sebelum melangkahkan kaki ke ruang loundry, Aurora sesekali membuak ponsel. Sangat kebetulan sekali, saat itu ada pesan yang masuk. Dan ternyata, pesan itu datang dari Ervin."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku. Sekarang, kita hanya sebatas teman satu almamater tanpa ada hubungan spesial. Tapi, aku masih peduli atas dasar kemanusiaan." Sementara itu, orang yang mengirimkan pesan tersebut sedang ngobrol dengan Neira. Pundaknya ditepuk, tepat saat Ervin mengirimkan pesan. Mana mungkin menolak, Ervin dengan senang hati menerima ajakan itu karena sudah terbiasa. Tak berdua, Ervin mengajak Naka untuk ikut mereka berdua. Tadinya, Ervin ingin menjajak Tio dan Nugroh. Sayang, mereka sudah dapatkan bekal spesial dari isitri mereka. Saat berjalan menuju kantin yang tak jauh dari kantor, Neira berkeluh kesah bahwa mobilnya mogok. Ia terlihat ketakutan jika harus pergi naik taxi online. Tadinya, Ervin menawarkan tumpangan padanya. Tapi, Naka mengalihkan pembicaraan untuk dialah yang akan mengantarkan Neira."Ekhem.. biar aku aja. Mau gak? Kan kita searah. Kalau Ervin, malah putar balik. Betul gak, broh?""Oh, iya. Ide bagus, bareng Naka aja ya?""Iya, iya, iya.." Neira memainkan matanya ke keiri dan ke kanan. Seolah-olah tak terima dengan ajakan Naka. Begitupun dengan Ervin, ia dibuat risau oleh kesalahan dirinya mengirimkan pesan ada Aurora. Memorinya terus saja berputar mencari cara untuk menghapus pesan yang tadi terkirim. Entah, apa yang Neira dan Naka obrolkan selama perjalan ke kantin. Jelasnya, Ervin hanya berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Hampir saja terlewat, Ervin ditarik oleh Naka untuk berhenti berjalan. Neira tak bisa membantu dan hanya bisa tertawa di depan kantin. Ia lebih memilih untuk memesan beberapa makanan untuk Ervin."Gue tahu, Ervin pasti suka bihun goreng spesial dan teh tawar. Gue pesen 2 deh, biar samaan." gumam Neira sambil melihat beberapa makanan yang terpampang di etalase.Bersambung.."Kenapa gue gak dibeliin?" tanya Naka."Sorry, gue gak tahu lo suka pesan apa.""Hmm..""Thank you ya, Ra. Biar gue aja yang pesan dan bayar. Lo suka soto mi dan lemont tea kan?""Yap" Tanpa diarahkan, Neira dan Naka duduk di kursi terlebih dahulu. Sedangkan Ervin, memesankan makanan untuk Naka. Lalu, ia duduk kembali ikuti meja mereka berdua. Di sini, posisi duduk Naka dan Neira berdampingan. Sedangkan Ervin, bersebrangan dengan Naka. Mereka kembali mengobral obrolan tentang rencana pergi ke Amerika bulan depan. Kedengarannya bagi Neira dan Naka mustahil untu pergi kesana. Mereka menuturkan bahwa tabungannya gak bakalan cukup dengn waktu yang terlalu singkat. Akhirnya, mereka berdua hanya bisa ucapkan selamat untuk Ervin."Iya, bener juga ra. Kayanya tabungan gue juga gak bakalan cukup buat pergi kesana.""Hmm.. ikut-ikutan. Kemarin yang ngebet siapa, sih?""Ya, kali aja bisa bobol tabungan nikah.""Nikah sama siapa, broh? Gak bilang-bilang.""Ada, deh.. rahasia." Tak
"Sa-saya tidak tinggal sendiri, pak. Kebetulan saya tinggal di rumah saudara saya.""Masa sih? Minggu lalu saya lihat postingan kamu dan orang kantor makan di apartemen kamu kan?" tanya bos itu semakin mendekat."Beneran, pak" Neira mengelak. Selang setelah penolakan itu, ponsel milik sang bos berdering. Entah, ada panggilan dari siapa. Jelasnya, ia memperbolehkan Neira pergi dari ruangan itu. Tentu saja, Neira merasa lega dan langsung membalikkann badan. Ia bergegas pergi dari ruangan kedap suara dengan lampu remang-remangnya. Di luar, ternyata masih ada Ervin yang masih menunggu. Ketika Neira keluar, Ervin hanya sibuk memainkan ponsel. Lalu, disapa dengan tepukan pundak oleh Neira. Hampir saja ponselnya jatuh, beruntung bisa diambil kembali oleh Ervin sendiri."Aduh, bikin kaget aja! Lagi asyik main game juga" ujar Ervin sambil memeluk ponselnya. "Iya, iya maaf. Lagian dipanggil gak nengok terus.""Hmm.. ngapain lama baget di dalam?""Panjang ceritanya, Vin. Geli deh.." j
"Aduh, kamu gak sekali bilang kaya gitu. Ibu bosen dengernnya" ujar Bu Firah sambil menatap tajam Aurora. "Ya, gimana. Bukannya tugas laki-laki itu mencari nafkah untuk keluarganya? Bu""Kamu sekarang mulai berani sama saya, ya. Begini, cantik. Hal itu hanya berlaku untuk pria serba kekurangan dan tidak tinggal bersama orang tuanya.""Rumus dari mana itu, bu? Kita sudah modern""Ya, tahu sendiri. Masa iya ibu tinggal sendiri?" Ditengah percakapan sengit itu, ponsel Bu Firah berbunyi. Ia menatap ponsel itu dan panggilan itu datang dari Antony. Sambil menyerahkan Nakula kepada Aurora, ia membalikkan badan dengan tatapan sinis. Lalu, bicara empat mata dengan anaknya, Antony. Aurora yang saat itu duduk menemani Nakula main hanya bisa diam tanpa sepatah kata. Sambil menahan riuh kepala yang mulai bosan dengan segala rutinitas tanpa perubahan. Terdengar jelas, Antony rupanya menanyakan keberadadan Aurora kepada sang ibu mertua. Aneh, kenapa tidak menelpon langsung kepada Aur
"Gini, katanya perusahaan ini akan pindah tangan ke bos yang baru. Entah siapa orang itu." ujar Neira dengan mata terbuka lebar, seolah ini adalah gosip yang berisi data sekaligus fakta."Wah, bagus dong?! Kamu selamat dari jerat incaran istri kedua.""Eh, bukan gitu dong. Nasib gue gimana? Bulan depan mau ada acara ke kantor yang ada di New York. Masa iya sama bos baru? Takutnya nanti bakalan ada peraturan baru atau bahkan diganti oleh orang baru juga" tanya Ervin yang keheranan. "Tenang, Vin. Gak bakalan ngefek, kok." saut Nugros. Mereka berempat masih saja duduk bercengkrama kesana-kemari. Tanpa mempedulikan beberapa pekerjaan yang mungkin belum selesai. Ditengah riang canda campur gosip itu, tatapan Naka hanya terfokus pada senyum manis Neira. Hatinya berkecamuk ingin nyatakan cinta, sayangnya ini bukan waktu yang tepat. Sebaliknya, Neira hanya fokus bicara sambil sesekali nyender di pundak Ervin. Dan sisanya, adalah Tio dan Nugros yang tertawa lepas. Mereka mungkin tahu, ad
"Aurora, sini dulu duduk bareng kita. Ibu mau bicara penting" ujar Bu Firah."Oh, iya bu sebentar." Aurora menyimpan beberapa kantong kresek berisi makanan di meja ruang tamu. Sementara itu, Nakula dibawa pergi oleh Antony. Tanpa minta izin atau bicara sepatah kata, Antony mengambil keresek itu untuk di bawa ke dapur. Terlihat dari balik pintu menuju dapur, Antony rupanya membuka kresek itu dan mengambil salah satu jamuan makan malam untuk Nakula. Lalu, ia menyuapinya makan dengan lahap. Sambil sesekali berbincang kesana-kemari tentang apa yang ditemui Nakula bersama ibunya tadi di jalan. Terlihat hangat, tapi tak sehangat obrolan Bu Firah dengan menantunya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, beliau sudah menjamu menantunya dengan wejangan menyakitkan bagi Aurora. Mungkin, hal tersebut bagi orang tua pada umumnya sudah biasa karena terlalu sayang pada anak laki-lakinya."Kamu tadi sudah dengar obrolan ibu dan Anotny kan?""Iya, bu sekilas aku sudah menangkap.""Bagus, tapi a
"Hmm.. okedeh, pak!"Tanpa berpikir panjang, Neira langsung menandatangani selebaran yang diberikan oleh Pak Adam. Padahal, dari tadi ia hanya diam dan bengong. Tapi, setelah mendengar kata pernikahan dengan Ervin, semangatnya justru bergejolak. Sayang, perasaannya itu mungkin bertepuk sebelah tangan. Ervin beberapa kali mengajukan sanggahan untuk menggunakan cara lain. Atau bahkan, memintanya untuk memberi waktu untuk berfikir panjang. Apalagi, tentang pernikahan kontrak yang diikat tanpa cinta. Saat Neira selesai menandatangani surat itu, Ervin menahanan tangannya. Lalu, disuruh untuk menjaga berkas itu dan jangan dulu diberikan kepada Pak Adam. Lalu, Neira hanya bisa diam dan tertunduk lesu."Bisa gak kasih saya dulu waktu, pak?" tanya Ervin dengan tatapan sayu penuh harap."Gak bisa, vin. Ini satu-satunya jalan terbaik. Emang kamu punya cara apa supaya perusahaan tetap dalam genggaman saya?""Hmm.. sebentar, pak!""Udah mepet, buat berpikir ulang. Pasti kita bakalan kalah.
"Hmm.." Aurora hanya bisa diam dan menunduk."Kamu tahu kan? Perusahaan itu sebenarnya milik keluarga dan pernah ibu beli. Tapi, dibiarkan begitu saja karena kesalah pahaman. Wajar dong ibu rebut kembali dan aku naik jabatan langsung dengan gampang?""Iya, mas""Kamu juga pasti senang bukan punya suami kerja bukan pengangguran lagi?""Iya, mas.""Nanti kamu akan kuajak jalan-jalan keliling luar negeri. Bila perlu, kamu kuliah lagi gimana?""Iya, mas.""Kamu mau aku suapin pisang gorengnya gak?""Iya, mas." Apapun pertanyaan yang diadjukan oleh Antony, selalu dibalas dengan kata iya mas. Hal tersebut membuat dirinya kesal dan mungkin merasa bersalah. Beruntung, Aurora tidak menolak suapan Antony. Ia hanya merasa tak enak dengan ejekan sang suami yang mengatakan bahwa dirinya hanya lulusan SMK. Ya, Aurora belum pernah sempat kuliah atau bahkan bekerja. Melainkan, ia langsung menikah dengan Antony. Bayangan kata-kata itu baginya menusuk hati. Apalagi, segala ucapan atau pendap
"Lagi apa tuh? Berduaan aja?" tanya Nugros yang baru saja datang ke kantor. Lalu, duduk dan mengecek beberapa berkas-berkas yang mungkin akan ia kerjakan. Bukan hanya Nugros, Tio dan Naka pun datang mengikuti Nugros. Sejak teman-teman berserta rekan kerja lainnya datang, Ervin dan Neira lebih memilih diam tanpa kata. Seolah-olah tak peduli dengan mereka. Kemudian, melanjutkan rutinitas kerja lebih awal. Naka yang dari tadi menatap Neira dari jauh hanya bisa mengelus dada. Rasa cemburunya masih tersisa. Sayang, rasa cemburu itu hanyalah semu yang sia-sia untuk ia ungkapkan."Nei, kalau lo bahagia dengan Ervin gue ikut bahagia. Tapi, jika suatu saat dibuat kecewa, gue siap pasang badan buat lo. Tolong, dengar isi hati gue Nei." gumamnya. Dari pagi hingga teriknya panas sinari bangunan tempat mereka kerja, nampaknya terlihat biasa saja. Tak ada gurauan, gosip, atau pun berita yang ada. Namun, pemandangan biasa itu tak biasa bagi Ervin dan Neira. Mereka berdua jarang berbicara