"Kenapa gue gak dibeliin?" tanya Naka.
"Sorry, gue gak tahu lo suka pesan apa.""Hmm..""Thank you ya, Ra. Biar gue aja yang pesan dan bayar. Lo suka soto mi dan lemont tea kan?""Yap" Tanpa diarahkan, Neira dan Naka duduk di kursi terlebih dahulu. Sedangkan Ervin, memesankan makanan untuk Naka. Lalu, ia duduk kembali ikuti meja mereka berdua. Di sini, posisi duduk Naka dan Neira berdampingan. Sedangkan Ervin, bersebrangan dengan Naka. Mereka kembali mengobral obrolan tentang rencana pergi ke Amerika bulan depan. Kedengarannya bagi Neira dan Naka mustahil untu pergi kesana. Mereka menuturkan bahwa tabungannya gak bakalan cukup dengn waktu yang terlalu singkat. Akhirnya, mereka berdua hanya bisa ucapkan selamat untuk Ervin."Iya, bener juga ra. Kayanya tabungan gue juga gak bakalan cukup buat pergi kesana.""Hmm.. ikut-ikutan. Kemarin yang ngebet siapa, sih?""Ya, kali aja bisa bobol tabungan nikah.""Nikah sama siapa, broh? Gak bilang-bilang.""Ada, deh.. rahasia." Tak lama setelah itu, pesanan mereka datang. Kini, meja pun dipenuhi oleh aneka makanan dan minuman. Diawali dengan doa, mereka langsung dengan lahap menikmati sajian makan siang. Panasnya suasana Jakarta terhalang oleh tegukan air minum yang melegakan. Di saat nikmatnya minum melewati tenggorokan, panggilan video masuk ke ponsel Naka. Ternyata, ada panggilan dari Tio. Sepertinya, ia mau nitip dibelikan makanan."Lagi makan dimana?""Di kantin biasa. Kenapa?""Pengen nitip beliin usus krispi yang pedas, bisa kan?""Hmm males keluar, broh. Ini lagi makan di kantin kantor, kok.""Ada kok di sana juga, jalan deket. Bukan di luar. Ya, bisalah ya? Itu Biar sensasi makannya berempat. Bukan bertiga.""Apaa sih, broh sama aja.""Biar gak ada syetan, biasanya yang ketiga syetan.""Waduh, siapa syetan?". Naka melirik ke arah Ervin."Eh, apa? Gue manusia.""Hahaha," tawa receh mereka terdengar oleh pengunjung lainnya. Apa boleh buat, Naka mengiyakan permintaan Tio untuk membeli camilan itu. Sebelum kesana, tentunya mereka habiskan makanan terlebih dahulu. Lalu, kembali berjalan menapaki toko camilan ringan yang diarahkan oleh Ervin. Beberapa kali mereka berputar dan mencari keberadaan toko camilan terkait, ternyata tak ada. Naka mencoba untuk menelpon temannya itu untuk kepastian lokasi, tapi tak diangkat juga. Sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 12.50 Jam istirahat sudah hampir habis. Hingga akhirnya, Neira menyarankan untuk mebeli camilan yang setara. Katanya, makanan seperti itu juga sebenarnya ada di warteg alias kantin tadi. Tinggal pesan aja."Terus kita putar arah lagi, gitu?" tanya Ervin"Ya gapapa, sekalian balik ke kantor. Ini udah kejauhan.""Yaudah, kalau gue ikut aja. Daripada dapat SP." Entah, makanan seperti apa yang dimaksud oleh Neira. Ervin pun keheranan. Memorinya berputar dan menyingkirkan ingatan Aurora. Tanpa perlu menunggu lama, Naka pun memesan camilan itu dengan arahan Neira. Makanan yang dimaksud oleh Neira ternyata adalah usus balado ayam. Sejenis lauk nasi dengan kuah balado yang pedas. Ervin dan Naka hanya bisa tepuk jidat. Mereka memasrahkan keputusan itu demi tidak telat masuk kantor. Lalu, mereka pun dengan sigap jalan cepat menuju meja kerja."Kok usunya lembek gini? Mana usus krispinya?""Gak ada, broh jauh. Harus keluar kayanya." Tio hanya bisa menepuk jidat. Sedangkan Nugros, tertawa terbahak-bahak. Memikirkan bagaimana cara ngemil usus balado yang empuk tanpa nasi. Enak gak ya? Sementara itu, kehangatan pun terjadi diantara Aurora dan Antony. Termasuk anak semata wayangnya, Nakula. Mereka rupanya sedang jalan-jalan ke salah satu mall di kota Malang untuk nonton di bioskop. Di sini, terlihat Aurora sedang duduk di salah satu kursi kedai ramen. Ia memesan beberapa makanan dan camilan untuk suami juga anaknya. Sambil menuggu, Aurora dan suaminya saling mengutarakan perasaan."Maafkan aku yang kemarin, sayang. Aku terlalu dibakar api cemburu. Aku tahu, ini hanya salah paham." ucap Antonya sambil menarik tangan kanan Aurora dan mengelusnya terus menerus."Iya, gapapa. Aku maafin kok, mas.""Ayah, lepas tangannya. Tangan mamah hanya boleh dielus aku!""Hahaha, ampun bang! Nih, gantian" Canda tawa mulai hiasi wajah mereka. Tak lama, pesanan mereka pun datang hingga akhirnya memenuhi meja makan. Karena ini momen bahagia, Aurora mengabadikannya dalam bentuk foto dan video. Lalu, ia posting di f******k. Kemudian, Aurora, suami, dan anaknya terdiam dan hanya terdengar suara seruput mi yang menggoda selera. Hangat rasanya jika suasana seperti ini. Terlihat seperti keluarga utuh nan bahagia. Lalu, mereka pun kembali berjalan menuju area bioskop sembari ngantri dengan pengunjung lainnya.Selama menonton di bioskop, tangan Antony tak pernah lepas dari Aurora. Ia terus saja menggenggam erat tangan kanan Aurora. Padahal, di kursi tengah itu terhalang oleh Nakula. Sesekali, mereka saling bertatapan. Sedangkan Nakula, terlelap tidur tanpa memerhatikan jalannya alur cerita. Baru setelah 90 menit berlalu, ia terbangun."Udah selesai belum, mah?""Sebentar lagi, nak. Yuk, nonton filmnya sampai selesai." Tak terasa, tontonan di bioskop itu berlangsung sampai pukul 19.30. Berbeda dengan Anotony dan Aurora, Ervin justru menyambut malamnya dengan lembur di kantor. Tak sendiri, ia juga ditemani Naka, Neira, bos, dan beberapa pegawai lainnya. Untuk menjeda lelahnya mata, Ervin menyempatkan diri untuk membuka akun sosial media. Salah satunya, f******k. Ya, mungkin bakalan ada ide cerita muncul dari kegalauan para pengguna f******k. Tepat saat membuka beranda, postingan Aurora dan suaminya muncul. Terlihat sangat hangat dan romantis. Tak ada raut sedih atau pun tangis yang terpampang. Termasuk, senyum manis dari Nakula yang menggemaskan."Hmm.. agak nyesek sih, tapi aku ikut senang. Aurora masih bisa bahagia dengan keluarga kecilnya. Semoga kehangatan keluargamu itu tetap abadi. Jika kamu hidup denganku, belum tentu bisa buatmu tertawa seperti ini." gumamnya sambil menekan tombol like di postingan Aurora. Saat ia termenung menatap postingan Aurora, tak lama datanglah Neira dengan rambut yang sudah diikat kuat. Mungkin, ia sudah mulai pusing dengan setumpuk tugas yang sudah ia kerjakan. Ia menepuk pundak Ervin dan menawarkan kopi untuk menemani lembur malamnya. Karena kaget, ponselnya jatuh ke lantai. Untung, ponselnya tak mengalami kerusakan sama sekali."Apaan, sih? Bikin kaget aja." ucap Ervin sambil mengelus-ngelus ponsel."Hehe, sorry. Mau kopi gak? Ini gue mau bikin soalnya.""Boleh, ra.""Gue juga, ya!" teriak Naka dari kejauhan."Ekhem.." suara bos menyela obrolan mereka. Karena tak enak, Neira langsung balik badan dan bergegas ke dapur kantor. Lalu, membuat 3 gelas kopi susu yang hangat. Bunyi adukan sendok terdengar oleh atasan kantor. Ia juga meminta Neira untuk membuatkan kopi hangat untuknya. Tapi, dengan sajian tanpa susu. Neira yang mendengar arahan, hanya bisa menganggukan kepala. Kemudian, mengambil gelas lagi demi racikan kopi lainnya. Sementara itu, atasan yang terlihat beruban dengan badan tegap itu pergi meninggalkan area ruang kerja pegawai. Ia memilih pergi ke ruang kerja pribadinya."Bos mana, vin? Ini gue mau anterin kopi."Balik lagi ke ruangan biasa.""Anter gue dong ke sana, bisa?""Hmm.. gue lagi sibuk.""Ayolah, vin bantu gue. Takut banget diapa-apain""Hmm.. gak boleh berburuk sanga, lho. Ini bukan sinetron." Meski menolak, Ervin mengantar Neira menuju ruangan yang ruang atasannya. Tak sampai ke dalam, ia hanya bisa menunggu dari luar. Di sana, ia berdidiri sambil sesekali menatap jam dinding yang terpampang. Sementara itu, Neira yang di dalam hampir dibuat gugup oleh pertanyaan nyeleneh dari atasannya. Tepat saat kopi itu sudah disimpan di meja, ia dipanggil kembali. dengan obrolan yang menggiurkan. Lalu, diperkanan untuk duduk terlebih dahulu agar pesannya tersampaikan.Ternayata, pesannya menggiurkan. Neira ditawari untuk promosi jabatan. Namun, dengan syarat yang tak masuk akal sama sekali."Mau gak? Tapi, saya boleh minta alamat kosanmu atau apartemenmu?""Buat apa, pak?""Ya, nanti kita diskusikan berdua di sana aja."Bersambung.."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k