"Udah terima aja, ra. Ibu udah terlanjur boking" ujar Bu Firah dengan nada suara datar. Aurora hanya bisa terdiam dan menelan ludah. Ia tak bisa lagi mengelak dan menerima keputusan ini dengan lapang. Sementara itu, Antony sibuk membersihkan piring seolah tak peduli. Aurora tak enak dengan perlakuan suami di depan mertua, ia ikut membersihkan meja makan. Sisanya, Nakula dibawa main ke ruang depan bersama Bu Firah. Sudahlah, tak ada yang harus diperdebatkan. Saat masa senggangnya sebelum pemberangkatan, Aurora menyempatkan diri ke kamar sebentar. Lalu, membuka ponsel dan memencet tombil hijau. Di sana, ia ingin mengabarkan pada ibunya bahwa dirinya akan pindah ke Jakarta.Tuut..Tuut.. Nomor yang anda tuju, sedang dialihkan. Silahkan tunggu beberapa saat lagi. "Padaha kan telpon biasa, kenapa nomor ibu gak aktif" tanya hati kecil Aurora. "Hmm.. apa mungkin hpnya lagi di charge, ya?" lanjutnya sambil menatap cermin. Tak berhenti sampai di sana, ia mencoba hubungi ayahn
"Kamu lagi dimana, vin? Angkat, dong!" gumam Neira sambil komat-kamit menatap layar ponsel. Beberapa panggilan, tak juga ia angkat. Jawabannya masih sama, nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan. Sementara itu, ibunya terus saja bertanya-tanya karena ingin ngobrol dengan calon menantu. Dengan tatapan penuh harap, ibunya itu sesekali terseyum kecil. Menatap anak sulugnya itu akan menjadi istri orang. Besar harapan beliau untuk anaknya hidup bahagia di pernikahannya."Sorry, ra. Gue kebetulan langsung nemplok depan leptop. Sat ini gue gak bisa ngobrol, energi gue juga habis baru telponan sama keluarga." datanglah pesan dari Ervin."Oh, gitu ya? Yaudah, vin.""Kalau besok kayanya bisa, ra. Sekarang lo istirahat dulu aja." Sementara itu, ibunya masih saja duduk di kursi sambil menunggu kepastian. Lalu, Neira datang menghampirnya untuk duduk bersama. Mendengar penjelasan Neira, beliau bisa menerima. Tak langsung pergi meninggalkan ruangan, ponsel Neira berdering. Sa
"Ada apa, mas?" tanya Aurora saat pintu lift tertutup. Suaminya itu hanya diam dan menghela nafas pendeknya. Tanpa jawaban, ia hanya gelengkan kepala. Mungkin, itu hanya sebuah pandangan kabur karena dia sudah lelah dan inginkan tidur. Sementara itu juga, Ervin sedang duduk di salah satu kedai warun pecel lele dengan tenda biru dan lampu pijar. Disana, ia memesan bihun goreng lengkap dengan teh tawar hangat. Meskipun mulutnya sibuk menguyah makanan, tapi memorinya pergi ke arah jalan pernikahan. Ia belum sempat membicarkan kepada Neira, akan tinggal dimana setelah menikah?"Aduh, nanti kalau udah nikah tinggal dimana ya? Apa pisah aja, ya? Jangan serumah." gumamnya sambil menyeruput teh. "Hmm.. tapi, Neira mau gak ya? Ah, jelas wajib gue paksa. Lagian gue juga ogah-ogahan nikah sama dia. Hambar rasanya kaya teh ini." ia lanjut bergumam. "Gini ya, kalau misalkan gue tinggal di apartemennya atau bahkan rumah orang tuanya, pasti bakalan banyak yang menggoda. Hal kaya git
"Wah, cantik banget dan bahenol lagi. 11 12 sama Aurora, sih!" gumam Antony sambil menahan senyumnya."Iya, saya sendiri. Temui saya di kantor pukul 10 siang" balas Antony di pesan itu. Mereka pun kembali berbincang. Dengan seteguk teh manis dingin, orang itu menutup percakapan untuk izin pulang lebih awal. Dan tersisa tinggal Bu Firah dan Antony. Tak lama setelah kepergian pria tadi, datanglah Aurora. Ia sangat kepo dan penasaran dengan apa yang dibahas tadi. Tanpa basa-basi, ia duduk dan mencicipi sedikit camilan. "Tadi bahas apa, mas?""Biasa, kerjaan." saut Antony."Udah, ya. Ibu tidur duluan, ngantuk." sela Bu Firah. Bukan hanya Bu Firah, Antony juga sepertinya terlihat bosan untuk menjawab pertanyaan Aurora. Ia hanya menjawab beberapa pertanyaan seadanya. Sambil merebahkan badan di sofa, ia meminta istrinya itu untuk tampil lebih cantik karena esok mulai kerja. Lalu, pria yang disebut suami Aurora itu ngulet dengan ponsel di tangan. Aurora mencoba mendekati sang
"Ervin dimana ya? Katanya mau beli kopi doang kok lama bisa sampai 1 jam?" tanya bude sambil berjalan mondar-mandir. Bukan hanya beliau, beberapa sanak keluarga yang lain pun mulai risau. Mereka bingung apakah pernikahan ini jadi atau tidak? Segala cara mereka lakukan, termasuk menyusul ervin ke kantin bawah. Ketika disusul oleh salah satu pamannya, ia tak melihat batang hidung Ervin sama sekali. Sesekali bertanya pada salah seorang penjaga warkop dan ia menjawabnya dengan gelengan kepala."Serius gak ke sini sama sekali? Orangnya tinggi mungkin 178-an, mengenakan jas hitam, kemeja putih, celana hitam panjang, dan sneaker hitam. Mana mau akad nikah lagi, mbak" Paman Ervin kembali naik ke atas menyusul keluarga yang lain. Di sana, budenya mulai ambil langkah untuk menghubungi Ervin. Tanpa diduga, terasa getaran ponsel di sofa yang ia duduki. Ponsel itu tak lain milik Ervin. Terlihat beberapa panggilan tak terjawab dari calon mempelai wanita, Neira. Di sana, beliau langsung
"Hmm.. boleh, pak" jawab Ibu Neira dengan wajah ketus. Ia duduk sambil menoleh ke arah beberapa orang yang juga duduk mengelilingi area meja akad. Kini, akad pun siap dilaksanakan. Tapi, sebelum akad itu berlangsung, Ervi diarahkan ke tim MUA untuk menggantikan baju yang dipakainya. Sementara itu, Neira hanya duduk di kursi tempat akad sambil sesekali menghela nafas. Berharap ini adalah akad yang nyata. Bukan sekadar nikah dengan perjanjian di atas materai. "Jadikan pernikahan ini nyata. Ya Allah" gumamnya sambil tertunduk. Tak lama, datanglah Ervin dengan pakaian baru yang memiliki warna senada dengan Neira. Yaitu, nuansa putih dengan aksen bunga di jas hitamnya. Ditengah teriknya hawa siang bolong, keringat Ervin turut basahi dahi. Mulutnya yang tadi kaku, harus dibimbing ucapkan akad nikah. "Sa-ya terima nikah dan kawinnya, Nei-ra Mustika binti Fatoni dengan maskawin tersebut di-bayar tunai""Bagaimana para saksi, sah?""Sebentar pak, itu kayanya belum sah. Akad
"Ehhh.." Neira dan Ervin melepas pelukan mereka secara refleks. Ibu Neira datang tanpa kode apapun. Hanya dengan mendengar suara langkah kakinya, ternyata bisa membuat mereka berdua kaget. Padahal, malam itu Wanita berumur 51 tahun ini berjalan dengan pandangan kabur menuju dapur. Di sana, ia duduk di kursi meja makan sambil meneguk segelas air.Gluk.. gluk.. gluk"Ah, segar. Kenapa kalian belum masuk kamar?""Hehe, belum bu. Ini baru mau masuk kamar.""Oh, hmm.. Neira, jaga diri ya!" Sesuai arahan, mereka pun masuk ke kamar masing-masing. Malam pertama yang harusnya dinikmati oleh pasangan suami istri itu sirna. Neira yang banyak berharap pada ciuman pertama Ervin, hanya bisa tertunduk lesu. Ia menyempatkan diri menatap beberapa foto yang sempat diabadikan tadi siang. Matanya berbinar penuh harap. Pernikahan itu tetap berlangsung meski secara siri terlebih dahulu. Lalu, ia menghadap ke arah tumpukan kado dan mengambil salah satu kado seserahan dari keluarga Ervin. Di
"Aku harus pulang cepat, ya. Makasih buat hari ini." ucap Antony. Lalu, dia mengemas beberapa barang untuk ia masukkan ke dalam tas. Selain itu, ia berdiri di depan cermin. Menatap pesona wajahnya sendiri dengan penuh keangkuhan. Sementara itu, perempan yang ia sebut sebagai sekretarisnya itu menyiapkan jamuan makan sebelum Antony pergi meninggalkan area apartemen. Terlihat picik memang. Janji setia untuk Aurora itu semu. Padahal, ia bekerja untuk membuktikkan bahwa ia lebih baik dari pada Ervin. Tapi, kenapa jadi seperti ini?"Makan dulu, mas.""Ini buatan kamu? Makasih, lho.""Sama-sama. Ta-tapi, ini beneran kita jadian mas? Saya gak perlu panggil bapak lagi? Apa ini gak terlalu cepat?""Itu kembali ke kamu sebagai penerima, cantik. Lagian saya bosen kalau menghadapi istri di rumah yang kucel dan gitu-gitu aja. Kalau kamu enak dipandang. Belum lagi pinter lagi." Antony menarik dagu wanita lugu itu dengan manis. Selama 1 jam lamanya, mereka menikmati jamuan makan siang sam