Carista merupakan sahabatku dari masa putih dongker.
Kami selalu bersama kemanapun. Akan tetapi hobi kami bertolak belakang.
Carista sangat feminim, sedangkan aku tidak feminim sama sekali.
Carista bekerja di sebuah perusahaan ternama dengan posisi sebagai sekretaris dari pemimpin perusahaan tempatnya bekerja.
Liat cowok bening dikit, mood-nya langsung bagus.
Mata Carista akan selalu berbinar jika melihat cowok keren seperti saat sekarang.
Ibaratnya, cowok keren itu merupakan obat mata yang sangat manjur buat Carista.
Suara pelayan restoran menghentikan obrolan kami. Pelayan restoran menata makanan yang telah kami pesan tadi.
Setelah mempersilahkan untuk makan, sang pelayan pun meninggalkan meja kami.
Selanjutnya, kami menikmati menu makan siang dengan diam.
“Ada cerita nih Car,” curhatku membuka obrolan setelah selesai makan.
“Tentang apa?” tanya Carista menoleh kearahku.
“Aku dijodohkan oleh ayah, Car,” ucapku dengan suara pelan takut terdengar pengunjung restoran yang lainnya.
“Really?” jawab Carista sambil melihat wajahku dengan pandangan menyelidik. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Sama siapa?” tanya Carista antusias.
Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
“Kamu kenal orangnya, gimana bibit bebet dan bobotnya, dimana dia bekerja?” Carista menyerbuku dengan rentetan pertanyaan yang mampu membuatku pusing.
“Itulah masalahnya Car, aku nggak tau orangnya. Jangankan dengan bentuk, bibit bebet dan bobotnya seperti yang kamu katakan, sedangkan namanya saja aku nggak tau. Ayah Cuma bilang kalau laki-laki itu anaknya teman ayah. Selebihnya aku tidak mengetahui lagi tentang orangnya. Kata ayah nanti aku juga akan mengetahui semuanya setelah dipertemukan."
“Benarkah?” Carista bertanya lagi untuk meyakinkan.
“Yang lebih parahnya lagi, ayah malah bilang kalau mau tanya-tanya langsung saja sama orangnya nanti, jangan tanya ayah,” keluh Ara.
“hahahha,” tawa Carista terdengar membahana yang membuat pengunjung lain melihat ke arah kami. Tak terkecuali cowok yang tadi sempat diomongin Carista, juga menoleh ke arah kami.
“Apaan sih, Car. Nggak lucu. Jangan bikin malu, tau!” sungutku karena melihat pengunjung lain yang merasa terganggu dengan suara Carista.
Apalagi pria yang sempat diomongin Carista tadi malah menoleh dengan kening berkerut.
"Ayah memang hebat mengerjai kamu, Ra! Biasanya kan kamu yang jago mengerjai orang. Tuh sekarang kena batunya. Trus, jawaban kamu bagaimana?” tanya Carista dengan suara yang mulai sedikit pelan.
“Aku belum memberikan jawabannya. Ayah memberi waktu tiga hari untuk berpikir,” jawab Ara sekenanya.
“Saranku, masalah itu jangan terlalu dipikirkan. Percayalah pilihan ayah pasti yang terbaik, karena ayah sangat menyayangimu,” terdengar jawaban Carista yang sepertinya membela ayah.
“Iya sih. Tapi sebenarnya, aku belum memikirkan untuk menikah, Car,” keluh Ara.
“Pikirkan usiamu yang sudah tidak muda lagi, Ra. Lagian, dijodohkan belum tentu langsung menikah kan? Jadi jangan terlalu dipikirkan. Jangan menerka-nerka hal apa yang akan terjadi kedepan!” nasehat Carista
Aku hanya mendengarkan nasehat Carista, yang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Untuk apa juga dipikirkan kalau hanya akan membuat kepalaku pusing.
“Jalani saja dulu. Seiring berjalannya waktu, rasa itu pasti akan muncul dengan sendirinya, Ra. Dan kamu juga akan melupakan masa lalu dengan Reza. Jika kamu tetap sendiri, kamu nggak akan bisa keluar dari masa lalu itu. Yang ada malah ingatanmu tentang Reza melulu!” Carista menambahkan argumennya.
“Aku takut kecewa lagi dan mengecewakan orang lain, Car!” lirih Ara dengan wajah yang lesu.
“Jangan berpikir sampai sejauh itu, Ra,” ucap Carista pelan.
“Nggak tau juga, Car. Setiap kali ingin mencoba untuk melupakan, rasa takut yang teramat besar selalu menghampiri,” curhat Ara dengan sejujurnya.
“Dicoba dulu, Ra. Kenalan dulu. Dijalani. Kalau nggak cocok jangan dipaksakan. Tapi kalau cocok kan bisa berlanjut, Ra,” nasehat Carista panjang lebar.
“Terima kasih, Car. Kamu memang terbaik. Aku juga sudah memikirkan semua itu. Semoga saja ini adalah jalan terbaik,” jawab Ara sambil tersenyum.
Carista menambahkan “Ikuti saja seperti air mengalir, Ra.”
“Bukankah air mengalir sampai jauh, Car,” jiwa usilku mulai muncul untuk memancing emosi Carista.
“Sampai jauh atau sampai septic tank,” jawab Carista dongkol. Yang berhasil membuatku tertawa melihat wajahnya yang memerah menahan emosi.
Setelah makan siang, kami bekeliling untuk melihat-lihat.
Manatau ada barang dengan model yang baru. Aku memperhatikan Carista yang sangat antusias kalau sudah menyangkut fashion.
Penyakit musimannya mulai kambuh dan jiwa shopingnya meronta-ronta minta dipuaskan.
Aku hanya menemani Carista, tanpa berminat membeli barang apapun.
Aku bukanlah orang yang hobi shopping dan penggila barang branded seperti Carista.
Bukan tidak mempunyai uang untuk shopping, akan tetapi aku tidak ingin membuang-buang uang dengan percuma, lebih baik uangnya aku sumbangkan untuk yayasan amal.
Diluar sana masih banyak orang yang lebih membutuhkan uluran tangan kita.
Karena dengan menyumbangkan sebagian rezeki yang kita dapatkan, jauh lebih berharga daripada mengoleksi barang-barang bermerek.
“Udah selesai belanjanya?” tanyaku saat melihat tangan Carista sudah penuh dengan tentengan kantong belanjaan.
“Hehehe. Biasa, ada barang baru, Ra,” jawab Carista sambil nyengir.
“Namanya juga Toko. Sudah pasti barang-barangnya baru terus. Yang ada pelanggannya sepi kalau barangnya nggak bagus. Kamu selalu kalap dan gelap mata kalau sudah belanja. Sesusah itu nyari uang, habisnya hanya untuk foya-foya,” omel Ara.
“Maaf, Ara sayang. Besok nggak kayak gini lagi. Jangan marah, ya. Please,” ucapnya dengan nada memohon
Setelah berkeliling dalam waktu yang cukup lama, kami memutuskan untuk keluar dari mall karena hari sudah sore dan uang Carista juga sudah menipis sepertinya.
“Langsung pulang, Ra?” tanya Carista.
“Mampir ke Gramedia dulu ya Car?” usul Ara.
“Kalau begitu, aku naik taxi aja deh, Ra,” jawab Carista.
“Bentar doang kok, Car,” balas Ara.
“Aku nggak ikut kalau ke Gramedia, secara kamu kalau udah ke Gramedia pasti lama keluarnya,” protes Carista.
“Ya sudah. Atau aku antar kamu pulang dulu gimana? Daripada naik taxi,” aku memberikan usul pada Carista.
“Nggak usah Ra. Lebih baik naik taxi daripada nanti kamu bolak balik,” tolak Carista.
“Sayang bensin nih ceritanya?” jawabku sambil tertawa.
Diperjalanan aku membelokkan mobil ke Gramedia. Setelah taxi yang membawa Carista menghilang dari pandangan, aku langsung masuk kedalam gramedia.
Rencananya mau melihat-lihat buku keluaran terbaru, manatau ada yang menarik.
Fokusku memperhatikan buku-buku new comer yang dipajang di rak buku, tanpa memperhatikan sekeliling.
Terus berjalan pelan sambil membaca-baca beberapa judul buku, hingga langkahku berhenti karena sesuatu yang keras terasa menghantam tubuhku.
Karena nggak melihat jalan, aku telah menabrak seseorang, yang membuat buku yang dipegangnya berserakan dilantai.
“Oughhh,” ucapku sambil menggosok-gosok kepalaku yang terbentur dengan tubuhnya. Lumayan sakit rasanya.
“Maaf,” ucapnya pelan hampir tidak terdengar.
“Nggak apa-apa kok. Lagian harusnya aku yang minta maaf karena aku tidak melihat jalan.” Ucapku sambil mengangkat kepala melihat kearah seseorang yang sudah aku tabrak.
Tubuhku membeku melihat siapa yang aku tabrak.
“Oh my God, ketemu lagi sama cowok yang tadi siang aku lihat di restoran,” ucapku dalam hati sambil mengusap kepala yang terbentur tubuhnya.
“Kamu nggak apa-apa? atau ada yang sakit?” dia bertanya dengan nada khawatir. Mungkin karena melihat aku yang mengusap kepala.
“Oh, aku nggak apa-apa kok.” jawabku sambil tersenyum.
“Syukur lah, kamu nggak apa-apa. Lain kali kalau jalan hati-hati,” ucapnya sambil tersenyum manis dengan sepasang lesung pipi yang sangat menawan yang mampu membuat aku terpaku melihat senyuman manis dengan kedua lesung pipinya.
“Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam sampai ketemu cowok sekeren ini,” suara hatiku mengaguminya
“Maaf, bukunya jadi berserakan,” jawabku sambil mengumpulkan 3 buku yang terjatuh di lantai.
Mataku terpaku membaca salah satu judul buku yang dibawanya Love Story.
Sama dengan buku yang sudah aku punya. Pikiranku menerawang dengan sukses.“It’s ok,” jawabnya sambil tersenyum manis.Aku serasa meleleh melihat senyumannya dengan lesung pipi kembarnya.“Sadar Ara,” ucapku sambil menepuk-nepuk pipiku sendiri. Sedangkan cowok yang aku tabrak tadi sudah menghilang entah kemana.Entah berapa lama aku tertegun, yang pastinya pria tersebut sudah tidak kelihatan lagi.Setelah puas melihat-lihat dan membaca-baca buku, akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumah karena hari sudah mau maghrib.Sampai dirumah, aku langsung mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu dan bersiap-siap untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah.Beginilah suasana rumah setiap harinya, jika maghrib sudah menjelang, disaat siang sudah berganti dengan malam.Setiap malamnya, semua anggota keluarga termasuk penjaga rumah, tukang kebun, dan supir selalu sholat maghrib berjamaah dengan a
Sebenarnya, dulu aku tinggalnya di apartemen karena ingin mandiri.Hingga suatu hari terjadi tragedy yang membuatku kritis, karena aku menjadi sasaran dari lawan bisnis ayah.Semenjak itu, aku tidak dibolehkan lagi untuk tinggal di apartemen, karena ayah khawatir dengan keadaan dan keselamatanku jika tanpa pengawasan darinya.Ayah memintaku kembali tinggal dirumah untuk menghindari hal-hal yang mengancam keselamatanku diluar sana.“Iya, Ayah,” jawabku dengan nada memohon sambil memandang Ayah penuh harapan.“Baiklah kalau itu pilihanmu. Ayah akan kabulkan semua permintaanmu, dengan syarat, jaga diri baik-baik. Hati-hati bertindak diluar sana, jangan gampang percaya sama orang yang baru dikenal, bisa jadi dia adalah musuh kita, dan hal yang paling penting adalah jaga nama baik keluarga. Ingat satu hal, sekarang sudah punya calon suami, yang artinya jangan memiliki hubungan dengan ”pria” manapun. Setelah satu
“Ayah mengizinkanku kembali ke apartemen, dengan syarat tinggal bersamamu di apartemen. So, you must join with me, Car. Let’s join us!”jawab Ara sambil tersenyum.“Wow, ada saham aku ternyata,” ucapnya dengan mata yang berbinar bahagia.“Pastinya. Kalau nggak mana mungkin Ayah akan setuju,” kata Ara.“Kenapa syaratnya nggak dipertemukan dulu sama orangnya, Ra?” usul Carista.“Aku nggak mikirin orangnya Car. Secara, kalau sudah pilihan orang tua nggak mungkin salah kan?” bela Ara.“Sangat betul. Kalau begitu kamu harus membayarku dengan gaji yang besar,” canda Carista“Ok. Satu saja cukup kan?” yakin Ara.Aku sudah tau “gaji” yang dimaksud Carista. Apalagi kalau bukan tas branded incarannya untuk menambah koleksinya.”it’s ok Ra. Ayo cepat makan, aku sudah nggak sabar dengan tasnya. Nanti kusampaikan d
Begitulah Carista, semuanya tidak akan terlepas dari uang.Carista sangat pelit kalau sudah berurusan dengan yang namanya uang, dia tidak akan mau dirugikan sedikitpun.Tapi meskipun Carista begitu, aku sangat menyayanginya karena Carista adalah sahabat terbaik sekaligus orang kepercayaan bagiku.Dia selalu ada setiap kali aku membutuhkan. Carista yang selalu menemaniku dalam suka dan duka.Bahkan saat aku dalam keadaan sangat terpuruk sekalipun, Carista selalu hadir menemani.Suara bel menghentikan obrolan kami. Carista beranjak menuju pintu untuk menerima makanan yang dipesan melalui kurir.“Bayarnya, Ra!” interupsinya dari pintu.“Pakai uangmu dulu kan bisa, Car!” pekik Ara.“Nggak bisa Ara. Ntar aku lupa!” teriak Carista tak mau kalah.“Ya Tuhan, ini anak pelitnya minta ampun!” jeritku dari dapur.“Biarin. Kan tadi sudah ada kesepakatan!” timpalnya.
Gilang mengingat kembali pertemuannya dengan gadis yang menabraknya di Gramedia beberapa hari yang lalu.Pertemuan itu merupakan pertemuan yang kedua kalinya oleh Gilang, setelah sebelumnya juga bertemu di Restoran saat makan siang.Gilang penasaran dengan sosok gadis tersebut.Gadis dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam bersinar, seakan menambah nilai plus pada dirinya.Kulitnya tidak putih seperti perempuan pada umumnya yang pernah dekat dengan Gilang.Akan tetapi lebih mengarah ke arah sawo matang dan jangan lupakan sebuah lesung pipi disebelah kanan pipinya yang menambah daya tarik kuat dimata para pria tak terkecuali dengan Gilang yang juga terbius pesona gadis tersebut.Melihat dari penampilannya dia bukanlah cewek yang feminim, tapi lebih kearah tomboy.Gilang tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan gadis tersebut.Dia larut dengan pemikirannya sambil tersenyum-senyum sendiri sampai Gilang tidak m
“Terserah kamu saja, Car!” Aku mulai malas meladeni Carista kalau penyakit musimannya ini sudah keluar.“Sampai disana jangan lupa kasih kabar, Ra!” sela Carista.“Pastinya, Car,” jawabku.“Jangan lupa oleh-olehnya juga!” ucapnya menambahkan.“Kamu mau oleh-oleh apa?” tanya Ara.“Apa aja deh, Ra. Yang penting enak,” cetis Carista.“It’s ok, Car!” ucap Ara.Pagi ini, halaman kampus sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang akan ikut studi banding ke Universitas Negeri Padang yang berada di Provinsi Sumatera Barat.Mereka sudah lengkap dengan bawaannya masing-masing.Diparkiran kampus sudah berjejer tiga buah bus kampus, yang akan membawa semua mahasiswa peserta Studi Banding dan Dosen yang mendampingi menuju Bandara.Peserta studi banding kali ini terdiri dari seratus orang mahasiswa/mahasiswi, dan ada sepuluh orang dosen pembimbing
“Morning too, Gilang!” senyumku.Aku terpaku menatap senyuman Gilang yang sangat menawan dengan dua lesung pipi di pipinya.“Jangan terlalu lama menatapku, Kia! Ntar kamu jatuh hati. Aku tahu kok kalau aku keren!” canda Gilang yang disusul dengan suara tawanya.“Hahahah. Nggak segitunya kali Lang!” kekehku.“Kia, kita kesana yuk!” ajak Gilang sambil menunjuk sebuah tempat yang ada diseberang lautan.Tempat tersebut merupakan sebuah pulau kecil. Kesana bisa ditempuh dengan perahu yang disewakan disekitaran pantai.Kami pun berjalan menyusuri pantai, dengan menggunakan perahu yang disewakan nelayan, yang berkapasitas 20 orang sekali jalan.Perjalanan sangat menyenangkan, karena aku penyuka tantangan.Akan tetapi, perjalanan cukup menegangkan bagi yang belum biasa naik perahu.Diiringi deburan ombak, sekitar 30 menit sampailah kami di tempat tujuan karena lokasi yang menyebera
Kiara gadis yang baik, ramah, dan supel menurutku.Wawasannya juga lumayan tinggi. Sepertinya latar belakang pendidikannya juga oke, terbukti dari cara dia menjelaskan segalanya kepadaku.Ya, disinilah aku sekarang didepan penginapan Kiara, untuk keluar bersama mencari makanan yang bisa dinikmati dengan menu khas Padang.Kiara menyuruhku menunggu diluar saja, karena menurutnya nggak enak dipandang jika laki-laki dan perempuan didalam rumah berduaan.Untuk yang kesekian kalinya, Gilang terpana dengan Kiara. Sebuah alasan yang masuk akal menurutku.Aku berasumsi bahwa Kiara gadis yang baik, yang tidak sembarangan dengan laki-laki.Gadis yang masih memegang tradisi dan sopan santun yang masih kental.Sekitar 20 menit menunggu, akhirnya yang kutunggu pun keluar dengan blouse lengan panjang selutut berwarna putih, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam.Flat shoes putih, dan sebuah sling bag Louis Vuitton berwarna putih dengan