Share

episode 4

Sama dengan buku yang sudah aku punya. Pikiranku menerawang dengan sukses.

“It’s ok,” jawabnya sambil tersenyum manis.

Aku serasa meleleh melihat senyumannya dengan lesung pipi kembarnya.

“Sadar Ara,” ucapku sambil menepuk-nepuk pipiku sendiri. Sedangkan cowok yang aku tabrak tadi sudah menghilang entah kemana.

Entah berapa lama aku tertegun, yang pastinya pria tersebut sudah tidak kelihatan lagi.

Setelah puas melihat-lihat dan membaca-baca buku, akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumah karena hari sudah mau maghrib.

Sampai dirumah, aku langsung mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu dan bersiap-siap untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah.

Beginilah suasana rumah setiap harinya, jika maghrib sudah menjelang, disaat siang sudah berganti dengan malam.

Setiap malamnya, semua anggota keluarga termasuk penjaga rumah, tukang kebun, dan supir selalu sholat maghrib berjamaah dengan ayah sebagai imamnya.

Usai sholat maghrib berjamaah, dilanjutkan dengan membaca ayat suci Al-qur’an.

Selesai menjalankan ibadah, barulah kami makan malam bersama.

Semua anggota keluarga akan berpencar kembali setelah selesai makan malam.

Ada yang menonton Televisi di ruang keluarga, ada juga yang kembali melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.

***

Hari ini bunda pulang, setelah meninggalkan rumah selama lebih kurang satu bulan. Aku memutuskan untuk menjemput bunda ke bandara.

Tadi pak Karim supir keluarga sudah menawarkan untuk menjemput bunda, akan tetapi aku menolak. Karena aku ingin menjemput bunda sendirian.

Sekalian aku mau melepas rindu dan curhat dengan bunda yang sudah lama tidak bertemu.

Sesampainya di Bandara, aku menuju tempat parkir. Setelah memarkirkan mobil, aku turun, dan berjalan ke tempat penjemputan.

Lebih kurang menunggu selama dua jam, akhirnya pesawat yang bunda tumpangi mendarat dengan selamat.

Aku melambai-lambaikan tangan melihat kearah bunda.

Bunda langsung berjalan menuju tempatku berdiri dan kami berjalan menuju tempat parkir.

“Apa kabar Bunda?” tanyaku sambil memeluk Bunda.

“Bunda sehat sayang. Ayah gimana kabarnya?” tanya bunda yang tidak bisa lepas dari belahan jiwanya

“Ayah juga sehat Bunda,” jawabku sambil tersenyum.

“Alhamdulillah,” jawab Bunda dengan senyuman khasnya.

“Dion sama Ayu, gimana sekolahnya?” Bunda menanyakan sekolah adik-adikku lebih lanjut.

“Alhamdulillah, lancar Bunda,” ujar Ara.

“Syukur lah, semuanya baik-baik saja selama Bunda tinggalkan,” jawab Bunda 

Sebelum pulang kerumah, kami mampir dulu ke restoran karena sudah jam makan siang.

Sambil menunggu makan yang telah dipesan, aku mulai menanyakan kegiatan bunda selama di Singapura.

Sampailah obrolan pada masalah perjodohanku. Intinya aku curhat sama bunda, manatau dengan curhat sama bunda, bunda bisa membujuk ayah untuk membatalkan rencana perjodohan tersebut.

Akan tetapi, semua curhatku hanya sia-sia saja, karena itu sudah keputusan final dari ayah dan bunda.

Berarti sudah tidak bisa digoyahkan lagi dengan rengekan dan rayuanku. Ya sudahlah, aku hanya bisa pasrah saja.

“Bunda sudah mengenal orangnya dengan baik?” Aku mulai mencari informasi dari Bunda

“Pastinya. Kalau nggak kenal nggak mungkin Bunda setuju, sayang!” jawab Bunda.

“Boleh tau gimana ciri-cirinya, Bunda?” tanyaku lagi.

“Ciiieeee, yang mulai penasaran,” Bunda malah meledek ku.

“Bunda nih. Orang nanya serius malah diledekin,” desah Ara.

“Jangan cemberut gitu sayang. Ntar kamu juga akan tau dengan orangnya,” Bunda menambahkan.

“Nggak Bunda, Nggak Ayah, sama saja,” kesalku dengan wajah cemberut.

“Percayalah dengan pilihan orang tua. Kalau nggak terbaik nggak mungkin akan dipilih,” Bunda berusaha meyakinkan hatiku.

“Ini yang Ara takutkan. Gimana dengan orangnya. Apa bisa nerima Ara?” ucapku ragu.

“Ya bisalah sayang. Jangankan dia, orang tuanya saja sangat menyukai Ara,” jawab sang Bunda penuh semangat

“Tambah takut jadinya,” ucapku lesu

“Jangan takut. Semuanya nggak akan dipaksakan kok. Semuanya akan kembali kepada kalian nantinya. Makanya jangan jadi beban,” Bunda memberikan nasehat untuk menenangkan hatiku yang mengkhawatirkan banyak hal.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam, aku menyusun strategi dan penawaran jawaban yang akan aku berikan pada ayah besok.

Aku mulai memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi.

Aku memutuskan untuk menerima perjodohan itu, dengan beberapa syarat yang akan diajukan kepada ayah dan bunda.

Beberapa syarat yang akan aku ajukan tersebut, telah kutulis dikertas, agar besok tidak lupa.

Setelah selesai memikirkan dan mencatat semuanya, aku menuju kasur untuk istirahat.

Mudah-mudahan ini adalah pilihan yang tidak akan aku sesali seumur hidupku.

Karena, aku sangat yakin, jika ayah yang sudah memilih, pasti semuanya akan baik-baik saja. Sesuai dengan nasehat bunda kemaren. Meskipun, sebenarnya hati kecilku menolak untuk dijodohkan, tapi apalah daya.

Aku menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, yang telah mengatur segalanya.

Tidak akan ada sehelai daun pun yang jatuh kebumi, kecuali izin Allah.

Begitu juga dengan nasib dan takdirku. Semua sudah ketetapan dari yang Maha Kuasa, aku hanya bisa menjalani semuanya sambil berusaha dan berdo’a.

***

Suara kicauan burung terdengar sangat merdu menyambut datangnya pagi yang indah.

Aku beranjak dari kasur, untuk membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya.

Paru-paru terasa sangat lapang dengan udara pagi yang bersih dari polusi dan terasa sangat sejuk.

Hari ini adalah hari dimana aku akan memberikan jawaban dari perjodohan tersebut.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk mandi terlebih dahulu, setelah mandi baru turun ke bawah.

Pagi ini aku akan membicarakan semuanya dengan ayah.

Aku ingin cepat-cepat menyampaikan “proposal” yang sudah aku tulis semalam.

Agar semuanya cepat selesai. Supaya semuanya kembali seperti semula dan beban pikiranku akan hilang dengan tidak  memikirkan perjodohan lagi.

“Semoga saja dikabulkan ayah,” harapku dalam hati sambil memandang “proposal” yang telah ditulis semalam.

“Ayah dimana Bunda?” tanyaku saat tidak melihat ayah di ruang keluarga. Di meja makan juga tidak ada ayah.

“Ayah di ruang kerjanya, Kak. Langsung kesana saja Kak, sudah ditunggu ayah dari tadi." Terdengar interupsi Bunda panjang lebar dengan wajah yang dihiasi senyuman.

Sepertinya ayah juga sudah tidak sabar menunggu jawabanku.

Akupun terus berjalan melangkahkan kaki menuju ruang kerja ayah.

Setelah mengetuk pintu ruang kerja ayah dengan mengucapkan salam, ayah pun mempersilahkan aku masuk, aku langsung duduk di sofa empuk yang tersedia diruangan kerja ini.

“Gimana?” tanya Ayah langsung to the point

Aku menggosok-gosok kepalaku yang tidak gatal, sebelum mulai menyampaikan permintaanku.

“Ara akan menerima perjodohan ini, Yah,” jawabku sambil menghela nafas panjang.

“Sudah Ayah duga,” jawab Ayah penuh semangat.

“Tapi, Ara ada beberapa permintaan, Yah!” jawabku dengan wajah memohon.

“Sebutkanlah, apa permintaannya,” jawab Ayah.

“Pertama, Ara meminta perjodohannya tahun depan. Kasih Ara waktu satu tahun untuk berbenah dan mempersiapkan diri. Kedua, dalam satu tahun kedepan Ara maunya tinggal di apartemen. Ketiga, Ara ingin melukis kembali. Keempat, ara tidak ingin diawasi oleh orang kepercayaan Ayah!” Aku memberikan beberapa permintaan kepada Ayah.

“Ini permintaan, atau proposal permohonan?” komentar Ayah.

“Lebih kurangnya seperti itu, Ayah,” jawabku sambil tertawa untuk menyembunyikan perasaan gugup karena jantungku yang sudah berdegup sangat kencang.

“Hanya segitu permintaannya? Atau ada tambahan yang lainnya lagi?” Ayah menambahkan.

“Segitu saja sudah cukup, Ayah,” jawabku sambil tersenyum.

“Yakin akan tinggal di apartemen lagi?” tanya Ayah penuh selidik.

Jantungku memompa darah dengan sangat cepat menunggu kata-kata selanjutnya dari ayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status