Share

episode 2

Diruang keluarga, tampak ayah sedang duduk santai sambil membaca Koran yang ditemani secangkir kopi hangat, yang aroma kopinya menggelitik hidungku.

Sekarang adalah hari Minggu, jadi ayah tidak ke kantor.

“Pagi Ayah,” sapaku melihat ayah, sambil mencium sayang kedua pipi ayah. Meskipun sangat kecewa dengan keputusan ayah, akan tetapi aku mengenyampingkan ego, karena aku sangat menyayangi ayah.

“Pagi juga sayang,” jawab Ayah.

“Ayah sudah sarapan?” tanya Ara.

“sudah sayang,” jawab Ayah lirih.

“Ara sarapan dulu ya, Yah,” ucap Ara 

“Happy breakfast sayang,” terdengar jawaban ayah saat aku berjalan menuju meja makan untuk mengisi lambungku yang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.

Aku sarapan sendiran dengan tenang. Setelah sarapan dan membereskan meja makan, aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu dan duduk disamping ayah.

“Bunda kapan pulangnya, Yah?” tanyaku membuka obrolan dengan ayah.

Bunda sudah hampir satu bulan tidak ada dirumah. Bunda sedang di Singapura memeriksa laporan keuangan perusahaan yang ada disana.

Sebenarnya, disana banyak anggota bunda yang bisa menangani perusahaan, akan tetapi kalau masalah laporan keuangan, bunda tidak bisa memberikan kepercayaan pada bawahannya.

Makanya, bunda turun tangan langsung memeriksa laporan keuangan perusahaan.

“Mungkin lusa, bunda sudah pulang,” jawab Ayah.

“Bagaimana dengan yang kemaren, apakah sudah ada jawabannya?” Ayah menanyakan jawabanku atas perjodohan yang disampaikan ayah kemaren.

“Belum, Yah,” jawabku lesu. Tadi aku sangat semangat karena telah selesai sarapan.

Tapi sekarang aku jadi lesu karena membahas masalah ini lagi. Rasanya suasana hatiku kembali turun drastis.

“Kok lesu gitu jawabnya, semangat dong,” balas Ayah sambil tertawa.

“Bukankah waktunya masih dua hari lagi, Yah?” gumam Ara.

“Iya, sih. Manatau sekarang sudah ada jawabannya. Kalau bisa jawab sekarang, kan tidak harus menunggu dua hari lagi. Semakin cepat kan semakin baik. Ayah kan sudah tidak sabar untuk memiliki menantu,” Ayah menambahkan dengan sorot mata yang menerawang jauh. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini.

“Rasanya belum bisa untuk move on, Yah. Takut mengecewakan,” ucap Ara lirih, bahkan hampir tidak terdengar.

”Mau sampai kapan larut dalam kesedihan. Sudah saatnya untuk bangkit dan menata kehidupan yang baru lagi. Masa lalu itu untuk dijadikan guru yang berharga, bukan untuk dijadikan beban,” nasehat Ayah 

“Sangat sulit untuk memulai kembali, Yah,” jawab Ara

“Dicoba dulu kan nggak ada salahnya. Kalau nggak dicoba kamu akan tambah larut dalam semua itu,” nasehat Ayah panjang lebar.

 “Ara masih memikirkan strategi dan penawaran, Yah,” ucap Ara sambil tersenyum penuh arti.

“Strategi dan penawaran untuk menolak maksudnya?” selidik Ayah

“Bisa jadi Yah. Bisa jadi iya dan bisa jadi tidak!” jawabku sekenanya, sambil tertawa lepas.

“it’s ok,” jawab Ayah yang juga tertawa mendengar jawabanku.

“Bahas yang lain saja Yah, pusing dengan tema perjodohan,” aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan yang membuatku mulai tidak nyaman.

“Memangnya kenapa. Kan, tidak ada salahnya membahas ini. Ara juga sudah dewasa, dan bukan anak kecil lagi. Sudah pantas untuk berumah tangga. Ayah juga ingin yang terbaik untuk putri Ayah, “ Ayah menambahkan sambil mengusap kepalaku dengan sayang

“ Iya Ayah. Ini lagi memikirkan strateginya,” kata Ara.

“Jangan kekanakan menanggapinya. Apapun itu keputusanmu, dan strateginya mau seperti apa, akan Ayah terima dengan syarat tidak ada penolakan. Paham?” terang Ayah panjang lebar, yang langsung membuat kepalaku pusing tingkat tinggi.

“Sangat paham Ayah sayang,” jawabku sambil memeluk Ayah dan melangkah menuju kamarku yang ada di lantai dua.

Dikamar, aku mengambil handphone yang berada di bawah bantal.

Aku mulai menghidupkannya yang semalam dimatikan. Banyak pesan yang masuk.

Ada pesan masuk dari Carista sahabatku via aplikasi pesan W******p.

“Lagi ngapain sekarang Ra, sibuk nggak?” pesan dari Carista

“Lagi santai dikamar. Why?” aku mengetik balasannya

Sambil menunggu balasannya, aku beranjak menuju jendela untuk  menikmati pemandangan sekitar rumah.

Dari jendela kamar ini, aku bisa melihat perumahan sekitar. Bunga-bunga sedang bermekaran di taman samping rumah.

Tampak tukang kebun sedang memangkas tanaman yang sudah mulai tinggi dan terlihat tidak rapi.

Buk Darmi juga sedang bercocok tanam di kebun samping rumah. Untuk keperluan sayur-sayuran, tomat dan wortel kami tidak perlu membeli.

Kami hanya memanfaatkan lahan yang ada di kebun samping rumah.

Semua itu jauh lebih sehat dibandingkan dengan yang dibeli di supermarket.

Karena tanaman di kebun sendiri, tidak memakai pestisida.

Semuanya ditanam dan dirawat secara alami, tanpa zat kimia. Jadi, jauh lebih menyehatkan.

Aku tersentak dari lamunanku, karena suara handphone yang menandakan pesan masuk. Ternyata pesan dari Carista.

Hang out  yuk Ra, aku lagi bosan dirumah.”

“It’s ok.” aku mengirim balasannya.

Setengah jam berlalu, aku sudah selesai berkemas, hari ini memakai dress coklat dan celana pensil.

Rambutku yang sepunggung dibiarkan lepas, dilanjutkan memoles wajah dengan make-up tipis. Flat shoes coklat menjadi alas kaki hari ini.

Setelah selesai, aku langsung turun dari kamar.

Sampai di ruang tamu, ternyata Carista sudah duduk manis menungguku.

Kami langsung berangkat setelah meminta izin dan berpamitan pada ayah.

Hari ini rencananya akan berputar-putar tanpa tujuan.

Pertama sampai di mall, kami memutuskan untuk menuju tempat makan karena sudah jam satu siang.

Pengunjung restoran terlihat ramai karena sekarang waktunya makan siang.

Karena Carista ke toilet sebentar, aku mencari tempat duduk terlebih dahulu.

Aku berjalan menuju meja paling sudut yang sudah biasa menjadi tempat duduk favorite kami.

Dari sudut ini kami bisa melihat pemandangan kota yang tersaji tentang  kesibukan kota dengan jalan yang tidak pernah sunyi dari kendaraan yang berlalu lalang.

Aku mengedarkan pandangan mencari Carista yang sampai sekarang belum juga muncul.

Pandanganku terhenti pada seorang laki-laki yang sekarang menjadi pusat perhatian kaum hawa.

Pria dengan alis tebal yang menempel di wajah maskulinnya.

Lesung pipi tertanam indah di kedua pipinya.

Sungguh suatu pemandangan yang sangat menakjubkan dan betapa sempurnanya makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Pria tersebut berjalan menuju meja yang ada disampingku.

“Woi, melamun siang bolong gini!” suara Carista menyadarkanku.

“Apaan sih, Car,” balasku.

“Udah dipesan makanannya, Ra?” tanya Carista

“Udah Car. Duduk dulu. Bentar lagi mungkin datang makanannya.”

“Ra, ada cowok ganteng disamping,” bisik Carista pelan sambil menyikut lenganku.

“Biasa aja, “ jawabku sekenanya.

“Yeee, orang seganteng and perfect gitu, dibilang biasa aja. Kamu sehatkan?” tanya Carista sambil menempelkan tangannya dikeningku.

“Melihat dari penampilannya, boleh nih, Ra,” Carista menambahkan argumennya karena melihat aku yang tidak meresponnya.

“Boleh apa, Car?” jawabku acuh tanpa menoleh kepada sosok yang dibicarakan Carista

“Boleh di sikat,” ucap Carista sambil senyum-senyum kayak orang habis dapat hoki.

“Emangnya gigi, pakai disikat segala. Biasa aja kali, nggak segitunya,” balasku sambil menaikkan sebelah alisku

“Yah, kalau gigi kan butuh odol buat sikatnya, Ra!” omel Carista.

“Hahahha, kamu yang jadi odolnya, Car. Kayak di pantun-pantun gitu,” jawabku sekenanya.

“Manatau bisa menggantikan seseorang yang sudah lama pergi, Ra,” terang Carista

“Menggantikan dari Hongkong, kenal aja nggak. Nggak usah mulai lagi deh Car!” komentar Ara

“Hahahah. I’m sorry dear,” balas Carista.

"Lihat, Ra. Senyumannya bikin aku melayang ke udara. Keren banget," terang Carista sambil memandang ke arah orangnya.

"Jagan ngehalu deh, Car. Sadar, ayo sadar kamu masih di bumi," cetus Ara

"Pengen punya cowok kayak dia. Sempurna," jawab Carista yang sepertinya masih belum sadar

"Jangan kebanyakan baca Novel Car. Biar nggak menghayal terus," komentar Ara geram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status