Home / Romansa / Mencuri Calon Suami Adikku / #002 Pertemuan Yang Aku Inginkan

Share

#002 Pertemuan Yang Aku Inginkan

Author: aisakurachan
last update Last Updated: 2025-07-28 11:57:05

Suri dengan hati-hati memindahkan cermin bulat yang tadinya menggantung di belakang pintu kamarnya, menyandarkannya di dekat lemari pakaian. Lalu masih mengatur angle, agar tepat menghadap ke arah jendela.

Setelah itu, Suri membuka jendela kamarnya yang berdaun dua lebar-lebar, tapi membiarkan tirai ringan berwarna putih tetap menutup. Angin musim panas yang hampir habis masih berhembus, tirai itu melambai lemah.

Suri tersenyum melihatnya. Ia memang sangat membutuhkan angin hari ini. Cara ini dipilih Suri setelah ia dengan teliti memeriksa prakiraan cuaca. Rencananya memang membutuhkan detail dan kesabaran.

Suri lalu mengintip, dari jendela itu, ke arah kebun belakang yang kini agak ramai karena pelayan yang tengah mondar-mandir menyiapkan teh dan kudapan untuk tamu.

Leland kemungkinan masih di depan dan bicara pada Mark.

“Masih ada waktu.” Suri mengurai ikatan rambutnya, lalu menyisir. Sedikit meringis karena memar di punggung dan lengannya sangat nyeri saat ia mengangkat tangan. 

Tapi ini harus dilakukan agar memberi efek dramatis—sama dengan gaun putih itu, dipilih agar menonjolkan kesan indah tapi mengenaskan.

Suri mengintip kebun lagi, dan napasnya tertahan saat melihat sosok pria berambut hitam yang ditunggunya berjalan bersama Luna yang menggandeng tangannya. 

Bukan terpesona oleh wajah Leland yang tampan, tapi karena memang terlalu gugup. Suri sudah menyiapkan semua detail tapi tetap takut kalau tidak berhasil.

“Bisa… bisa… jangan takut. Kau memerlukannya.” Suri menepuk dadanya, agar tenang. “Jangan sia-siakan semua luka yang kau dapat hari ini,” bisiknya, untuk memupuk kenekatan.

Suri menghembuskan napas, lalu mengintip lagi. Menunggu saat yang tepat dengan gelisah. 

Luna sangat suka bicara—dan lebih berisik lagi saat bersama Leland. Hari ini pun sama. Leland lebih banyak mengangguk sambil menyesap teh. 

Penampilan Leland masih licin dan rapi. Jas dan rambutnya seolah dilapisi anti badai, tidak tampak terusik meski sejak tadi dihembus angin.

Lalu Suri melihat Luna beranjak—saat yang ditunggunya. Kegiatan Luna saat bertemu Leland—selain bicara, adalah memamerkan barang yang baru dibelinya. 

Karena Luna selalu memberi barang baru hampir setiap hari, maka keadaan ini pun mudah perkirakan oleh Suri.

“Bagus!” Suri langsung menyambar botol parfum yang disiapkannya di atas meja. 

Ia membelinya dengan diam-diam setelah mengumpulkan uang dari komisi membuat pola gaun secara online. Suri memilih parfum yang mahal, karena aromanya harus tidak cepat hilang saat terhembus angin.

Suri tidak menyemprotkan parfum itu ke tubuhnya, tapi menyemprotkan ke arah jendela, sebanyak mungkin sampai menghabiskan separuh botol. Aroma melati segar itu bergerak mengikuti angin tentu—yang mengarah ke kebun.

Lalu Suri mengintip lagi. Leland berdiri dengan hidung terangkat ke udara, mencari asal aroma yang mengusik itu. 

Suri tersenyum, lalu menyemprotkan lima pompaan lagi, agar Leland tahu dari mana sumbernya.

Kemudian ia menegakkan tubuh, miring, separuh membelakangi jendela. Namun, mata Suri masih bisa melihat ambang jendela—karena cermin itu.

Mata Suri tajam menatap cermin, nyaris tidak berkedip menunggu timing yang tepat—hanya beberapa detik lagi. 

Sesaat Suri hanya melihat pantulan tirai berkibar, kemudian rambut hitam yang ditunggunya muncul. Ini saatnya!

Perlahan, Suri melepaskan ikatan gaun yang tipis itu. Ia tidak memakai apapun dibaliknya—kecuali celana dalam tipis berenda warna putih. Gaun itu terpuruk di kakinya.

Suri melirik cermin lagi, dan melihat bagaimana mata Leland yang berwarna coklat cerah melebar. Tentu karena melihat semua luka dan lebam di punggungnya.

Suri tidak diam, ia bergerak mengambil salep yang juga sudah disiapkannya, perlahan mengoleskan salep itu pada lebam dan luka yang bisa dijangkau tangannya. Tentu keadaan itu tidak akan terlihat alami kalau ia hanya berdiri diam.

Suri dengan sengaja mendesah sesensual mungkin, mengeluh dan mendesis, setiap kali jarinya menyentuh memar di tubuhnya, tak lupa sambil memeriksa cermin. 

Leland masih ada di tempatnya, mematung menatap apapun yang dilakukan Suri tanpa berkedip. Pemandangan cantik tapi mengenaskan tersaji seperti yang diinginkan Suri. 

Kalau cantik saja, kemungkinan Leland sudah sering melihatnya—tubuh telanjang yang molek pun mungkin sudah terbiasa, mengingat ia adalah salah satu bujangan yang paling diinginkan di London.

Tapi cantik molek dan mengenaskan? Seharusnya tidak pernah. Ekstrim, tapi perlu.

Kulit Suri yang pucat ternoda oleh memar ungu dan biru, menunjukan lebam itu didapat dari waktu yang berbeda. Lalu galur merah akibat cambukan ikat pinggang yang masih segar—menunjukkan kalau ada rasa sakit yang diderita Suri.

Suri menyibak rambutnya—brunette gelap dan lurus—dengan sangat pelan, berpura-pura mengoleskan salep pada memar yang ada di bahu. Tapi tujuan Suri hanya agar Leland tidak melupakan detail tubuhnya.

Suri menghela napas… saatnya untuk memutar. Suri melangkah, menghadapkan tubuhnya ke jendela yang terbuka.

Suri memastikan mereka bertemu mata—diam mematung selama tiga detik, agar Leland bisa melihat seluruh tubuhnya, sebelum memekik dan meringkuk di lantai. Ia harus terlihat malu tentu.

Suri berharap rasa terkejut dan malu yang diperlihatkan wajahnya tampak alami, karena Leland harus yakin kalau semua yang terjadi saat ini adalah kebetulan. Suri bahkan sudah melatih mimik terkejut yang alami di cermin sebisa mungkin.

Suri melirik cermin lagi, dan Leland sudah tidak ada.

“Leland!” 

Suri mendengar panggilan Luna dari luar. 

“Ck! Kurang lama,” keluh Suri, mengira Luna akan muncul nanti. Ia hanya mengambil satu barang sepertinya. Suri berharap bisa menangis di hadapan Leland tadi, tapi belum sempat.

Suri bergerak cepat menutup jendela setelah itu, agar Luna tidak curiga. Suri masih bisa mengintip tapi.

“Kau dari mana?” tanya Luna, menarik tangan Leland menuju kebun lagi.

“Itu… ehem…” Leland tampak menunjuk sembarangan, dan harus melicinkan tenggorokan untuk menjawab. “Aku ingin melihat bunga itu. Harum sekali.” Leland melanjutkan dengan lebih lancar.

“Dari sini saja. Tidak usah kemana-mana.” Luna dengan manja menariknya duduk, dan menunjukkan tas yang baru dibelinya dari Paris dua hari lalu.

Wajah Leland kembali datar setelah itu, dengan teh di tangannya.

Suri tersenyum melihat pemandangan yang terlihat kembali damai itu. Tapi Suri tahu pikiran Leland tidak damai. Apa yang dilihatnya tadi mengusik karena sampai perlu terbata untuk menjawab pertanyaan Luna.

“Sesi pertama selesai.” Suri mengambil parfum yang tadi dilemparnya karena tergesa. Ia masih memerlukan parfum itu untuk tahap kedua, agar Leland mengingat aromanya. 

Langkah kecil, tapi harus diambil untuk memastikan Leland tidak melupakannya.

***

“Anda ingin langsung pulang, Sir?” tanya Silas, sopir sekaligus asisten Leland yang sudah menunggu dengan mesin menyala. Sudah siap berjalan, tinggal Leland menentukan tujuan.

“Silas, apa kau tahu kalau ada wanita muda lain di rumah Quinn? Bukan pelayan, anggota keluarganya,” tanya Leland dengan kening berkerut—tidak amat ingat tentang detail keterangan lain keluarga itu. 

Leland hanya tahu bagian pentingnya saja—Luna yang menjadi tunangannya. Ia tahu wanita itu bukan pelayan. Tidak ada pelayan yang menempati kamar sendirian menurut Luna tadi.

“Ada satu lagi memang.” Silas dulu membaca laporan keluarga Quinn dengan lebih teliti. “Suri… kalau tidak salah namanya Suri Quinn,” lanjutnya.

“Adik atau…” Leland ingin tahu.

“Kalau tidak salah Suri lebih tua dari Luna, tapi tidak tinggal di sini sebelumnya. Saya kurang terlalu paham kenapa mereka terpisah, tapi sekitar sepuluh tahun lalu Suri kembali tinggal di rumah ini. Lalu katanya dia sakit—maksudnya tidak sehat secara mental, karenanya tidak pernah diikutkan dalam acara keluarga, atau mengikuti pergaulan seperti Luna.” 

Silas memberi keterangan sesuai dengan apa yang diketahuinya.

Leland termangu sambil menopang dagu. Keterangan itu terdengar meyakinkan, tapi membingungkan juga. 

Kenapa tidak satu orang pun yang menyebut tentang Suri selama ini? Luna maupun ayahnya bersikap seolah Luna anak tunggal.

Kalau alasannya hanya karena Suri tidak sehat secara mental, jadi mereka menyembunyikannya, maka itu agak kejam.

“Tapi dia tidak tampak kekurangan.” Leland bergumam. Masih ingat bagaimana mata yang menatapnya tadi tampak hidup dan berakal. 

Malu saat ada orang lain yang melihat tubuhnya adalah perbuatan berakal. Juga saat ia mengobati lebamnya—peduli pada tubuhnya tentu termasuk akal sehat.

“Ada apa, Sir? Apa saya perlu mencari info lain?” tanya Silas.

Leland menggeleng. “Belum. Tapi… berjaga saja.”

Semua yang dilihatnya aneh—terutama saat menebak dari mana asal semua lebam mengerikan di tubuh Suri, tapi belum cukup untuk membuatnya ingin melakukan sesuatu. Mark Quinn bukan orang yang bisa ia tekan dengan mudah. 

Leland tidak bisa serta merta menuduh dan memancing kekacauan kalau tidak yakin akan menguntungkan bagi House of York.

“Akan saya ingat.” Silas mengangguk. Meski tidak ada perintah, tapi ketertarikan sesaat Leland kepada Suri akan dicatat Silas. 

Leland tidak biasanya mengingat wanita dengan mudah. Nama Luna saja butuh beberapa bulan untuk diingat olehnya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti
wah parah. nama tunangan nya sampai lupa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #260 Siksaan Yang Lebih Menusuk

    Lottie dan Mark saling berpandangan, tidak ada yang terucap, tapi mata mereka penuh sukacita.“Kau akan selamat… kau akan sehat lagi …” Lottie meremas tangan Mark yang mengangguk.“Suri…” Mark menatap Suri dengan mata penuh air mata haru. “Terima kasih.”Terdengar suara muak dari Leland, yang mendekati Suri. Masih ingin berusaha. “Rain… aku mohon. Jangan—”Suri mengangkat tangan, meminta Leland diam, kemudian berjalan mendekati Mark, berdiri di samping ranjangnya.“Te…terima kasih, Suri.” Mark berterima kasih lagi, bahkan berusaha meraih tangan Suri—yang mana dihindari.Suri mundur, masih dekat tapi di luar batas jangkauan tangan Mark. Pandangan Mark pun berubah heran.“Baru sekarang aku mendengar mu begitu sering menyebut namaku. Kau dulu lebih sering menyebutku ‘makhluk’, ‘anak sialan’, ‘kutukan’, ‘pembawa sial’, ‘makhluk aneh’ dan lainnya. Kau nyaris tidak pernah memanggilku dengan nama.” Suri hanya memberi sedikit contoh, masih banyak yang lainnya. Mata Mark melebar kebingungan. T

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #259 Amarah Yang Tidak Lama

    Leland ingin mencari Suri, tapi saat sampai di luar tentu Suri sudah tidak terlihat. Leland sangat bisa bertanya dimana Suri, tapi rasanya akan percuma. Suri terlihat sangat bertekad tadi.“Belum tentu akan cocok. Kau tenanglah.” Kaiden yang sudah menyusul keluar menepuk punggung Leland ingin menenangkannya.“Bagaimana kalau cocok?” Leland melotot padanya.“Well…” Kaiden mengangkat bahu. “Sekali lagi itu terserah Suri. Ia berhak memutuskan apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Apalagi ini bukan hal ilegal.”“Seharusnya ilegal! Kenapa Suri harus menghabiskan seumur hidup hanya dengan satu ginjal? Pria itu tidak pantas mendapatkan apapun dari Suri!”Leland menghempaskan diri di atas kursi sambil meremas rambutnya sendiri. Tidak berusaha mencari Suri karena ia juga yakin usahanya itu akan percuma. Suri kemungkinan tidak mau mendengarnya.“Suri lebih baik dari kita. Aku pun mungkin tidak akan sudi memberikan.” Kaiden duduk di samping Leland, menepuk pahanya.Leland hanya bisa menghela na

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #248 Keputusan yang Ditentang

    Suri mendekat, menatap mata cekung yang tidak lagi menakutkan. Suri masih ingat bagaimana mata itu membuatnya takut. Mata itu yang dipakai Mark untuk memberi peringatan padanya. Suri akan menghindar setiap kali mata itu tertuju padanya.Tapi tidak untuk saat ini, Suri menatap balik. Mata gelap itu tidak menakutkan. Tidak bisa melotot, sayu dan tampak tidak fokus. Sama sekali tidak menunjukkan tanda kalau dulu pernah menjadi sumber teror.“Su—tolong aku…” Mark berbisik, lirih. Tangannya bergerak, ingin menggapai, meminta Suri menyentuhnya.Suri hanya menatap tentu. Tangan itu yang selalu menyakitinya. Tidak mungkin Suri ingin menyentuhnya.Tangan Mark akhirnya hanya menggantung di udara—tidak bersambut, sebelum akhirnya kembali jatuh lemas.Meski hanya separuh sadar, Mark mengerti kalau dirinya baru saja diabaikan, matanya tampak memerah.“Kau tahu…” Suri bergumam, tanpa senyum, hanya tatapan.Suri tidak ingin menjelaskan emosinya memang, ia ingin Mark menebak. Juga Lottie, yang perlah

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #247 Satu Lagi Yang Runtuh

    “Kenapa kau ikut?” Leland memprotes kehadiran Kaiden di samping Silas yang sedang menyetir.Leland sudah cukup jengkel karena harus mengantar Suri, tambahan keberadaan Kaiden sangat tidak diinginkan.“Grandad yang menyuruhku. Katanya harus menjaga Suri juga.” Kaiden juga tidak berinisiatif. “Tapi memang aku ingin melihat bagaimana Quinn sekarang. Banyak yang bertanya padaku tentang mereka—terutama setelah berita itu, dan aku sudah bosan menjawab tidak tahu.”Kaiden menyebut sedikit motif lain yang membuatnya dengan rela mengikuti permintaan Martell. Karena pernikahan York dengan Quinn memang terjadi, Kaiden menjadi sasaran tanya orang yang penasaran.“Untuk apa Grandad menyuruhmu ikut?” Leland bingung.“Katanya untuk menjaga Suri.” Kaiden menyebut alasan Martell sambil mengerutkan kening. “Itu aneh.”Kaiden tadi menurut karena punya maksud lain, kini merasa alasan itu janggal.“Untuk apa juga? Sudah ada aku dan Silas.” Kejanggalan itu disebutkan oleh Leland.Bahkan Suri yang sejak tadi

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #246 Permohonan Yang Lancang

    Tapi ada satu orang yang tampak tidak waras—yaitu Lottie.“Ada ada dengannya?” gumam Suri, heran. Dari kejauhan pun mereka bisa melihat kalau Lottie dalam keadaan tidak baik-baik saja.Penampilannya berantakan. Rambutnya tidak tergelung rapi, dan mantelnya miring karena ikatan tali di pinggangnya tampak longgar. Penampilan yang sangat tidak mencerminkan Lottie seperti yang biasa dilihat Suri.“Suri!”Saat melihat Suri, Lottie langsung berseru penuh dengan kelegaan. Tidak ada bentakan atau hinaan, wajahnya murni lega saat menghampiri Suri.“Stop!” Leland tidak membiarkannya sampai menyentuh Suri tentu. Silas sudah maju dan menghadangnya dengan tangan.“Aku tidak akan melakukan apapun. Aku hanya—tolong lah!” Lottie merintih lalu membuat semua orang terkejut saat tiba-tiba saja menjatuhkan lututnya ke lantai.Suri tentu saja langsung mundur menjauh—bersama Leland. “Apa—”Suri mengangkat kedua tangannya, menghindar saat Lottie berusaha menjangkau. Suri tetap tidak mau disentuh meski sedang

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #245 Tamu Yang Merusak

    “Oh… katakan saja kau iri.” Kaiden terkekeh, “Kau iri bentuk tubuhku lebih indah darimu.” Kaiden membusungkan dadanya yang kekar, lalu menepuk perutnya yang rata.“Apa yang harus aku irikan? Kau kecil dan—”“Apa? Siapa yang kau sebut kecil?” Kaiden lebih sabar dari Leland, tapi tentu tidak akan berlega hati begitu membahas ‘kecil’.“Kau merasa perlu memamerkan karena—”“Apa menurut kalian itu hal yang pantas dibahas di meja makan?!” bentak Martell, akhirnya menengahi.“Tapi dia mengejek!” Kaiden tidak mau dimarahi tentuk karena Leland yang mencela terlebih dulu.“Karena memang benar kau menyakiti mata! Grandad juga keberatan tadi!” Leland menyeringai, merasa menang.“Kau diamlah!” Martell malah menegur Leland. “Aku hanya merasa Kaiden tidak pantas, kau malah membahas kecil dan lainnya.’“Hei! Kau seharusnya mendukungku!” Leland tidak terima dan semakin kesal.“Rasakan! Kau seharusnya tidak ikut campur!” Kaiden yang tertawa sekarang.“Jangan merasa menang! Aku masih berpendapat kau tida

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status