PLAK!
Suara tamparan yang menerpa pipi Suri menggema di ruang tamu.
“Kau tolol atau memang buta? Sudah berapa kali aku katakan kalau warnanya harus hijau dan merah!” Luna menunjuk Suri yang menunduk sambil mengusap pipinya yang panas.
“Apa masih kurang jelas? Tema pestanya adalah taman, dan kau memakai warna kuning?!” Luna merobek kain kuning yang menjadi bagian dari gaun—yang juga sumber kemarahannya.
“Ta… tapi… kau ingin yang ce…cerah. A.. kku pikir warna itu… a..akan melambangkan bunga, masih sesuai dengan ttt…tema.” Suri menjawab terpatah-patah, sambil menatap kain yang kini terkoyak dengan mata nanar. Apa yang ada di gaun itu semua hasil kerja kerasnya.
Bordir, manik, sampai helaian benang yang menyatukan lembaran kain berpola itu semua hasil kerja tangannya. Meski Suri sudah memperkirakan kemarahan itu, tapi hatinya masih merasa nyeri saat melihat kain itu robek di tangan Luna.
“Kau ingin membuatku terlihat seperti bunga Fresia yang murahan itu? Aku meminta merah karena mawar! Aku ingin terlihat seperti mawar!” pekik Luna, semakin marah karena Suri berani menjawab.
“Aku harus mengatakan apa lagi agar kau paham? Pakai otakmu!” Luna mendorong kepala Suri memakai telunjuknya.
“Belum…” Suri bergumam amat lirih, Luna tidak mendengarnya. “Tt..tapi ini bagus juga. K..kau akan…”
“Jangan membantah lagi!” Luna dengan gemas mencubit lengan Suri, cubitan yang terasa seperti capitan besi di kulit Suri—membuat kulitnya yang pucat memerah. Lalu disusul cubitan lain.
Luna yang belum puas—merasa kalau cubitan itu belum cukup menyakiti, meraih vas bunga yang besarnya menyamai paha Suri, dan melemparnya.
Suri bisa menghindar, jaraknya masih cukup untuk bergeser agar vas itu lewat di sampingnya, tapi kali ini tidak perlu. Suri menghadang memakai punggung, tempat yang sudah pasti akan memperlihatkan memar nantinya, karena vas itu berat oleh air dan bunga.
Suri terjerembab bersama dengan vas, sesak dan karena benturan itu setara dengan hantaman.
Tapi Suri memaksakan dirinya untuk berdiri. Kalau ia terus tergeletak, Luna akan berhenti memukulnya. Ini tidak boleh terjadi.
Suri dengan hati-hati menghindari pecahan vas—ia menginginkan memar tapi bukan luka terbuka—belum saatnya. Luka akan membuatnya bergerak lambat. Ia butuh cepat saat ini.
“Perbaiki sekarang juga! Aku ingin warna merah!” Luna melemparkan gaun yang sudah rusak itu.
“Tapi… a..a..akan lama,” kata Suri, sambil menunduk. Menunjukkan ketidakmampuan agar Luna semakin marah.
“Aku tidak peduli! Aku sudah mengatakan padamu untuk memakai warna merah dan hijau!”
Luna lalu menatap ke atas, dan berseru lebih kencang. “DAD!” Luna memanggil bala bantuan.
Suri mengepalkan tangan. Masih seperti yang ia inginkan, tapi jelas akan lebih sakit.
“DAD!” Luna memanggil lagi, sampai akhirnya seorang pria tambun dengan gelas wine di tangannya, muncul di balkon lantai dua.
Mark mengerutkan kening saat melihat kekacauan di lantai bawah, lalu menuruni tangga.
Suri meremas celana yang dipakainya agar tidak gemetar saat Mark mendekat. Ia sudah tahu dan menanti apa yang akan terjadi, tapi tidak bisa menghentikan gemetar akibat rasa takut.
Tubuhnya tetap ingat rasa sakit apa yang dihasilkan Mark. Suri kali ini tidak perlu berpura-pura takut seperti saat bersama Luna tadi, karena ia benar-benar takut sekarang.
PLAK!
Tamparan dari tangan Mark yang lebih gemuk dibanding Luna, membuat Suri terpental jatuh. Mark menampar sekuat tenaga.
Suri butuh beberapa saat untuk bergerak lagi, karena kepalanya pusing. Tamparan itu jelas lebih keras dari apa yang diperkirakannya.
“Rasakan! Kau seharusnya menurut saja saat aku meminta tadi.” Luna terkekeh, menikmati penderitaan Suri yang kini tampak bersusah payah untuk bangun.
“Kau membuat kerusakan lagi!” bentak Mark. Sudah jelas menutup mata kalau yang sejak tadi merusak adalah Luna. Ia yang merobek gaun, pun yang membanting vas.
Mark memang akan selalu menyalahkan Suri terkait hal salah apapun yang terjadi di rumah megah itu. Bahkan saat ada toples yang terjatuh karena Maxi—kucing peliharaan Luna—tetap Suri yang disalahkan.
Luna akan menyebut Suri lupa memberi makan, jadi kucing hitam legam yang lebih gembul dari Suri itu, bertingkah.
“Tapi.. ttapi Luna yang… membantingnya.” Suri bergumam agak keras, tahu apa akibatnya tapi memberanikan diri bicara. Seluruh tubuhnya gemetar lebih hebat lagi sekarang, kenekatannya ini akan dibayar mahal, tapi perlu.
“Kau masih tidak terima? Kalau bukan karena ketololanmu membuat gaun dengan warna yang salah, aku tidak perlu berteriak sejak tadi! Melelahkan juga!” jerit Luna, menolak disalahkan.
Mark melirik ke arah Luna, meminta penjelasan.
“Aku butuh gaun untuk pesta pernikahan Marian lusa nanti.” Luna menjelaskan dengan nada manja dan wajah bersungut-sungut.
“Aku ingin gaun custom yang tidak dimiliki siapapun, dan sudah memintanya membuat gaun dari sebulan lalu. Aku sudah mengatakan juga apa tema dan warna yang aku inginkan. Tapi dia malah membuat gaun dengan selipan warna kuning mustard yang mengerikan!”
Luna menunjuk gaun yang kini ada dalam genggaman Suri. “Aku tidak mungkin muncul dengan gaun seperti itu! Apa kata penggemarku nanti?” Luna mulai terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Suri melirik, mengamati untuk belajar cara membuat tangisan menjadi meyakinkan. Luna tidak benar-benar menangis. Wajahnya kering kerontang. Hanya Luna butuh pura-pura menangis agar Mark menghukum Suri.
“Suruh saja dia membuat lagi.” Mark dengan enteng mengusulkan.
“T..tidak… tidak bisa. T..terlalu singkat!” Suri langsung menyahut. Bisa sebenarnya, karena sudah disiapkan, tapi Suri belum mendapatkan apa yang diinginkannya, jadi tidak akan mengaku.
“Lalu kau ingin aku memakai baju apa? Aku tidak mau membeli di butik! Orang-orang akan mengejek kalau tahu aku memakai baju pasaran!” Luna merengek.
Ia dikenal sebagai penyanyi yang selalu memakai baju custom buatan sendiri. Membeli gaun di butik adalah bencana yang keparahannya setara gempa bumi untuk Luna.
“Buat saja! Dua hari masih bisa!” Mark langsung membentak, mendera Suri untuk melakukan pekerjaan yang terdengar mustahil.
“Tttapi…”
“Jangan membantah lagi! Kerjakan saja!” Luna menjerit sambil menghentakkan kakinya ke lantai marmer. Perilaku yang kurang lebih menyamai anak usia 5 tahun, tapi itu pemandangan normal.
“Ttidak… bi.. bisa. Bagaimana caranya?” Suri memberanikan diri mendongak. Ini perlawanan paling berani yang dilakukannya selama beberapa tahun ini. Tapi memang ini adalah puncak dari rencananya.
“Kau yang memikirkan caranya! Kau yang salah sejak awal! Dasar tidak berguna!” Luna tentu saja menyebut hinaan yang juga biasa didengar Suri, dan kali ini dinantikannya.
“Kalau memang tidak berguna maka biarkan aku pergi!” pekik Suri. Sekuat tenaga sampai lupa untuk terbata, karena sejak tadi yang ditunggunya adalah kesempatan untuk bisa menjeritkan kalimat itu—kalimat yang paling dibenci oleh Mark.
“TUTUP MULUTMU!” Mark maju sambil membentak menggelegar. Tangannya dengan fasih membuka ikat pinggang yang dipakainya, lalu mengayunkannya ke arah Suri.
Cambukan ikat pinggang itu mengenai lengan atas Suri yang terbuka—ia hanya memakai kaos pendek, meninggalkan bekas memar lain.
Lalu saat Suri berbalik, Mark mendera punggung yang tadi sudah memar oleh hantaman vas. Suri meringkuk sambil memeluk kepalanya, melindungi kepalanya agar tidak ada yang terkena sabetan—ia butuh wajahnya tetap sempurna hari ini.
Suri memastikan semua cambukan pedas itu hanya mengenai punggungnya.
“Dasar anak tidak tahu terima kasih!”
“Seharusnya kau tahu diri.”
“Kami mengambilmu hanya karena kasihan.”
“Kau mati di sana pun tidak ada yang peduli.”
Suri tidak amat mendengar lagi setelah itu—entah yang meneriakkannya Mark atau Luna, tidak ada bedanya. Ia fokus pada cambukan itu, menghitung, berharap rasa sakitnya akan berkurang.
Kurang lebih dua puluh kali sebelum akhirnya Mark puas, berhenti karena memang staminanya tidak sangat bagus. Napasnya sudah terengah dan sulit.
“Jangan berani-beraninya kau menyebut tentang pergi lagi! Berterima kasihlah kami masih mau menampungmu meski kau tidak berguna!” desis Mark, sambil menyenggol lutut Suri dengan ujung sepatunya.
Suri masih punya balasan sebenarnya—’aku tidak meminta kalian menampungku’, lalu ‘aku juga tidak mau ada di sini’, atau ‘kau yang memaksaku ke sini’—tapi Suri masih ingin hidup, jadi akan menyimpan balasan itu sampai nanti saat membutuhkannya.
Keberadaannya di rumah itu atas keinginan Mark, yang membawanya dari Edinburgh ke London, jadi balasan Suri itu benar. Tapi menjadi benar dan masuk akal juga terlarang untuk Suri.
Suri menggerakkan kepalanya—agar terlihat mengangguk. Cambukan itu adalah hal yang ditunggunya, tidak perlu lagi memancing.
“Sir!” Pelayan masuk dengan tergesa, ingin melapor pada Mark. “Duke of York sudah memasuki gerbang,” katanya.
“Leland!” Luna memekik dan tangis yang tadi mendadak hilang.
“Cepat! Bereskan itu semua!” Luna dengan panik menunjuk kekacauan di depannya—termasuk Suri.
“Buat teh dan antarkan ke kebun di belakang!” Luna mengatur pelayan lain, karena kebun itu yang akan dipakainya untuk menjamu Leland.
“Jangan lupa perbaiki gaunku!” Luna masih sempat berteriak pada Suri saat melangkah keluar untuk menyambut tunangannya itu.
Tanpa banyak bicara, Suri ikut ‘dibereskan’ oleh pelayan di rumah itu—tidak ada yang tampak heran, karena sudah kegiatan sehari-hari.
Mereka membantu Suri berjalan ke kamar, lalu meninggalkannya setelah mengunci pintu—sama seperti saat menyimpan barang.
Tapi Suri langsung bangkit begitu mendengar suara kunci berputar.
Lemasnya tidak tampak lagi, karena Suri memaksakan diri untuk bergerak cepat. Ini adalah yang waktu sudah ia tunggu selama beberapa bulan ke belakang.
Waktu untuk menggoda Leland.
Haloo. Terima kasih sudah mampir. Semoga suka dan jatuh cinta sama Leland... Eh, Suri maksudnya :)) Jangan lupa tinggalkan rate dan komen ya. Lope... lope sekebon :))
Secepat mungkin, Leland melemparkan selimut yang sempat tersingkir ke bawah ranjang—menutupi Suri yang juga langsung berbaring lurus di atas ranjang .Selimut itu cukup tebal—memperlihatkan tekstur tapi setidaknya masih tersamar. Tidak terlihat ada manusia di balik selimut itu—hanya terlihat seperti tumpukan selimut yang berantakan.“Apa kau baru mandi?” Luna masuk dengan langkah goyah, dan melihat Leland yang berdiri dalam balutan bathrobe berantakan.Keadaan yang masih pantas dilihat. Leland agak bersyukur, Luna bisa saja masuk pada saat yang lebih panas. Lalu memaki dalam hati, karena lupa tidak mengunci pintu. Tidak merasa perlu lebih tepatnya karena biasanya tidak akan ada orang yang berani memasuki kamarnya tanpa izin.Leland lupa kalau sedang berada di dalam atmosfer yang sama dengan Luna. Wanita yang merasa tidak perlu meminta izin saat memasuki kamarnya.“Apa kau mabuk?” Leland menyadari kalau Luna tidaklah amat sadar. Selain langkahnya yang goyah, pandangan matanya juga tida
Rencana balas dendam… rencana… balas dendam… rencana…Suri berusaha… ingin mengingat apa tujuannya hari ini—menjerat Leland, bukan untuk berguling di ranjang bersamanya. Tapi bahkan bisikan dalam kepalanya itu terdengar semakin samar. Suri merencanakan mereka akan bicara—hal ringan saja, tidak perlu hal penting, asalkan ia bisa menampilkan kesan agak bodoh dan polos. Agar Leland tidak meragukan apapun kisahnya nanti.Tapi apa? Suri malah harus berjuang agar waras—yang mana sulit, karena bibir dan tangan Leland seolah masing-masing memiliki akal sendiri dan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membuat Suri menggelinjang nikmat.Suri bahkan melupakan nyeri lebam di punggungnya, karena Leland memang tidak menyentuh bagian itu. Jari yang kini mengelus dan mengusap seluruh lekuk bagian depan tubuh Suri tahu benar mana tempat yang harus disentuh.“Hangat…kau hangat sekali…” bisik Leland, memuji saat Suri memeluk kepalanya dalam erangan panjang. Suri melepaskan kenikmatan, hasil dari
Suri meringkuk sambil menutup kedua telinganya. Menjerit lagi saat ada sambaran petir kedua. “Bodoh… bodoh…” Suri memaki dirinya sendiri sambil terus menutup mata dengan kening menempel di tanah berumput. Lupa sudah seluruh rencana yang disusunnya, Suri akan lari berlindung begitu petir itu selesai.Tapi langit seolah mengejek seluruh rencana Suri. Setelah menurunkan hujan yang di luar perkiraan, mengadakan petir tepat di jantung rencananya, sekarang langit terus mencurahkan petir tanpa henti yang membuat Suri terlalu takut bergerak.“Selesailah… kau akan baik-baik saja… tidak ada yang mati.” Suri berusaha memberanikan diri, tapi bayangan sosok tubuh yang gosong melepuh di depan matanya sangat jelas terbayang. Tubuh yang mengulurkan tangan meminta pertolongan, tapi Suri terlalu takut untuk bergerak.Sekarang, otak Suri mengulang seluruh kenangan itu, dan membuat tubuhnya seolah lumpuh, hanya sanggup tersentak setiap kali petir memecah langit.“HEI!”Suri tersentak lagi. Bukan petir, t
“Hujan?”Suri mengeluh saat mendengar tetes air dari luar. Ia hanya membuat rencana untuk malam cerah. Suri sudah memeriksa prakiraan cuaca juga dan seharusnya malam ini cerah. Tapi siapapun yang mengumpulkan data alam untuk hari ini sepertinya melakukan pekerjaan buruk sampai prakiraannya meleset.Suri menarik tirai dan melihat hujan bertambah deras. Untungnya pernikahan itu masih bertema indoor, jadi tidak akan berdampak untuk acara besar besok, tapi tetap saja berdampak untuk Suri.Suri menatap ke arah kamar Leland dan melihat lampunya masih mati. Kemungkinan ia belum datang, tapi pasti sebentar lagi.Suri mengulurkan tangan sampai tetes hujan membasahinya, memikirkan cara cepat untuk membuat Leland menatapnya.Suri tadinya ingin duduk di teras, dan Leland akan melihatnya. Pertemuan ‘tidak sengaja’ yang lain. Lebih mengesankan, terutama kalau dirinya terlihat menangis sendirian, memelas bersama hembusan angin malam dan lainnya.Tapi tidak akan bisa terlihat di antara tetes air huj
Seperti yang diperkirakan Lottie, mereka tidak peduli. Percaya saja begitu Suri diperkenalkan sebagai asisten Luna.Tidak aneh juga kalau Luna bepergian membawa asisten, karena saat bekerja pun, Luna selalu membawa managernya. “Kau pasti semakin sibuk saja pasti sampai memerlukan asisten tambahan.” Leah, salah satu teman Luna yang menjadi bridesmaid, menatap Suri dengan pandangan prihatin karena penampilannya.Suri sudah memakai baju miliknya yang paling bagus, yaitu celana jeans pudar berpadu dengan blouse biru dan cardigan longgar, tapi belum cukup baik untuk disandingkan dengan kemilau tamu lain yang datang ke resort itu.Mereka semua datang membawa penampilan indah yang tidak mengandung rambut berkuncir memakai karet gelang seadanya dan kacamata minus besar seperti Suri.Suri sebenarnya bisa memilih gaun lain, tapi Luna hanya mengizinkan pakaian yang tertutup rapat tentu, agar memar di lengan Suri tidak terlihat orang lain.“Kau akan membawanya ke acara malam ini? Tidak akan coco
“Kenapa belum selesai? Aku ingin memakainya sekarang!”Seperti biasa, Luna menjerit begitu kenyataan hidup tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Suri baru saja mengatakan kalau gaun yang diinginkannya belum selesai. Kesalahan yang langsung diukur sejajar dengan tindakan kriminal oleh Luna. “Aku harus berangkat sebentar lagi!” bentak Luna sambil mendorong tubuh Suri, dan merebut gaun yang ada di tangannya.Ia baru puas setelah memeriksa sendiri kalau memang jahitannya belum sempurna. Tapi bukan tidak mungkin. Hanya bagian lengan yang masih terbuka, juga sedikit merapikan ujung gaun.Untuk warna dan model, Luna tidak memiliki keluhan. Sudah sesuai dengan apa yang diinginkannya. Apa yang ia bayangkan saat meminta gaun itu pada Suri sudah dituruti dan memang seindah itu.Akan sangat sayang kalau tidak dipakai saat pesta pernikahan sepupunya itu. Luna sangat ingin memakainya. Sudah ada perhiasan dan make up yang bisa dipadukan.Luna menatap gaun itu sambil mendesah. “Berapa lama la