Home / Romansa / Mencuri Calon Suami Adikku / #001 Sakit Yang Aku Butuhkan

Share

Mencuri Calon Suami Adikku
Mencuri Calon Suami Adikku
Author: aisakurachan

#001 Sakit Yang Aku Butuhkan

Author: aisakurachan
last update Last Updated: 2025-07-28 11:51:18

PLAK!

Suara tamparan yang menerpa pipi Suri menggema di ruang tamu.

“Kau tolol atau memang buta? Sudah berapa kali aku katakan kalau warnanya harus hijau dan merah!” Luna menunjuk Suri yang menunduk sambil mengusap pipinya yang panas.

“Apa masih kurang jelas? Tema pestanya adalah taman, dan kau memakai warna kuning?!” Luna merobek kain kuning yang menjadi bagian dari gaun—yang juga sumber kemarahannya.

“Ta… tapi… kau ingin yang ce…cerah. A.. kku pikir warna itu… a..akan melambangkan bunga, masih sesuai dengan ttt…tema.” Suri menjawab terpatah-patah, sambil menatap kain yang kini terkoyak dengan mata nanar. Apa yang ada di gaun itu semua hasil kerja kerasnya.

Bordir, manik, sampai helaian benang yang menyatukan lembaran kain berpola itu semua hasil kerja tangannya. Meski Suri sudah memperkirakan kemarahan itu, tapi hatinya masih merasa nyeri saat melihat kain itu robek di tangan Luna.

“Kau ingin membuatku terlihat seperti bunga Fresia yang murahan itu? Aku meminta merah karena mawar! Aku ingin terlihat seperti mawar!” pekik Luna, semakin marah karena Suri berani menjawab.

“Aku harus mengatakan apa lagi agar kau paham? Pakai otakmu!” Luna mendorong kepala Suri memakai telunjuknya.

“Belum…” Suri bergumam amat lirih, Luna tidak mendengarnya.  “Tt..tapi ini bagus juga. K..kau akan…”

“Jangan membantah lagi!” Luna dengan gemas mencubit lengan Suri, cubitan yang terasa seperti capitan besi di kulit Suri—membuat kulitnya yang pucat memerah. Lalu disusul cubitan lain.

Luna yang belum puas—merasa kalau cubitan itu belum cukup menyakiti, meraih vas bunga yang besarnya menyamai paha Suri, dan melemparnya.

Suri bisa menghindar, jaraknya masih cukup untuk bergeser agar vas itu lewat di sampingnya, tapi kali ini tidak perlu. Suri menghadang memakai punggung, tempat yang sudah pasti akan memperlihatkan memar nantinya, karena vas itu berat oleh air dan bunga.

Suri terjerembab bersama dengan vas, sesak dan  karena benturan itu setara dengan hantaman. 

Tapi Suri memaksakan dirinya untuk berdiri. Kalau ia terus tergeletak, Luna akan berhenti memukulnya. Ini tidak boleh terjadi.

Suri dengan hati-hati menghindari pecahan vas—ia menginginkan memar tapi bukan luka terbuka—belum saatnya. Luka akan membuatnya bergerak lambat. Ia butuh cepat saat ini.

“Perbaiki sekarang juga! Aku ingin warna merah!” Luna melemparkan gaun yang sudah rusak itu.

“Tapi… a..a..akan lama,” kata Suri, sambil menunduk. Menunjukkan ketidakmampuan agar Luna semakin marah.

“Aku tidak peduli! Aku sudah mengatakan padamu untuk memakai warna merah dan hijau!”

Luna lalu menatap ke atas, dan berseru lebih kencang. “DAD!” Luna memanggil bala bantuan. 

Suri mengepalkan tangan. Masih seperti yang ia inginkan, tapi jelas akan lebih sakit.

“DAD!” Luna memanggil lagi, sampai akhirnya seorang pria tambun dengan gelas wine di tangannya, muncul di balkon lantai dua.

Mark mengerutkan kening saat melihat kekacauan di lantai bawah, lalu menuruni tangga.

Suri meremas celana yang dipakainya agar tidak gemetar saat Mark mendekat. Ia sudah tahu dan menanti apa yang akan terjadi, tapi tidak bisa menghentikan gemetar akibat rasa takut.

Tubuhnya tetap ingat rasa sakit apa yang dihasilkan Mark. Suri kali ini tidak perlu berpura-pura takut seperti saat bersama Luna tadi, karena ia benar-benar takut sekarang.

PLAK!

Tamparan dari tangan Mark yang lebih gemuk dibanding Luna, membuat Suri terpental jatuh. Mark menampar sekuat tenaga.

Suri butuh beberapa saat untuk bergerak lagi, karena kepalanya pusing. Tamparan itu jelas lebih keras dari apa yang diperkirakannya.

“Rasakan! Kau seharusnya menurut saja saat aku meminta tadi.” Luna terkekeh, menikmati penderitaan Suri yang kini tampak bersusah payah untuk bangun.

“Kau membuat kerusakan lagi!” bentak Mark. Sudah jelas menutup mata kalau yang sejak tadi merusak adalah Luna. Ia yang merobek gaun, pun yang membanting vas.

Mark memang akan selalu menyalahkan Suri terkait hal salah apapun yang terjadi di rumah megah itu. Bahkan saat ada toples yang terjatuh karena Maxi—kucing peliharaan Luna—tetap Suri yang disalahkan. 

Luna akan menyebut Suri lupa memberi makan, jadi kucing hitam legam yang lebih gembul dari Suri itu, bertingkah.

“Tapi.. ttapi Luna yang… membantingnya.” Suri bergumam agak keras, tahu apa akibatnya tapi memberanikan diri bicara. Seluruh tubuhnya gemetar lebih hebat lagi sekarang, kenekatannya ini akan dibayar mahal, tapi perlu.

“Kau masih tidak terima? Kalau bukan karena ketololanmu membuat gaun dengan warna yang salah, aku tidak perlu berteriak sejak tadi! Melelahkan juga!” jerit Luna, menolak disalahkan.

Mark melirik ke arah Luna, meminta penjelasan.

“Aku butuh gaun untuk pesta pernikahan Marian lusa nanti.” Luna menjelaskan dengan nada manja dan wajah bersungut-sungut. 

“Aku ingin gaun custom yang tidak dimiliki siapapun, dan sudah memintanya membuat gaun dari sebulan lalu. Aku sudah mengatakan juga apa tema dan warna yang aku inginkan. Tapi dia malah membuat gaun dengan selipan warna kuning mustard yang mengerikan!”

Luna menunjuk gaun yang kini ada dalam genggaman Suri. “Aku tidak mungkin muncul dengan gaun seperti itu! Apa kata penggemarku nanti?” Luna mulai terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Suri melirik, mengamati untuk belajar cara membuat tangisan menjadi meyakinkan. Luna tidak benar-benar menangis. Wajahnya kering kerontang. Hanya Luna butuh pura-pura menangis agar Mark menghukum Suri.

“Suruh saja dia membuat lagi.” Mark dengan enteng mengusulkan.

“T..tidak… tidak bisa. T..terlalu singkat!” Suri langsung menyahut. Bisa sebenarnya, karena sudah disiapkan, tapi Suri belum mendapatkan apa yang diinginkannya, jadi tidak akan mengaku.

“Lalu kau ingin aku memakai baju apa? Aku tidak mau membeli di butik! Orang-orang akan mengejek kalau tahu aku memakai baju pasaran!” Luna merengek. 

Ia dikenal sebagai penyanyi yang selalu memakai baju custom buatan sendiri. Membeli gaun di butik adalah bencana yang keparahannya setara gempa bumi untuk Luna.

“Buat saja! Dua hari masih bisa!” Mark langsung membentak, mendera Suri untuk melakukan pekerjaan yang terdengar mustahil.

“Tttapi…”

“Jangan membantah lagi! Kerjakan saja!” Luna menjerit sambil menghentakkan kakinya ke lantai marmer. Perilaku yang kurang lebih menyamai anak usia 5 tahun, tapi itu pemandangan normal. 

“Ttidak… bi.. bisa. Bagaimana caranya?” Suri memberanikan diri mendongak. Ini perlawanan paling berani yang dilakukannya selama beberapa tahun ini. Tapi memang ini adalah puncak dari rencananya.

“Kau yang memikirkan caranya! Kau yang salah sejak awal! Dasar tidak berguna!” Luna tentu saja menyebut hinaan yang juga biasa didengar Suri, dan kali ini dinantikannya.

“Kalau memang tidak berguna maka biarkan aku pergi!” pekik Suri. Sekuat tenaga sampai lupa untuk terbata, karena sejak tadi yang ditunggunya adalah kesempatan untuk bisa menjeritkan kalimat itu—kalimat yang paling dibenci oleh Mark.

“TUTUP MULUTMU!” Mark maju sambil membentak menggelegar. Tangannya dengan fasih membuka ikat pinggang yang dipakainya, lalu mengayunkannya ke arah Suri.

Cambukan ikat pinggang itu mengenai lengan atas Suri yang terbuka—ia hanya memakai kaos pendek, meninggalkan bekas memar lain. 

Lalu saat Suri berbalik, Mark mendera punggung yang tadi sudah memar oleh hantaman vas. Suri meringkuk sambil memeluk kepalanya, melindungi kepalanya agar tidak ada yang terkena sabetan—ia butuh wajahnya tetap sempurna hari ini.

Suri memastikan semua cambukan pedas itu hanya mengenai punggungnya. 

“Dasar anak tidak tahu terima kasih!” 

“Seharusnya kau tahu diri.”

“Kami mengambilmu hanya karena kasihan.”

“Kau mati di sana pun tidak ada yang peduli.”

Suri tidak amat mendengar lagi setelah itu—entah yang meneriakkannya Mark atau Luna, tidak ada bedanya. Ia fokus pada cambukan itu, menghitung, berharap rasa sakitnya akan berkurang.

Kurang lebih dua puluh kali sebelum akhirnya Mark puas, berhenti karena memang staminanya tidak sangat bagus. Napasnya sudah terengah dan sulit.

“Jangan berani-beraninya kau menyebut tentang pergi lagi! Berterima kasihlah kami masih mau menampungmu meski kau tidak berguna!” desis Mark, sambil menyenggol lutut Suri dengan ujung sepatunya.

Suri masih punya balasan sebenarnya—’aku tidak meminta kalian menampungku’, lalu ‘aku juga tidak mau ada di sini’, atau ‘kau yang memaksaku ke sini’—tapi Suri masih ingin hidup, jadi akan menyimpan balasan itu sampai nanti saat membutuhkannya.

Keberadaannya di rumah itu atas keinginan Mark, yang membawanya dari Edinburgh ke London, jadi balasan Suri itu benar. Tapi menjadi benar dan masuk akal juga terlarang untuk Suri.

Suri menggerakkan kepalanya—agar terlihat mengangguk. Cambukan itu adalah hal yang ditunggunya, tidak perlu lagi memancing.

“Sir!” Pelayan masuk dengan tergesa, ingin melapor pada Mark. “Duke of York sudah memasuki gerbang,” katanya.

“Leland!” Luna memekik dan tangis yang tadi mendadak hilang.

“Cepat! Bereskan itu semua!” Luna dengan panik menunjuk kekacauan di depannya—termasuk Suri.

“Buat teh dan antarkan ke kebun di belakang!” Luna mengatur pelayan lain, karena kebun itu yang akan dipakainya untuk menjamu Leland.

“Jangan lupa perbaiki gaunku!” Luna masih sempat berteriak pada Suri saat melangkah keluar untuk menyambut tunangannya itu.

Tanpa banyak bicara, Suri ikut ‘dibereskan’ oleh pelayan di rumah itu—tidak ada yang tampak heran, karena sudah kegiatan sehari-hari.

Mereka membantu Suri berjalan ke kamar, lalu meninggalkannya setelah mengunci pintu—sama seperti saat menyimpan barang. 

Tapi Suri langsung bangkit begitu mendengar suara ceklikan dari handle pintu.

Lemasnya tidak tampak lagi, karena Suri memaksakan diri untuk bergerak cepat. Ini adalah yang waktu sudah ia tunggu selama beberapa bulan ke belakang.

Waktu untuk menggoda Leland.

aisakurachan

Haloo. Terima kasih sudah mampir. Semoga suka dan jatuh cinta sama Leland... Eh, Suri maksudnya :)) Jangan lupa tinggalkan rate dan komen ya. Lope... lope sekebon :))

| 12
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Haruki Matsuda
wah..baru buka pesannya kk..jd baru liat..cerita baru... baru baca udah bikin cemas dgn penderitaan suri
goodnovel comment avatar
Elly theo
Aku malah baru tau skrg kak yanti............
goodnovel comment avatar
Yanti
ah baru tahu kemarin dan baru sempat baca sekarang. sdh deg²an duluan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #107 Pengaruh Yang Ditanamkan

    “Itu dia.” Lottie lega saat melihat Rowena berdiri bersama seorang gadis yang tampak asing.“Siapa?” Luna yang ada di sampingnya berbisik, ia menunjuk gadis itu karena merasa gadis itu cukup dekat dengan Rowena. Mereka bicara dengan kepala yang nyaris menempel.“Entahlah. Tamu mungkin.” Lottie belum pernah melihat—maupun bertemu. Ia akan ingat kalau pernah bertemu karena memang sangat menawan. Kostum yang dipakainya cantik—mode cinderella berwarna biru, dan jelas terlihat dibuat dengan hati-hati. Bukan orang sembarangan.“Sudahlah. Fokus pada Rowena.” Lottie tidak akan membahas wanita yang tidak dikenalnya.“Bukan anaknya?” Luna menebak.“Bukan, terlalu tua.” Lottie tahu Rowena memiliki putri yang sangat cemerlang dan bukan itu orangnya. Ia pernah bertemu.“Lady Rowena.” Lottie menyapa hangat begitu sampai di hadapannya.“Terima kasih atas undangannya. Saya gembira melihat Anda sehat.” Lottie berbasa-basi biasa.Rowena menyambut jabat tangan, dan ciuman pipi kanan-kiri seperti biasa,

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #106 Lupa Yang Agak Fatal

    “Kita masih punya banyak waktu, jadi tenang saja.”Suri langsung merasa hina, karena Leland malah sudah kembali serius memijat, sementara otaknya masih perlu disucikan.“Ka–kau serius sa–at mengatakan bisa memijat.” Suri mengalihkan pikirannya agar kembali suci. Suri dulu juga nyaris tidak bisa membedakan tangan Leland dengan wanita yang melakukan pijatan saat di resort.“Memang aku serius—aku belajar secara serius. Seharusnya kau tahu kalau tangan ini sangat profesional.” Leland mengangkat kedua tangannya.“Ke–kemampuan ya–ng random. Untuk a–pa?” Suri jelas menganggap ilmu itu sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh Leland.Ia bisa membayar siapapun untuk memijatnya—atau siapapun yang diinginkan—tidak perlu belajar sendiri. “Ibuku. Dia memiliki masalah di kaki,” kata Leland sambil meremas betis Suri.“Mom tidak suka memakai hak tinggi, tapi harus karena acara seperti ini. Ia akan cepat kesal saat terapis langganannya tiba-tiba cuti atau berhalangan. Aku memijatnya sekali dan ibuku menga

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #105 Hangat Yang Dulu Tidak Terlihat

    “Bagaimana kau bisa mengubahnya begitu cepat?” Leland dengan heran menatap gaun yang akan dipakai Suri nanti.Masih menempel di manekin, Suri sudah bersiap memakai, tapi Maxi dengan ribut mengeong dan mengganggu kakinya. Suri harus mengelusnya beberapa kali sebelum bisa melangkah.Ini yang memberi waktu bagi Leland untuk kagum pada hasil kerja tangan Suri. Setelah pulang dari bakery milik Mae, kemarin Leland baru memberitahu kalau mereka harus menghadiri acara Rowena. Agak terpaksa karena sudah berjanji.Leland menawarkan pada Suri untuk membeli gaun baru, tapi Suri menolak dan mengatakan punya gaun yang tepat untuk acara itu. Acara yang dihadirinya adalah bukan sekedar pesta biasa—tapi pesta dengan tema. Kostumnya harus khusus.Untuk Leland, tidak perlu banyak berpikir. Ada Silas yang menyiapkannya, dan memang lebih mudah. Pernik dan aksesoris Suri yang lebih banyak. Tapi Suri ternyata hanya perlu membeli beberapa yang cukup umum, juga penyesuaian untuk kostum dari gaun yang sudah a

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #104 Uang Yang Sangat Banyak

    “Jangan begitu!” sergah Suri. “Aku sudah cemas saat Leland hampir mengenalimu kemarin.”Jelas tidak akan mengizinkan Connor menantang bahaya sejauh itu—berbahaya juga untuknya.Dan Suri tahu ia juga tidak boleh terlalu lama bertemu Connor saat ini. Ia segera mengambil dompet dan menyerahkan kartu kreditnya pada Connor.“Oke.” Connor dengan santai mengeluarkan mesin pembaca kartu kredit dari dalam tasnya lalu menggesekkan kartu itu pada mesin. Ia mengetikkan jumlah uang yang harus dibayar Suri, dan memprosesnya.“Kenapa banyak sekali? Berapa jumlah nolnya?” Sarah panik saat melihat berapa kali Connor menekan angka nol. Ia bahkan belum selesai menghitung jumlah nol dalam nominal itu saat layar mesin itu kembali berganti.“Apa yang kau lakukan, Suri?” Sarah menatap Suri, langsung mencium ketidakberesan lagi.“Tidak ada, Sarah.” Suri menenangkan“Tidak ada bagaimana? Kau melakukan apa dengannya?” Sarah meremas tangan Suri, sangat cemas.“Yang pasti Suri tidak membayar jumlah itu untuk tubu

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #103 Pria Yang Harus Rahasia

    “Anda ingin memesan apa?” Mae mengetuk meja kasir sambil tersenyum, menarik perhatian Leland yang sejak tadi hanya berdiri di depan etalase, tanpa benar-benar memilih.“Kopi.” Itu saja yang terlintas dalam benak Leland.“Ah! Kebetulan sekali” Mae tampak girang. “Kami baru seminggu ini menjual kopi, dan belum banyak peminatnya. Kami juga menyediakan banyak kue baru dengan rasa kopi. Ini… dan ini juga. Semuanya menu baru.” Mae dengan bersemangat menunjuk kue-kue terbaru buatannya.“Kau baru seminggu menjual kopi di cafe?” Leland tidak jadi memilih karena terlalu heran. Tentu saja aneh mendengar ada cafe yang tidak menyediakan kopi. Teh dan kopi seperti menu wajib yang harus ada di cafe.“Saya tidak menyukai aroma kopi, tapi sekarang sudah mulai terbiasa. Jadi mulai menjualnya.” Mae menjelaskan dengan senyu, simpul.“Tidak menyukai aroma kopi?” Leland nyaris merasa terhina saat mendengarnya. Kopi termasuk aroma yang menurutnya paling eksotik—bersanding sama dengan melati.“Ya, preferensi

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #102 Rahasia Yang Tiba-Tiba

    “Temanmu di sini? Dia bisa menyewa tanah di toko di area ini?” Leland kaget saat Silas menghentikan toko di area yang strategis.“Pasti dia sangat percaya diri dengan kemampuannya membuat kue, sampai berani sekali menyewa di area premium seperti ini,” kata Leland.“Bu–bukan. Te–temanku hanya bekerja di sini. Dia bu–bukan pemiliknya.” Suri belum sempat menjelaskan tadi.“Oo, oke. Aku mengerti.” Leland salah mengira saat Suri menyebut tujuannya adalah bakery, ia langsung menebak kalau teman Suri pemiliknya.“Bagaimana kau bisa berteman dengannya?” Leland bertanya saat mereka berjalan ke toko itu, penasaran.“Kau bertemu dengannya di mana? Apa sebelum kau masuk ke dalam keluarga Quinn?”Suri menggeleng. “D–dia bekerja untuk keluarga Quinn, ta–tapi dipecat ka–karena menolongku.”“Saat aku merasa mereka tidak bisa lagi jatuh ke titik yang terendah, ternyata bisa. Mereka memang menjijikkan.” Leland bergidik sambil membuka pintu bakery itu untuk Suri. Bermodel klasik yang langsung berdenting b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status