“Berani – beraninya kau mengganggu kehidupan kami, dasar jalang!”
Suara menggelegar di rumah yang kini tanpa lampu penerangan itu. Meski samar, Elena masih dapat melihat dengan jelas, ekspresi murka wanita di depannya.“Tenanglah, apa yang terjadi?”“Kalau sudah waktunya pergi, ya, pergi saja! Jangan membuatnya berubah pikiran. Benar – benar jalang tak tahu diri! Wanita rendahan sepertimu memang tak bisa menjaga janji!”“Aku tidak mengerti apa maksudmu mengatakan semua ini. Jangan berkata kasar padaku.”“Kau yang berpura – pura bodoh! Aku tahu apa yang kau incar, wanita licik!”“Kita bicarakan baik – baik, tolong jangan berdiri di sana. Kau akan ....”“Kita lihat saja, apa yang terjadi selanjutnya!”***“Elena?” Suara maskulin membuyarkan lamunannya. Mata dengan bulu lentik itu menatap pria di hadapannya dengan gemetar. Masih jelas diingatannya, tatapan dingin yang menusuk malam itu. Menekan segala luka dan takutnya, ia bersuara.“Drake, aku perlu bantuanmu segera.”“Ada apa, Elena?”“Tolong bantu aku memulihkan perusahaanku, Drake.” Elena Cartwright, wanita cantik berambut pirang itu saat ini sedang menatap penuh harap Drake Graysen, mantan suaminya. Tujuh bulan berlalu, sejak terakhir mereka bertemu. Ada sorot mata keputusasaan samar di mata Elena, pria bersuara berat itu melihatnya dengan jelas. Satu kelebihan yang dimanfaatkannya saat bernegosiasi.“Mengapa kau berpikir bahwa aku bisa membantumu dalam hal ini?”“Karena aku pikir kita sahabat, terlepas dari perceraian kita. Kuharap, kau bisa membantuku dengan segala sumber daya yang kau punya untuk menyelamatkan perusahaanku.” Elena meremas jari – jarinya yang tertaut. Menunggu pria berambut hitam legam di depannya itu merespons. Aura kekuasaan yang lekat dengan Drake memang sesuai dengannya. Karena itulah, menekan segala egonya, ia rela mendatangi sang mantan suami demi sebuah bantuan. Posisinya saat ini di ujung jurang.“Apa yang terjadi dengan perusahaanmu, Elena?”“Perusahaanku, Cartwright Company telah mengalami masa kritis saat ini. Mungkin, kau sudah mendengarnya dari berita. Bahkan, media pun tahu kondisi perusahaanku sedang buruk. Saat ini, aku sebagai presdir, mencoba mencari upaya penyelamatan.” Sengaja menghentikan kalimatnya, ia menarik nafas sejenak. Kilasan masa – masa sulit yang dilaluinya tiga bulan terakhir di kantor kembali hadir. Ia telah berlari ke sana kemari untuk mencari bantuan dana. Sayang, ia harus menelan pil pahit. Elena berusaha sekuat tenaga menyelamatkan perusahaannya. Tawaran bantuan yang datang belum mampu ia terima, kini, ia harus menekan ego. Menemui kembali sang mantan suami, untuk meminta bantuan karena tak ada pilihan lain.Pria dengan tinggi 188 cm itu beranjak dari duduknya, melangkah ke arah lemari pendingin tak jauh dari mantan istrinya itu duduk. Setelah kembali duduk, Drake menyodorkan segelas minuman.“Ini wisky, minumlah agar kau lebih tenang.”“Kau tahu, aku tak pernah menyukai wiski.”“Cobalah sedikit.” Elena yang tak pernah menyesal wiski, karena baginya, mencium aroma kuatnya saja Elena tak suka. Ia lebih suka pilihan aman, wine. Tapi, tak apa kalau ia ingin lebih rileks, Drake benar, ia perlu minum sedikit. Elena meraih gelas berisi wiski itu lalu meneguknya. Drake tersenyum saat melihat Elena meneguk sedikit, lalu, memutuskan menghabiskan sisanya hingga gelasnya kosong.“Apa kau membawa laporan keuangan perusahaanmu? Aku perlu melihatnya.” Dengan segera menyerahkan dokumen yang sejak tadi dibawanya kepada Drake. Ia menunggu dengan sabar seraya berdoa saat Drake membaca dokumen itu satu persatu halaman. Terasa seperti seorang murid yang menunggu hukuman dari sang guru atau pasien yang menunggu sang dokter membacakan diagnosanya. Elena menatap figur wajah tegas mantan suaminya itu, tulang hidung tinggi, garis rahang maskulin serta mata elangnya yang kini bisa dilihat lagi setelah tujuh bulan tak bertemu. Elena menyadari perlahan, Drake lebih tirus daripada terakhir mereka bertemu, berat badannya juga tampak berkurang meski sedikit. Apa ia sering melewatkan jam makannya? Minum – minum hingga larut malam?Elena menghela napas panjang, belum sempat mengalihkan pandangan dari wajah Drake, pria itu refleks menatap Elena balik. Membuat Elena sedikit terkejut dan mengulas senyum singkat untuk menghilangkan kecanggungannya karena ketahuan menatap Drake cukup lama.“Aku sudah membacanya,” ujar Drake seraya meletakkan dokumen itu di meja.“Bagaimana menurutmu, Drake? Apa kau bisa membantu?”“Aku ingin bertanya satu hal lagi padamu.”“Ya, kau boleh bertanya apa pun.”“Selain meminta bantuanku, sebelum ke sini, kau meminta bantuan kepada siapa saja?” Elena ingat, sebulan terakhir ia berlari ke sana ke mari mencari bantuan dana untuk perusahaannya. Menghubungi beberapa temannya yang dinilai bisa membantunya. Tapi, hanya jalan buntu yang ia temui. Bukan karena tak ada yang membantunya sama sekali, tapi, berbagai penawaran tak wajar dilontarkan.Elena mengingat saat ia datang ke kediaman sahabat mendiang ayahnya. Pria itu bersedia membantu asal ia mau menjadi simpanannya. Dengan tegas ditolaknya. Ia lalu pergi menemui teman kuliahnya yang mengatakan perusahaannya sudah parah, perlu tambahan kompensasi jika ingin menyelamatkan perusahaan. Pria itu juga meminta Elena menjadi wanita simpanan.Bahkan, teman dekatnya saat kuliah dulu, memintanya menjadi istri sebagai syarat bantuan. Meski permintaan ini terdengar lebih baik dari yang lain, tapi, dengan menginginkan kepemilikan sepenuhnya atas Cartwright Company, tentu saja ditolak mentah – mentah oleh Elena.“Elena?”“Drake. Aku meminta bantuanmu, terkait kekurangan dana di perusahaanku. Aku bersedia memberikan sebagian saham padamu jika berhasil menyelamatkan, tapi, tidak untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan keluargaku. Aku ingin itu tetap menjadi milikku.”“Kalau begitu berapa banyak saham yang bisa kau berikan padaku jika bersedia membantu?”“Yang pasti tak lebih banyak dari sahamku, Drake. Selisih sepuluh persen dari saham milikku. Itu agar aku tetap menjadi pemilik sesungguhnya.”“Aku bisa membantumu, masalah kepemilikan itu tetap menjadi milikmu, selisih saham 10% darimu pun tak masalah, asal kau bersedia memenuhi satu syarat dariku.”“Benarkah? Kau bersedia membantuku dan menerima pembagian saham sesuai keinginanku?” Elena seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Matanya melebar karena tak percaya. Drake bahkan tersenyum melihat binar mata sahabat masa kecilnya yang kembali, meski ekspresi wanita itu tampak sendu beberapa saat lalu, saat seperti ini, wanita ramping ini tampak semakin berseri dan menarik. Hal yang baru saja disadari Drake beberapa waktu terakhir.“Ya, asalkan satu syarat kau penuhi.”“Hanya satu? Katakan saja, apa syaratmu?” Wanita itu tampak bersemangat bertanya, Drake menahan senyumnya yang semakin melebar. Apa wanita itu masih akan tersenyum setelah mendengar syarat darinya? Elena bahkan mencondongkan dirinya, antusias menunggu jawaban.“Syaratnya, kau hanya perlu menjadi kekasihku dan merayuku. Tinggallah denganku, jika kau berhasil mengelabuhi semua orang dan media seolah aku berminat padamu, kaulah pemenangnya.” Drake menjawab dengan senyum lebar. Sementara Elena membeku, ekspresinya seolah membatu seketika. Ia merasa entah pendengarannya yang buruk atau memang sahabat masa kecilnya itu mengatakan hal yang tak masuk akal. Beberapa menit terakhir ia lupa, kalau mantan suaminya ini memang gila. Sementara ia mencoba memutar otak untuk mencari tahu, mengapa Drake melakukan ini. Pikirannya tertuju pada saat malam sebelum hari perceraian mereka. Malam di saat pria yang berpostur seperti patung yunani itu menatap dingin padanya.“Apa ini bagian dari balas dendammu padaku karena kejadian malam itu, Drake?”Drake tersenyum singkat menanggapi pertanyaan Elena. Pria itu kembali menyesap wiskinya. Tak terusik sedikit pun dengan tuduhan yang baru saja terlontar. “Sama sekali bukan karena kejadian malam itu.” “Lalu, kenapa kau datang dengan ide gila seperti ini? Ya Tuhan, kau semakin gila!” “Media. Kau tahu apa yang ada di pemberitaan tentang perceraian kita? Jujur saja, sahamku juga menurun karena berita perceraian kita. Dengan terlihat rukun, kau bisa mempertahankan perusahaanmu, dan nilai perusahaanku akan semakin naik. Tanpa perlu menjalani pernikahan kontrak seperti dulu.” “Maksudmu, kita bersandiwara?” “Ya. Mengelabuhi media dengan hubungan yang tetap baik, tapi, di sisi lain, kau juga harus bersedia menjadi kekasihku, agar terlihat alami.” “Kau pikir aku mau menggantikan Alexa?” Wajah Elena merah padam menahan amarah. Ia tak bisa menerima ide gila mantan suaminya yang terdengar manipulatif dan ... kesepian. “Tak ada Alexa, kami sudah berpisah saat kita bercerai. Jadi, setu
Tangan Elena yang memegang ponsel terkulai di samping tubuh rampingnya. Berita dari Kate membuatnya membeku seketika. Satu alternatif terakhir dari upaya meminta bantuan telah gagal. “Ada apa, Elena?” Wajah yang memucat itu menatap ke arah Drake. Pikirannya berkecamuk, jantungnya terasa enggan berdetak. Satu – satunya harapan yang dimilikinya hanya pria di depannya ini. “Antarkan aku pulang, sekarang.” Suara lirih Elena memecah kesunyian di antara keduanya. Bahunya merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan, menembus gerimis yang mulai turun. Begitu tiba, Elena segera turun diikuti Drake. “Aku tak suka melihatmu berlarian ke sana kemari mencari bantuan. Aku ingin merobek mulut pria gendut tadi karena perkataan busuknya.” “Bukan urusanmu, Drake. Aku yang meminta bertemu dengannya dan meminta bantuan awalnya.” “Karena itu jangan lakukan lagi! Jangan meminta bantuan orang lain.” “Jangan memerintahku, Drake! Aku mencari
“Aku akan menjemputmu. Kita pergi makan malam.” “Tidak perlu, kita bertemu langsung saja di sana.” “Elena, biarkan aku menjemputmu kali ini. Bisa, kan?” “Kenapa kau bersikeras menjemputku?” “Tak apa, hanya ingin memudahkanmu saja. Kau pasti lelah menyetir sendiri.” Dengan nada tak acuh, Drake menjawab. “Baiklah. Aku akan mengirim alamatku yang sekarang padamu nanti.” “Ya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti malam.” Elena yang menutup panggilan lebih dulu. Drake tersenyum lebar seraya bersandar di kursi kerjanya. Menarik, mengingat Elena akhirnya menghubunginya, untuk membahas tawarannya. Menatap ponselnya dalam kebisuan, Elena mengembuskan napas dengan berat. Pandangannya beralih pada cermin di depannya. Satu tetes air mata jatuh. Jatuh sedalam hidupnya saat ini. Dalam dunia di penuhi serigala ini, Elena berdiri sendirian. Berbagai macam serigala buas mengelilinginya. Jika tak ada cara melarikan diri di antara para serigala yang kejam ini, setidaknya Elena tahu, serigal
“Kita pergi ke mana, Drake?” Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota. Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?” “Agar kau menebak dalam perjalanan.” Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.” Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja. “Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan b
Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya. Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang engg
Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik. “Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya b
“Alfred, kabur ke mana saja kau selama ini?” Elena menatap tajam saudara sepupunya itu. Biang keladi dari semua masalah yang perusahaannya alami. Penampilan pria itu tampak acak – acakan. Bau alkohol tercium jelas dari tempat Elena berdiri, meski cukup jauh. “Kabur katamu? Aku hanya menenangkan diri sebentar.” Pria itu berjalan mendekati Elena dengan senyum ramah. Yang bagi Elena justru terasa memuakkan. Seperti halnya penampilannya yang berantakan, Alfred menjalani kehidupan dan kinerja yang tak kalah berantakan juga. “Elena sayang, apa kau marah karena aku pergi?” “Bukan marah, muak lebih tepatnya. Ini ya sikap yang ditunjukkan oleh seseorang yang merasa pantas menjadi pemimpin perusahaan?” “Manusia bisa membuat kesalahan satu – dua kali. Itu wajar.” “Wajar jika hanya menyangkut dirimu, tidak untuk 5.000 lebih karyawan yang bergantung dengan perusahaan.” “Kau terlalu serius, Elena, dalam bisnis ini hal yang biasa. Salah perhitungan sesekali terjadi.” “Kau yang terlalu gil
“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te