🏵️🏵️🏵️
Bagiku, ini seperti mimpi karena pemuda yang dulu membuatku kesal, kini ada di depan mata. Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya kembali bertemu dengan dirinya. Ia telah tumbuh menjadi sosok yang berwibawa. Stop, Rena! Jangan memujinya walaupun hanya dalam hati.
Kenapa aku sepolos ini hingga bersedia memenuhi keinginan Mas Arfan? Aku kesal jika mengingat jawaban Ayah tadi. Beliau sama sekali tidak mengerti dengan perasaan anaknya, padahal tadi aku berharap agar Ayah tidak memberikan izin kepada Mas Arfan karena telah membawaku ke tempat ini.
Aku benar-benar bingung dengan sikap Ayah. Kenapa beliau bersikap seolah-olah sudah sering bertemu dengan Mas Arfan? Aku sangat tahu kalau Mas Arfan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi setelah menuliskan surat untukku kala itu. Ini aneh, tetapi nyata.
“Hai, Mah. Coba tebak, deh, Fandy bawa siapa.” Ya, aku tahu namnya Fandy waktu kecil. Entah kenapa sekarang berubah menjadi Arfan.
Aku dan Mas Arfan kini berada di ruangan yang cukup besar. Terdapat satu set sofa cokelat muda dan televisi berukuran 60 inci menempel di dinding.
“Siapa, Fan? Tumben kamu bawa cewek.” Seorang wanita paruh baya sedang duduk di sofa depan televisi. Beliau melihat ke arah kami, lalu memberikan respons kepada Mas Arfan. Orang itu sedang memegang sebuah novel yang tidak asing bagiku.
“Dia gadis pujaan Fandy yang selalu Fandy dan Tante Naya ceritain ke Mama. Lagi pun, Mama pasti kenal dia waktu masih kecil.” Mas Arfan melirik ke arahku. Bisa-bisanya ia menceritakan diriku di belakang.
“Oh, Rena. Teman masa kecil yang fotonya selalu kamu simpan. Udah sebesar ini sekarang?” Ternyata benar kalau Mas Arfan menyimpan fotoku. Dari mana ia mendapatkan foto itu?
“Iya, Mah. Mama tahu sendiri, hanya Rena, gadis yang selalu Fandy ceritain ke Mama.” Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau makin kesal terhadap Mas Arfan.
“Ternyata calon mantu Mama tetap cantik seperti dulu. Pantes aja Fandy nggak bisa berpaling.” What? Calon menantu? Kenapa Tante Cindy—mama Mas Arfan, menganggapku sebagai calon menantunya? Permainan apa ini?
Ingin rasanya keluar dari rumah ini untuk menghindar dari suasana yang membuat hatiku tidak keruan. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku juga bingung menentukan perasaan ini, antara kesal dan bahagia tiba-tiba bedanya sangat tipis.
Aku mengenal Tante Cindy, tetapi dulu sangat jarang bertemu beliau. Ia wanita yang sangat ramah. Setiap beliau bertemu denganku dulu, selalu menunjukkan kelembutan. Namun, sangat berbeda dengan Mas Arfan yang jail dan usil.
“Rena masih ingat sama Tante, nggak?” Wanita paruh baya itu menyapaku.
“Masih, Tante.” Aku mengembangkan senyuman kepadanya.
“Sini duduk sama Tante.” Aku pun menghampiri Tante Cindy, lalu mencium punggung tangannya. Beliau memintaku duduk di samping kanannya.
Aku melihat novel yang digenggam Tante Cindy tadi ketika baru tiba di rumah ini. Buku tebal itu kini berada di meja. Ternyata dugaanku benar, itu novel Kak Dylan. Aku pun merasa bangga dan terharu karena melihat karya pemuda yang aku cintai.
Aku tidak menyangka bahwa Tante Cindy juga suka membaca novel seperti diriku, sangat berbeda dengan para tetanggaku. Mereka pernah berkata bahwa bukan zamannya lagi mengoleksi novel sekarang. Mereka juga pernah bilang kalau membaca novel itu kebiasaan orang-orang dulu.
Tetanggaku menganggap hobiku sangat terbelakang. Mereka bahkan pernah mentertawakan aku saat menceritakan kisah tokoh yang ada di novel. Entah pemikiran apa yang tetanggaku miliki hingga tega bersikap seperti itu.
🏵️🏵️🏵️
Saat ini, aku dan Mas Arfan sedang menyusuri jalan menuju pulang ke rumah. Beberapa jam lamanya, aku berada di rumah Mas Arfan hingga siang hari. Tante Cindy bercerita panjang lebar tentang anak semata wayangnya tersebut.
“Jadi, kapan kami akan melamarmu, Nak?” Pertanyaan itu yang Tante Cindy lontarkan tadi kepadaku. Sungguh, benar-benar di luar dugaan.
“Maksudnya gimana, Tante?” Aku bersikap pura-pura tidak tahu maksud ucapan beliau.
“Tante ingin segera membawa kamu ke rumah ini.” Tante Cindy memegang jemariku.
“Maaf, Tante salah paham. Rena dan Mas Arfan nggak ada hubungan apa-apa, Tante. Kami hanya teman masa kecil yang baru bertemu kemarin.” Aku memberikan pengertian kepada Tante Cindy.
“Tapi bagi Fandy, kamu gadis pilihannya.” Aku melihat keseriusan di wajah wanita paruh baya itu.
Aku benar-benar dihadapkan pada situasi yang membingungkan saat bersama Tante Cindy tadi. Sebenarnya, aku tidak ingin menyakiti hati wanita itu. Namun, untuk saat ini, aku belum memiliki niat untuk berumah tangga. Di samping itu, aku tidak mencintai Mas Arfan karena hatiku telah diisi oleh Kak Dylan.
“Kenapa kamu menolak keinginan Mama, Ren? Beliau sudah tidak sabar ingin menjadikanmu menantu. Beliau juga tahu kalau aku sangat mencintaimu.” Aku tidak tahu harus bagaimana memberikan penjelasan dan pengertian kepada Mas Arfan.
“Aku nggak memiliki perasaan lebih padamu.” Aku pun mengatakan apa yang kurasakan.
“Itu nggak mungkin.” Ia selalu saja membuatku kesal.
“Apanya yang nggak mungkin? Bagiku, kamu itu hanya teman masa kecil. Sebenarnya bukan teman, tepatnya orang yang sering bersikap usil dan bahkan mempermalukanku.” Aku kembali mengingatkan sikapnya yang dulu terhadapku.
“Apa kamu masih membenciku?”
“Itu pasti.” Aku memberikan jawaban dengan yakin.
“Kenapa?”
“Apa? Kenapa, kamu bilang? Itu pertanyaan yang nggak perlu aku jawab karena kamu pasti tahu jawabannya.” Aku berusaha tegas kepadanya.
“Kamu tetap cantik seperti dulu. Selalu mampu membuatku terpana.” Ia seolah-olah mengalihkan pembicaraan. Aku baru ingat, sepertinya aku pernah baca pernyataan yang Mas Arfan ucapkan, tetapi di mana? Oh, ternyata di novel Kak Dylan. Apa Mas Arfan juga membaca karya pemuda yang aku cintai?
“Balasan yang nggak nyambung. Dasar nyebelin.”
“Jutek-jutek, tapi gemesin.”
“Udah tahu jutek, kenapa kamu deketin?”
“Namanya juga cinta. Emang kamu bisa mencegahnya?”
“Au, ah … sebel.”
“Hati-hati, loh. Dari sebel nanti bisa berubah jadi ….” Ia menggantung ucapannya.
“Jadi apa?”
“Jawab aja dalam hati.”
Sepertinya Mas Arfan memang sengaja ingin membuatku kesal. Ternyata keusilannya itu tidak berubah sama sekali. Ia tetap saja membuatku merasa tidak tenang. Entah kenapa Ayah luluh kepada pemuda itu, benar-benar aneh.
“Nggak penting. Turunin aku di sini. Aku mau ke toko buku.” Aku meminta turun di pusat perbelanjaan Ramayana. Aku ingin membeli sesuatu di toko buku Salemba. Ia pun menepi, lalu menghentikan mobilnya.
“Aku ikut.” Ia kembali membuka suara.
“Nggak perlu.”
“Nggak baik kalau cewek cantik jalan sendiri.”
“Gombalanmu udah nggak musim.”
“Siapa yang gombal?”
Aku tidak menghiraukan Mas Arfan. Aku pun segera keluar dari kendaraan roda empat miliknya, lalu berjalan memasuki area Ramayana. Aku merasa lega karena terbebas dari kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya.
==========
🏵️🏵️🏵️Ternyata Mas Arfan mengikutiku. Ia menyejajarkan dirinya berjalan di samping kananku. Aku tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja tidak berhenti menggangguku. Ia seolah-olah ingin mengetahui apa pun yang aku lakukan. Ia tidak sewajarnya bersikap seperti itu karena dirinya bukan siapa-siapa bagiku.Seandainya Kak Dylan yang berada di posisi Mas Arfan sekarang, aku pasti akan langsung menggandeng tangannya. Namun, itu tidak mungkin karena kenyataannya, Kak Dylan hanya ada di dunia maya. Ia selalu menolak bertemu denganku di kehidupan nyata walaupun kami sudah sangat sering berbalas pesan bahkan menelepon.Sebenarnya, aku sangat bingung kenapa Kak Dylan tidak bersedia bertemu denganku, padahal ia mengaku sangat mengagumi bahkan mencintaiku. Jika dirinya bersedia bertemu denganku, aku ingin memperkenalkannya kepada Devi. Sahabatku itu selalu meledekku yang masih berstatus jomlo.“Ngakunya udah punya cowok yang dicintai, tapi mana? Tunjukin, dong.” Devi sering melontarkan kal
🏵️🏵️🏵️ Malam ini seperti biasa, kami makan bersama di meja makan. Sambil menyantap menu yang disuguhkan asisten rumah tangga di rumahku, aku kembali mengingat kata lamaran yang Mas Arfan ucapkan. Kenapa pemuda itu tampak yakin kalau aku yang akan mendampingi dirinya kelak? Di samping itu, mamanya juga bersikap seolah-olah aku pasti tinggal di rumah mereka nanti. Kenapa saat aku telah menyerahkan hati dan perasaanku kepada Kak Dylan, justru Mas Arfan tiba-tiba muncul? Jika memang benar ia serius ingin melanjutkan hubungan pertemanan masa kecil kami ke jenjang yang lebih serius, harusnya ia hadir lebih awal, bukan sekarang. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Aku akui kalau dulu hati dan pikiranku tidak ingin lagi mengingat Mas Arfan setelah kejadian waktu itu. Namun, jika ia menemuiku lebih cepat dan bukan sekarang, mungkin aku akan berpikir untuk mempertimbangkan lamarannya. Aku tidak yakin langsung menolak niatnya. “Ren, tadi Ayah ketemu Om Mandala.” Ayah membuyarkan lamunanku
🏵️🏵️🏵️ Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah. “Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku ng
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan
🏵️🏵️🏵️ Status sebagai istri Mas Arfan tetap aku ingat walaupun ia telah berbuat tidak mengenakkan. Saat ia membangunkan untuk salat Subuh, aku tetap menjadikannya imam. Aku akan berusaha memaklumi apa yang terjadi tadi setelah dirinya kembali meminta maaf. Aku berpikir sejenak, mungkin sangat keterlaluan jika aku harus tetap kesal terhadap Mas Arfan hanya karena kejadian itu. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperpanjang. Aku harus ingat nasihat Ayah dan Bunda. Setelah selesai menunaikan dua rakaat, aku mencium punggung tangan Mas Arfan. Ia pun mencium puncak kepalaku lebih lama dari biasanya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa bersalah karena sempat berpikir kalau tujuannya menikahiku hanya ingin mengusikku. Jika melihat usaha dan mendengar pengakuan Mas Arfan selama ini, aku tidak seharusnya meragukan cinta dan ketulusannya. Ia mengaku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain setelah mengenalku. Aku tidak pernah menyangka kalau cinta seperti itu ter
🏵️🏵️🏵️ Sepertinya Mas Arfan lupa kalau kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya. Terbukti saat ini, ia tampak santai langsung menutup pintu kamar, padahal tadi kakeknya melihat kami sambil tersenyum ketika hendak menuju ruang TV. Entah apa yang orang tua itu pikirkan sekarang tentang aku dan Mas Arfan. Sungguh, aku tidak mengerti jalan pikiran Mas Arfan. Tiada angin dan tiada hujan, ia tiba-tiba membuat diriku berpikir sesuatu yang sulit diungkapkan. Apa mungkin ia masih berharap agar aku segera bersikap layaknya seorang istri pada umumnya? Mas Arfan memintaku duduk di tempat tidur, sedangkan ia mengambil sesuatu dari koper. Ia menyerahkan sebuah buku harian bertuliskan namaku dan namanya. Aku sangat terkejut setelah membuka benda tersebut, isinya menjelaskan kalau dirinya mengirimkan barang-barang kesukaan sang pujaan hatinya yang tidak lain adalah aku. Ternyata dugaanku benar, Mas Arfan yang telah memberikan apa yang aku terima selama SMP hingga SMA. Jadi, ia tidak perna
🏵️🏵️🏵️ Setelah dua malam menginap di rumah kakek dan neneknya Mas Arfan, juga satu malam di rumah Ayah dan Bunda, akhirnya kami kembali pulang ke rumah orang tua Mas Arfan. Malam ini seperti sebelumnya, kami makan bersama. Papa dan mama mertua mengaku merasa kesepian sejak kepergian anak dan menantunya. Aku sangat bersyukur dan bangga memiliki mertua seperti orang tua Mas Arfan. Mereka memperlakukan aku bukan seperti menantu, tetapi layaknya anak perempuan yang dimanja. Mengingat kebaikan kedua orang tua tersebut, aku merasa bersalah karena belum mampu bersikap layaknya seorang istri seutuhnya terhadap Mas Arfan. Saat ini saja, aku merasa takut jika Mas Arfan meminta haknya sebagai suami. Entah bagaimana caraku menolaknya. Mungkin lebih baik aku masuk kamar setelah ia tertidur pulas. Terus terang, aku benar-benar masih belum terima sepenuhnya kalau ternyata aku telah resmi menjadi istrinya. “Pasti kalian mengingat bagaimana awal pertemuan kalian waktu berkunjung ke rumah Kakek d