Share

Sikap Makin Menyebalkan

🏵️🏵️🏵️

Ternyata Mas Arfan mengikutiku. Ia menyejajarkan dirinya berjalan di samping kananku. Aku tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja tidak berhenti menggangguku. Ia seolah-olah ingin mengetahui apa pun yang aku lakukan. Ia tidak sewajarnya bersikap seperti itu karena dirinya bukan siapa-siapa bagiku.

Seandainya Kak Dylan yang berada di posisi Mas Arfan sekarang, aku pasti akan langsung menggandeng tangannya. Namun, itu tidak mungkin karena kenyataannya, Kak Dylan hanya ada di dunia maya. Ia selalu menolak bertemu denganku di kehidupan nyata walaupun kami sudah sangat sering berbalas pesan bahkan menelepon.

Sebenarnya, aku sangat bingung kenapa Kak Dylan tidak bersedia bertemu denganku, padahal ia mengaku sangat mengagumi bahkan mencintaiku. Jika dirinya bersedia bertemu denganku, aku ingin memperkenalkannya kepada Devi. Sahabatku itu selalu meledekku yang masih berstatus jomlo.

“Ngakunya udah punya cowok yang dicintai, tapi mana? Tunjukin, dong.” Devi sering melontarkan kalimat itu bahkan hampir setiap akhir pekan.

Devi mengaku melakukan itu karena ingin kencan bersama denganku dan pasangan kami masing-masing. Namun hingga saat ini, aku belum mampu mewujudkan harapan sahabatku tersebut karena Kak Dylan seolah-olah tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.

Hanya penolakan yang aku berikan kepada Devi dengan berbagai alasan. Sebenarnya, ingin rasanya berkata jujur kepada Devi, tetapi entah kenapa aku belum berhasil mewujudkannya. Aku kadang tidak mengerti dengan hati dan perasaanku. Cinta seperti apa yang kumiliki untuk Kak Dylan?

Mungkin seandainya Ayah dan Bunda mengetahui kebenaran tentang putri mereka ini, aku tidak yakin kalau kedua orang tua itu tidak marah. Bagaimana mungkin anak yang mereka cintai justru mencintai seseorang yang tidak nyata? Aku bahkan tidak tahu seperti apa wajah Kak Dylan.

“Lihat foto cowok yang kamu kagumi, dong.” Devi pernah ingin melihat foto pemuda yang aku cintai.

“Nggak, ah. Nanti kamu naksir.” Aku memberikan alasan karena kenyataannya aku tidak memiliki foto Kak Dylan.

“Nggak mungkinlah. Aku, kan, udah punya Rey. Kamu ada-ada aja.” Devi mengerutkan dahinya. Mungkin ia heran mendengar jawabanku. Namun, aku berusaha bersikap santai.

Devi tidak tahu bahwa Kak Dylan sosok yang aku kenal lewat aplikasi biru. Kala itu, aku memberikan komentar di ceritanya. Setelah itu, ia tiba-tiba menghubungiku melalui W******p. Entah dari mana dirinya mendapatkan nomor kontakku.

 “Kamu, kok, diam aja?” Mas Arfan membuyarkan lamunanku.

“Kenapa kamu ngikutin aku, sih? Kamu pergi aja. Aku bisa sendiri.” Aku masih kesal melihat Mas Arfan yang seolah-olah ingin berada di dekatku.

“Aku pengen bersamamu hari ini. Aku udah bilang tadi. Apa kamu lupa?” Jawaban yang Mas Arfan lontarkan membuatku makin kesal.

“Bukannya kamu harusnya ngantor?”

“Aku udah izin sama Papa.”

“Kenapa harus izin nggak ngantor hanya untuk ngikutin aku?”

“Kamu tenang aja. Papa bahkan dukung aku banget karena sedang bersamamu saat ini.”

“Kamu benar-benar nyebelin, ya.” Mas Arfan selalu berhasil membuatku ingin marah. “Nggak hanya nyebelin, tapi aneh. Kenapa nama kamu berubah jadi Arfan?” Aku ingin mendengar penjelasannya.

“Kamu tetap seperti dulu, cerewet. Itu membuatku ingin tetap bersamamu.” Mas Arfan menunjukkan senyum manisnya. Stop, Rena! Kenapa kamu mengakui dirinya manis? “Fandy itu nama panggilan dalam keluargaku, singkatan dari namaku dan nama Mama.”

“Ada-ada aja, pakai singkatan segala. Antar aku pulang sekarang.” Aku sudah malas melanjutkan niatku untuk mencari buku.

“Kok, pulang? Kita udah di depan Lotus, loh.”

“Biarin, aku nggak peduli. Aku mau pulang sekarang.” Aku tetap bersikeras ingin segera tiba di rumah.

“Oke, jika itu keinginanmu. Kita pulang sekarang.” Ia meraih tanganku, tetapi langsung aku tepiskan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ia justru mengembangkan senyuman.

🏵️🏵️🏵️

Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, mungkin aku akan jujur mengatakan bahwa laki-laki yang sedang bersamaku saat ini, telah menghancurkan semua rencanaku. Entah apa kesalahanku di masa lalu hingga bertemu kembali dengan sosok yang sangat menyebalkan ini.

Mungkin jika tadi Mas Arfan tidak mengucapkan kata lamaran, aku tidak akan bersikap seperti saat ini kepadanya. Namun, kenyataan kadang tidak seindah harapan karena satu hal yang pasti, apa yang Mas Arfan lakukan, telah mengubah penilaianku terhadapnya.

Aku tidak suka dengan laki-laki yang terlalu lancang. Bagiku, perbuatan Mas Arfan adalah tindakan yang tidak pantas. Ia tidak seharusnya bersikap nekat untuk melamar gadis yang baru bertemu kembali dengannya setelah belasan tahun berlalu.

Bagaimana mungkin aku memikirkan sebuah hubungan serius dengan pemuda yang dulunya pernah membuatku malu hingga mengeluarkan air mata? Mas Arfan yang aku kenal dulu dan sekarang tetap sama, bersikap tanpa memikirkan perasaanku yang sebenarnya. Ia hanya menuruti keinginannya.

“Kenapa kamu bersikap agar aku tidak mendekatimu?” Mas Arfan pun membuka pembicaraan setelah mobil meluncur beberapa menit.

“Aku nggak perlu jelasin. Kamu mikir aja sendiri.”

“Apa kamu masih marah dengan kejadian di masa lalu?” Ia sepertinya sengaja mengingatkan aku tentang kejadian kala itu.

“Stop! Aku nggak mau dengar lagi tentang kejadian itu.”

“Terus, apa yang membuatmu tidak menyukaiku?”

“Bagiku, kamu terlalu lancang bicara tentang lamaran padaku. Aku juga nggak suka karena kamu mengakui aku sebagai calon istrimu di depan orang tuamu. Siapa yang memberimu hak? Kapan aku menyetujui untuk hidup bersamamu?” Akhirnya, aku berhasil mengeluarkan kekesalan yang kurasakan terhadap Mas Arfan.

“Maaf, jika menurutmu aku lancang. Tapi itulah yang kurasakan terhadapmu. Aku ingin menjalani hidup denganmu.” Jawaban Mas Arfan benar-benar di luar dugaan.

“Tapi aku nggak pernah menginginkan itu. Aku ingin hidup bersama cowok yang aku cintai, bukan kamu, Mas. Tolong ngerti dengan posisiku.” Aku tidak peduli lagi apakah Mas Arfan akan marah atau tidak.

“Aku nggak akan nyerah gitu aja. Aku akan tetap berjuang untuk gadis yang aku cintai. Terserah kamu mau marah ataupun menolakku, aku nggak akan sedih.”

“Kenapa kamu tetap membuatku kesal, Mas?” Aku mengeluarkan napas berat sambil mengusap-usap kening. Mas Arfan tiba-tiba berhenti lalu menepikan kendaraan roda empat miliknya.

“Maafin aku karena terlalu mencintaimu. Ampuni aku karena selalu berharap hidup bersamamu.” Ia meraih tanganku, tetapi kali ini aku tidak mengelak ataupun menepiskannya. Aku hanya terdiam. Apa mungkin pesona Mas Arfan telah mengubah penilaianku terhadap dirinya? Perasaan apa ini?

Aku tidak boleh mengagumi Mas Arfan karena pemuda yang dalam hati dan pikiranku saat ini hanya Kak Dylan. Aku yakin suatu saat nanti, pasti akan bertemu dengannya. Mungkin sekarang Kak Dylan sedang sibuk hingga ia belum memiliki kesempatan untuk bertemu denganku.

Walaupun hubunganku dengan Kak Dylan berbeda dengan pasangan pada umumnya, tetapi aku percaya kepadanya. Ia mengaku sangat menyayangiku dan ingin menjalin hubungan serius denganku. Semoga aku mampu menjaga hati hanya untuk Kak Dylan seorang.

“Maafin aku, Mas.” Akhirnya, aku menjauhkan tanganku dari genggaman Mas Arfan. “Aku udah mencintai cowok lain. Semoga kamu menemukan cewek yang mencintaimu.”

Aku berusaha jujur kepada Mas Arfan agar ia tidak mengharapkanku lagi. Namun, entah kenapa reaksi yang ia tunjukkan justru membuatku bingung. Ia hanya menunjukkan senyuman. Harusnya ia terkejut atau marah jika memang benar kalau dirinya memiliki cinta untukku.

==========

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status