🏵️🏵️🏵️
Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi.
Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya.
Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah.
“Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku nggak ngantor dan kamu juga nggak kuliah.” Malam ini, Mas Arfan kembali menemuiku di rumah. Kami memilih duduk di teras depan rumah karena Ayah dan Bunda melarang kami keluar.
“Terserah kamu aja, Mas.”
“Terima kasih karena sikap kamu nggak dingin lagi terhadapku. Kamu bersikap menerima sejak acara lamaran. Semoga hatimu juga segera terbuka dan bersedia membalas cintaku.”
“Kita nggak usah bahas ini, ya. Bahas yang lain aja.” Aku tidak ingin jika Mas Arfan berbicara tentang hati dan cinta.
“Kenapa, Dek? Apa kamu terpaksa menerima perjodohan kita?” Aku melihat keseriusan di wajahnya. Ia berubah menjadi sosok yang berwibawa dan sangat jauh dari kata usil seperti dulu.
“Cukup, Mas. Aku lagi nggak pengen bahas ini. Oh, ya, aku buatin minum, ya.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Jangan buat aku bertanya-tanya, Dek. Aku ingin dengar jawabanmu.” Ia meraih tanganku, lalu menggenggamnya.
“Jawaban apa, Mas?” Aku mencoba melepaskan genggamannya, tetapi sia-sia.
“Apa kamu terpaksa menerimaku?” Pertanyaan Mas Arfan membuatku bingung.
“Nanya yang lain aja, ya. Nggak usah nanya ini.”
“Apa susahnya jawab iya atau nggak, Dek?”
“Aku ke dalam dulu, ya.” Aku pun berusaha tersenyum kepadanya, lalu melepaskan genggamannya.
Aku segera melangkah memasuki rumah untuk menyuguhkan minuman kepada Mas Arfan. Aku berharap agar ia tidak melontarkan pertanyaan yang sama lagi terhadapku. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaannya? Entah kenapa ia seolah-olah tidak memercayai hubungan kami.
Aku menyadari kalau saat ini, belum memiliki perasaan lebih untuk Mas Arfan, tetapi tidak menolak kemungkinan jika kami telah melalui hari-hari bersama, cinta itu akan tumbuh. Mas Arfan salah menilaiku. Ia tidak tahu kalau aku menerima lamarannya bukan karena terpaksa.
Tidak ada alasan untuk menolak perjodohan kami hanya karena aku belum memiliki cinta untuknya. Aku bahkan bisa hidup hingga saat ini, berkat pertolongan neneknya. Di samping itu, aku tidak mampu mengabaikan kebaikan keluarganya selama ini. Aku juga curiga kalau Mas Arfan yang telah mengirimi barang-barang favoritku sejak dulu.
“Boleh aku tahu siapa cowok yang kamu cintai hingga kamu sempat menolakku saat pertemuan awal kita?” Pertanyaan itu yang Mas Arfan lontarkan setelah aku kembali duduk bersamanya. Entah kenapa ia penuh dengan pertanyaan. Apa ia berpikir kalau dirinya dosen di kampusku?
“Kenapa harus nanya ini, sih?”
“Apa aku nggak boleh nanya, Dek?”
“Kamu mirip dosenku. Banyak nanya.” Aku mengusap kening.
“Aku calon suamimu, Dek. Aku ingin tahu siapa cowok beruntung itu.” Ternyata ia masih tetap membuka suara.
“Udah, ya. Sekarang kamu minum, setelah itu pulang.” Aku merasa kesal mendengar ucapannya.
“Kamu ngusir aku, Dek?”
“Iya. Kenapa?”
Mas Arfan telah memaksaku bersikap tidak ramah terhadapnya. Aku tidak suka mendengar pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Ia telah mengubah kesabaranmu menjadi kekesalan. Semoga setelah menikah nanti, ia tidak bersikap posesif terhadapku.
🏵️🏵️🏵️
Persiapan pernikahanku dengan Mas Arfan sudah mencapai delapan puluh persen. Aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Saat berstatus sebagai mahasiswi, aku akan menjadi seorang istri. Ternyata jodoh itu tidak dapat ditebak karena pemuda yang dulu membuatku kesal, akan menjadi teman hidupku.
Jika mengingat masa kecil dulu, aku pernah terpesona saat awal melihat Mas Arfan. Kala itu, tidak sedikit gadis-gadis kecil yang usianya lebih tua dariku, memuji ketampanannya. Aku tidak mungkin berani mengungkapkan kalau aku juga senang bertemu dengannya.
Satu hal yang membuatku bingung dan tidak percaya waktu itu, aku tidak pernah menyangka kalau Mas Arfan ternyata lebih memilihku yang masih duduk di bangku kelas empat SD dibandingkan wanita seusianya. Namun, entah kenapa aku merasa malu saat dirinya mengutarakan perasaannya melalui surat kala itu.
“Cie, yang sebentar lagi mau nikah.” Devi membuyarkan lamunanku tentang Mas Arfan.
“Kamu ngagetin aku, Dev.” Sahabatku tersebut langsung duduk di samping kananku. Saat ini, kami sedang berada di taman kampus.
“Dulu nggak ngaku kalau ayangnya ganteng. Eh, sekarang udah mau nikah.” Aku tersenyum mendengar ucapan Devi. Ternyata ia masih ingat saat aku pernah menganggap Mas Arfan tidak tampan.
“Apaan, sih. Aku, kan, juga nggak tahu kalau kami akan berjodoh.”
“Keren, deh, tanpa pacaran, tiba-tiba mau nikah. Lah, aku udah pacaran tiga tahun sama Rey, dia tetap belum lamar aku.” Devi meruncingkan bibirnya.
“Sabar aja, pasti suatu saat nanti, Rey lamar kamu. Atau bila perlu, aku bilang ke dia kalau kamu pengen dilamar.” Devi langsung menutup mulutku dengan telapak tangan kanannya.
“Sssttt! Jangan sampai Rey dengar. Bisa-bisa dia mikir kalau aku cinta banget sama dia.” Aku ingin tertawa mendengar penilaian Devi terhadap Rey. Aku pun menjauhkan tangan Devi dari mulutku.
“Kenyataannya, kan, memang iya. Buktinya kamu cemburu banget sama Alea, teman masa kecil Rey.” Aku sengaja mengingatkan Devi tentang Alea.
“Semoga ayang kamu nggak dideketin cewek lain entar. Kamu pikir nggak sakit?” Entah kenapa Devi melontarkan kalimat itu.
“Bagus kalau ada yang deketin. So aku bisa cari yang baru. Ha-ha-ha!” Aku merasa puas mengatakan hal itu.
“Nih, anak, malah berharap yang nggak bener. Hati-hati dengan ucapanmu, Ren. Kamu pasti nyesal kalau apa yang kamu minta tadi, beneran terjadi.”
“Kalau Mas Arfan suatu saat lebih tertarik pada cewek lain, artinya kami nggak berjodoh hingga akhir hayat. Aku nggak mau berpikir yang ribet-ribet. Terserah mau seperti apa nantinya.”
“Ren, Ren. Kamu ada-ada aja.” Devi menggeleng.
Saat ini, mungkin aku mampu berbicara seperti itu karena belum memiliki cinta untuk Mas Arfan. Aku tidak tahu seperti apa reaksiku nanti jika benar hal itu terjadi. Semoga saat anggapan itu benar jadi kenyataan, aku belum memiliki perasaan lebih terhadap Mas Arfan.
==========
Apakah Renata akan berhasil membalas cinta Arfan?
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan
🏵️🏵️🏵️ Status sebagai istri Mas Arfan tetap aku ingat walaupun ia telah berbuat tidak mengenakkan. Saat ia membangunkan untuk salat Subuh, aku tetap menjadikannya imam. Aku akan berusaha memaklumi apa yang terjadi tadi setelah dirinya kembali meminta maaf. Aku berpikir sejenak, mungkin sangat keterlaluan jika aku harus tetap kesal terhadap Mas Arfan hanya karena kejadian itu. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperpanjang. Aku harus ingat nasihat Ayah dan Bunda. Setelah selesai menunaikan dua rakaat, aku mencium punggung tangan Mas Arfan. Ia pun mencium puncak kepalaku lebih lama dari biasanya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa bersalah karena sempat berpikir kalau tujuannya menikahiku hanya ingin mengusikku. Jika melihat usaha dan mendengar pengakuan Mas Arfan selama ini, aku tidak seharusnya meragukan cinta dan ketulusannya. Ia mengaku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain setelah mengenalku. Aku tidak pernah menyangka kalau cinta seperti itu ter
🏵️🏵️🏵️ Sepertinya Mas Arfan lupa kalau kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya. Terbukti saat ini, ia tampak santai langsung menutup pintu kamar, padahal tadi kakeknya melihat kami sambil tersenyum ketika hendak menuju ruang TV. Entah apa yang orang tua itu pikirkan sekarang tentang aku dan Mas Arfan. Sungguh, aku tidak mengerti jalan pikiran Mas Arfan. Tiada angin dan tiada hujan, ia tiba-tiba membuat diriku berpikir sesuatu yang sulit diungkapkan. Apa mungkin ia masih berharap agar aku segera bersikap layaknya seorang istri pada umumnya? Mas Arfan memintaku duduk di tempat tidur, sedangkan ia mengambil sesuatu dari koper. Ia menyerahkan sebuah buku harian bertuliskan namaku dan namanya. Aku sangat terkejut setelah membuka benda tersebut, isinya menjelaskan kalau dirinya mengirimkan barang-barang kesukaan sang pujaan hatinya yang tidak lain adalah aku. Ternyata dugaanku benar, Mas Arfan yang telah memberikan apa yang aku terima selama SMP hingga SMA. Jadi, ia tidak perna
🏵️🏵️🏵️ Setelah dua malam menginap di rumah kakek dan neneknya Mas Arfan, juga satu malam di rumah Ayah dan Bunda, akhirnya kami kembali pulang ke rumah orang tua Mas Arfan. Malam ini seperti sebelumnya, kami makan bersama. Papa dan mama mertua mengaku merasa kesepian sejak kepergian anak dan menantunya. Aku sangat bersyukur dan bangga memiliki mertua seperti orang tua Mas Arfan. Mereka memperlakukan aku bukan seperti menantu, tetapi layaknya anak perempuan yang dimanja. Mengingat kebaikan kedua orang tua tersebut, aku merasa bersalah karena belum mampu bersikap layaknya seorang istri seutuhnya terhadap Mas Arfan. Saat ini saja, aku merasa takut jika Mas Arfan meminta haknya sebagai suami. Entah bagaimana caraku menolaknya. Mungkin lebih baik aku masuk kamar setelah ia tertidur pulas. Terus terang, aku benar-benar masih belum terima sepenuhnya kalau ternyata aku telah resmi menjadi istrinya. “Pasti kalian mengingat bagaimana awal pertemuan kalian waktu berkunjung ke rumah Kakek d
🏵️🏵️🏵️ Ternyata Devi mampu menebak apa yang aku pikirkan. “Terus terang, aku masih belum percaya sepenuhnya dengan pernikahanku, Dev. Ini terlalu tiba-tiba.” Aku berusaha jujur kepadanya. “Mas Arfan kurang apa, Ren? Dia mapan dan pasti didambakan banyak cewek. Siapa yang nggak bangga punya suami seorang direktur? Kamu itu cewek paling beruntung, Ren.” Entah kenapa Devi berubah menjadi sosok yang sangat serius dan dewasa. “Iya, deh. Aku juga lagi belajar mencintainya.” “Menurutku, kamu itu bukan nggak cinta, tapi belum menyadari perasaanmu aja.” Aku tidak tahu harus berkata apa saat Devi mengucapkan kalimat itu. Aku belum dapat menyimpulkan apakah perasaanku selama ini terhadap Mas Arfan dapat diartikan cinta atau tidak. Namun, aku merasakan kenyamanan saat bersamanya akhir-akhir ini. Jika memang benar aku telah memiliki cinta untuknya, kenapa aku belum bersedia menyerahkan diri kepadanya? Aku masih tetap dihantui rasa bersalah hingga saat ini karena belum memberikan hak Mas Ar
🏵️🏵️🏵️ Malam ini setelah makan malam bersama, aku memilih langsung masuk kamar. Aku takut jika sewaktu-waktu, Kak Dylan tiba-tiba menelepon atau sekadar mengirim pesan. Sungguh, aku belum siap menceritakan yang sebenarnya kepada keluarga Mas Arfan, walaupun aku tahu mama mertua sering membaca novel Kak Dylan. Aku takut mereka curiga jika mengetahui diriku berbicara dengan laki-laki lain di telepon. Entah seperti apa penilaian mereka kalau sampai hal itu terjadi. Lebih baik aku memilih menghindar dengan bersantai di kamar sambil membuka buku. Di samping itu, aku juga harus fokus mencari bahan dalam menyusun skripsi. Bu Riani sebagai dosen pembimbing telah menyetujui judul yang aku ajukan. Jadi, aku sudah mulai mengumpulkan beberapa referensi sebagai acuan untuk menentukan pendahuluan. “Ren, Mama boleh masuk?” Aku dikagetkan suara mama mertua dari balik pintu kamar. “Iya, Mah. Masuk aja.” Aku segera mematikan ponsel karena ingin menghindar dari hal-hal yang tidak kuharapkan. Wan
🏵️🏵️🏵️ “Kalau aku ingin menemuinya, memang kenapa, Mas?” tanyaku dengan nada kesal. “Apa hakmu larang-larang aku?” Aku sengaja melontarkan pertanyaan itu meskipun sebenarnya, aku tidak berniat lagi bertemu dengan Kak Dylan. “Jelas aku sangat berhak karena aku suamimu. Aku tidak ingin istriku dianggap sebagai wanita tidak memiliki harga diri hingga menemui laki-laki yang bukan mahramnya.” Sungguh, aku tidak pernah menyangka seperti itu penilaian Mas Arfan terhadapku. “Jaga omongan kamu, Mas. Kamu nggak berhak menilaiku seperti itu.” Aku memukul-mukul pelan dadanya. “Sayang, kamu salah paham. Aku hanya ingin menjaga kehormatanmu.” Ia meraih tanganku lalu menciumnya. “Aku tahu, kamu pasti ingin balas dendam karena aku belum menyerahkan diri padamu. Aku belum memberikan hakmu sebagai suami. Aku belum melayanimu. Jika hal itu yang membuatmu memberikan penilaian nggak benar terhadapku, aku akan memenuhi keinginanmu.” Aku menuntun tangannya memegang dadaku. “Kamu kenapa, Sayang?” Ia