🏵️🏵️🏵️
Malam ini seperti biasa, kami makan bersama di meja makan. Sambil menyantap menu yang disuguhkan asisten rumah tangga di rumahku, aku kembali mengingat kata lamaran yang Mas Arfan ucapkan. Kenapa pemuda itu tampak yakin kalau aku yang akan mendampingi dirinya kelak? Di samping itu, mamanya juga bersikap seolah-olah aku pasti tinggal di rumah mereka nanti.
Kenapa saat aku telah menyerahkan hati dan perasaanku kepada Kak Dylan, justru Mas Arfan tiba-tiba muncul? Jika memang benar ia serius ingin melanjutkan hubungan pertemanan masa kecil kami ke jenjang yang lebih serius, harusnya ia hadir lebih awal, bukan sekarang. Aku merasa semuanya sudah terlambat.
Aku akui kalau dulu hati dan pikiranku tidak ingin lagi mengingat Mas Arfan setelah kejadian waktu itu. Namun, jika ia menemuiku lebih cepat dan bukan sekarang, mungkin aku akan berpikir untuk mempertimbangkan lamarannya. Aku tidak yakin langsung menolak niatnya.
“Ren, tadi Ayah ketemu Om Mandala.” Ayah membuyarkan lamunanku tentang Mas Arfan. Om Mandala? Kenapa nama itu tidak asing? Oh, iya, Mandala nama belakang Mas Arfan, juga nama papanya.
“Maksud Ayah … Om Mandala, papanya Mas Arfan?” Aku ingin meyakinkan apakah benar kalau yang Ayah maksud adalah papanya Mas Arfan.
“Iya. Ternyata kamu masih ingat. Bagus, deh, Ayah senang kalau kamu masih ingat calon papa mertuamu.” Apa? Calon papa mertua? Kenapa Ayah berbicara seperti itu?
“Kok, Ayah ngomongnya gitu? Rena dan Mas Arfan hanya teman masa kecil, Yah. Nggak lebih.”
“Itu menurut kamu, tapi Om Mandala dan Arfan sudah lama melamar kamu pada Ayah.”
“Apa? Itu nggak mungkin, Yah. Rena nggak punya perasaan lebih untuk Mas Arfan.” Aku mengatakan yang harus Ayah ketahui.
“Kakak gimana, sih? Cowok secakep Mas Arfan masih ditolak? Kakak kudu rajin-rajin cuci muka, nih.” Al tiba-tiba membuka suara.
“Apaan, sih? Anak kecil nggak usah ikut campur urusan orang dewasa.” Aku merucingkan mulut di depan Al.
“Yeee! Disambar orang, baru tahu rasa. Pasti Kakak nyesal.” Aku tidak merespon ucapan Al.
“Lusa nanti, keluarga Arfan mau ke sini, Sayang.” Bunda juga turut membuka suara.
“Untuk apa, Bun?” Aku merasa heran mendengar penuturan Bunda.
“Yah, untuk bahas pernikahan kamu dan Arfan.” Tidaaak! Pernikahan? Bagaimana mungkin orang tuaku tiba-tiba ingin menikahkan aku dengan pemuda yang tidak aku cintai, bahkan baru bertemu lagi setelah belasan tahun tidak ada kabar?
“Rena nggak mau, Bun. Rena masih kuliah. Rena belum berpikir untuk nikah.” Aku pun menolak tentang pernikahan yang Bunda sampaikan tadi.
Aku sangat kecewa karena tanpa sepengetahuanku, Ayah dan Bunda berniat untuk menikahkan putri semata wayangnya ini dengan pemuda yang tidak terpikirkan sama sekali. Akhirnya, aku pun memilih menghentikan makan malam, lalu beranjak dari meja makan menuju kamar.
Aku segera menghempaskan tubuh ke tempat tidur empuk yang selalu setia menemani istirahatku. Aku meraih ponsel yang terletak di nakas lalu membukanya, ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu pesan masuk. Aku pun membuka pesan yang ternyata pengirimannya sama dengan yang kemarin. Aku yakini itu Mas Arfan.
[Jangan lupa pakai jepitan kuning yang pernah kamu terima dari seseorang saat kamu masih SMP, ya. Aku yakin, kamu pasti masih menyimpannya. Lusa nanti, aku akan melamarmu bersama calon mertuamu.]
What? Jepitan kuning waktu SMP? Kenapa Mas Arfan tahu kalau aku pernah menerima benda itu dari seseorang? Itu tidak mungkin dari dirinya karena saat itu, keluarganya tinggal di Palembang. Kenapa Mas Arfan seolah-olah memberikan teka-teki kepadaku?
🏵️🏵️🏵️
Hari ini, keluarga Mas Arfan berkunjung ke rumahku. Terus terang, aku sangat bahagia karena kakek dan neneknya juga turut ikut. Aku langsung menghampiri kedua orang tua tersebut, lalu mencium punggung tangan dan memeluk mereka secara bergantian.
Rumah kakek dan nenek Mas Arfan tidak jauh dari rumahku, hanya selisih enam rumah. Sejak dulu, mereka sangat baik terhadapku. Aku sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri karena kakek dan nenek dari pihak Ayah dan bundaku telah berpulang.
Aku sering berkunjung ke rumah kakek dan nenek Mas Arfan bahkan Bunda tidak jarang memintaku mengantarkan camilan buatannya untuk kedua orang tua tersebut. Ayah dan Bunda juga selalu mengingatkan agar aku bersikap baik terhadap mereka.
“Masih ingat, nggak, Mbak, waktu Rena bayi?” tanya Bunda kepada Tante Cindy.
“Pasti ingat banget, dong, Mir.” Tante Cindy memberikan balasan. Kedua wanita itu duduk bersebelahan.
“Ingat waktu Bu Yuli nyelamatin Rena?” Bunda kembali bertanya. Apa? Neneknya Mas Arfan pernah menyelamatkan aku?
“Waktu Rena jatuh dari tempat tidur pas usia satu bulan?” Aku pernah jatuh dari tempat tidur? Kenapa Bunda tidak menceritakan kejadian itu kepadaku?
“Iya, Mbak. Benar-benar heran, sih. Baru sebulan lahir, udah aktif banget sampai jatuh dari tempat tidur. Untung Bu Yuli lewat depan rumah dan beliau dengar tangisan Rena.” Bunda tampak semangat melanjutkan ceritanya. Sementara Mas Arfan melirik ke arahku sambil menunjukkan senyuman manisnya. Eh, kenapa aku memujinya?
Nenek Yuli pun akhirnya menceritakan kejadian saat aku masih bayi. Beliau mengaku langsung membuka pintu rumahku tanpa mengetuknya terlebih dahulu karena mendengar tangisan kencang bayi dari dalam. Beliau sangat yakin kalau pemilik suara itu adalah aku.
Aku pun kembali memeluk wanita tua itu, lalu mengucapkan terima kasih. Setelah selesai menceritakan kisahku saat bayi, kedua keluarga mengganti topik pembicaraan tentang tujuan kedatangan mereka ke rumahku. Entah kenapa aku seolah-olah terhipnotis hingga menyetujui perjodohan dengan Mas Arfan.
“Terima kasih karena kamu akhirnya bersedia menikah denganku.” Mas Arfan menghampiriku yang lebih memilih duduk di teras depan rumah ketika kedua keluarga masih asyik berbincang.
“Sama-sama. Aku juga nggak tahu kenapa mengiyakan keinginan dan rencana orang tua kita.” Aku masih berpikir keras dengan jawaban yang kuberikan tadi.
“Allah yang telah membolak-balikkan hatimu, Dek. Dia tahu kalau aku tulus mencintaimu dan ingin bahagiain kamu.” What? Sekarang Mas Arfan memanggilku dengan sebutan ‘Dek’? Eh, tetapi wajar, sih, karena kenyataannya ia lebih tua dariku.
“Kita lihat aja nanti, Mas, seperti apa jalan takdir ini menuntunku. Aku serahkan semuanya kepada Yang Kuasa walaupun kenyataannya, aku harus menerima menikah dengan pemuda yang tidak aku cintai.”
“Aku yakin, kamu hanya belum menyadari cinta itu. Aku tahu seperti apa dirimu terhadapku, Dek.” Ucapan Mas Arfan benar-benar sulit aku cerna.
“Aku nggak ngerti apa maksud kamu, Mas.”
“Terima kasih karena kamu memakai jepitan kuning ini.” Mas Arfan menyentuh jepitan kuning yang aku sematkan di rambutku.
Sejak aku tidak bertemu lagi dengan Mas Arfan waktu masa kecil kami, sejak itu juga aku sering menerima barang-barang kesukaanku. Namun, orang yang memberikannya sangat aku kenal walaupun ia bilang kalau pengirimnya adalah pengagum rahasiaku.
“Kenapa kamu tahu tentang jepitan ini, Mas?” tanyaku penasaran.
“Suatu saat, kamu akan tahu segalanya.”
Jawaban Mas Arfan membuatku menebak-nebak. Apa mungkin dia yang mengirimi semua barang-barang yang aku suka sejak dulu? Namun, dari mana ia mengetahui semua tentangku? Lagi pun, ia juga tinggal di Palembang. Siapa Mas Arfan sebenarnya?
==========
Siapa Arfan sebenarnya?
🏵️🏵️🏵️ Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah. “Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku ng
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan
🏵️🏵️🏵️ Status sebagai istri Mas Arfan tetap aku ingat walaupun ia telah berbuat tidak mengenakkan. Saat ia membangunkan untuk salat Subuh, aku tetap menjadikannya imam. Aku akan berusaha memaklumi apa yang terjadi tadi setelah dirinya kembali meminta maaf. Aku berpikir sejenak, mungkin sangat keterlaluan jika aku harus tetap kesal terhadap Mas Arfan hanya karena kejadian itu. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperpanjang. Aku harus ingat nasihat Ayah dan Bunda. Setelah selesai menunaikan dua rakaat, aku mencium punggung tangan Mas Arfan. Ia pun mencium puncak kepalaku lebih lama dari biasanya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa bersalah karena sempat berpikir kalau tujuannya menikahiku hanya ingin mengusikku. Jika melihat usaha dan mendengar pengakuan Mas Arfan selama ini, aku tidak seharusnya meragukan cinta dan ketulusannya. Ia mengaku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain setelah mengenalku. Aku tidak pernah menyangka kalau cinta seperti itu ter
🏵️🏵️🏵️ Sepertinya Mas Arfan lupa kalau kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya. Terbukti saat ini, ia tampak santai langsung menutup pintu kamar, padahal tadi kakeknya melihat kami sambil tersenyum ketika hendak menuju ruang TV. Entah apa yang orang tua itu pikirkan sekarang tentang aku dan Mas Arfan. Sungguh, aku tidak mengerti jalan pikiran Mas Arfan. Tiada angin dan tiada hujan, ia tiba-tiba membuat diriku berpikir sesuatu yang sulit diungkapkan. Apa mungkin ia masih berharap agar aku segera bersikap layaknya seorang istri pada umumnya? Mas Arfan memintaku duduk di tempat tidur, sedangkan ia mengambil sesuatu dari koper. Ia menyerahkan sebuah buku harian bertuliskan namaku dan namanya. Aku sangat terkejut setelah membuka benda tersebut, isinya menjelaskan kalau dirinya mengirimkan barang-barang kesukaan sang pujaan hatinya yang tidak lain adalah aku. Ternyata dugaanku benar, Mas Arfan yang telah memberikan apa yang aku terima selama SMP hingga SMA. Jadi, ia tidak perna
🏵️🏵️🏵️ Setelah dua malam menginap di rumah kakek dan neneknya Mas Arfan, juga satu malam di rumah Ayah dan Bunda, akhirnya kami kembali pulang ke rumah orang tua Mas Arfan. Malam ini seperti sebelumnya, kami makan bersama. Papa dan mama mertua mengaku merasa kesepian sejak kepergian anak dan menantunya. Aku sangat bersyukur dan bangga memiliki mertua seperti orang tua Mas Arfan. Mereka memperlakukan aku bukan seperti menantu, tetapi layaknya anak perempuan yang dimanja. Mengingat kebaikan kedua orang tua tersebut, aku merasa bersalah karena belum mampu bersikap layaknya seorang istri seutuhnya terhadap Mas Arfan. Saat ini saja, aku merasa takut jika Mas Arfan meminta haknya sebagai suami. Entah bagaimana caraku menolaknya. Mungkin lebih baik aku masuk kamar setelah ia tertidur pulas. Terus terang, aku benar-benar masih belum terima sepenuhnya kalau ternyata aku telah resmi menjadi istrinya. “Pasti kalian mengingat bagaimana awal pertemuan kalian waktu berkunjung ke rumah Kakek d
🏵️🏵️🏵️ Ternyata Devi mampu menebak apa yang aku pikirkan. “Terus terang, aku masih belum percaya sepenuhnya dengan pernikahanku, Dev. Ini terlalu tiba-tiba.” Aku berusaha jujur kepadanya. “Mas Arfan kurang apa, Ren? Dia mapan dan pasti didambakan banyak cewek. Siapa yang nggak bangga punya suami seorang direktur? Kamu itu cewek paling beruntung, Ren.” Entah kenapa Devi berubah menjadi sosok yang sangat serius dan dewasa. “Iya, deh. Aku juga lagi belajar mencintainya.” “Menurutku, kamu itu bukan nggak cinta, tapi belum menyadari perasaanmu aja.” Aku tidak tahu harus berkata apa saat Devi mengucapkan kalimat itu. Aku belum dapat menyimpulkan apakah perasaanku selama ini terhadap Mas Arfan dapat diartikan cinta atau tidak. Namun, aku merasakan kenyamanan saat bersamanya akhir-akhir ini. Jika memang benar aku telah memiliki cinta untuknya, kenapa aku belum bersedia menyerahkan diri kepadanya? Aku masih tetap dihantui rasa bersalah hingga saat ini karena belum memberikan hak Mas Ar
🏵️🏵️🏵️ Malam ini setelah makan malam bersama, aku memilih langsung masuk kamar. Aku takut jika sewaktu-waktu, Kak Dylan tiba-tiba menelepon atau sekadar mengirim pesan. Sungguh, aku belum siap menceritakan yang sebenarnya kepada keluarga Mas Arfan, walaupun aku tahu mama mertua sering membaca novel Kak Dylan. Aku takut mereka curiga jika mengetahui diriku berbicara dengan laki-laki lain di telepon. Entah seperti apa penilaian mereka kalau sampai hal itu terjadi. Lebih baik aku memilih menghindar dengan bersantai di kamar sambil membuka buku. Di samping itu, aku juga harus fokus mencari bahan dalam menyusun skripsi. Bu Riani sebagai dosen pembimbing telah menyetujui judul yang aku ajukan. Jadi, aku sudah mulai mengumpulkan beberapa referensi sebagai acuan untuk menentukan pendahuluan. “Ren, Mama boleh masuk?” Aku dikagetkan suara mama mertua dari balik pintu kamar. “Iya, Mah. Masuk aja.” Aku segera mematikan ponsel karena ingin menghindar dari hal-hal yang tidak kuharapkan. Wan