Pagi-pagi sekali, Catra sudah sibuk di dapur dengan alat masaknya. Pagi ini, Catra berniat membuat sarapan sehat, untuk istri dan calon buah hati keduanya.
Gisa masih terlelap di lantai dua, kamarnya. Fazzura sendiri, sudah tidak terlihat di sana. Sepertinya, malam setelah Catra memintanya untuk pergi, Fazzura langsung pergi meninggalkan kediaman Catra. Catra tidak ingin tau lebih banyak lagi. Dia terlanjur kesal dengan sikap Fazzura yang tidak tau malu.
"Den, mau bibi bantu?" tanya wanita paruh baya, yang sudah bekerja di kediaman Ganendra, sejak Catra masih duduk di sekolah dasar itu.
Catra menengok sekilas, kemudian kembali fokus pada masakannya. "Tidak perlu, bi. Abang bisa sendiri," jawab Catra.
Bukan hal yang aneh bagi bik Santi, melihat sang tuan memasak sendiri. Pasalnya, sejak di kediaman utama pun, Catra lebih senang memasak makanannya sendiri, dari pada dilayani oleh para maid yang bekerja di sana.
Selera Catra kadang berbeda dengan yang
"Aku harus cepat-cepat membawa Dean pergi!!"Gisa bangkit, kemudian merapihkan surat yang tadi dia baca, dan menyimpannya kembali kedalam laci.Gisa bergegas pergi meninggalkan ruang kerja suaminya, dan masuk kedalam kamar, untuk membawa tas serta pasport miliknya. Selanjutnya dia berangkat menuju bandara."Ibu mau kemana?" tanya bik Santi, saat melihat Gisa keluar dari dalam rumah, dengan membawa tasnya."Saya mau keluar sebentar, bik. Terlalu bosan kalau terus-menerus tinggal di dalam rumah," dusta Gisa."Tapi, Bu, Aden __""Bapak sedang di luar kota, Bi. Bapak tidak akan tau, kalau saya pergi sebentar," bujuk Gisa."Jangan lama ya, Bu. Bibi takut Aden marah,""Gak mungkin!! Bapak tidak mungkin memarahi bibi. Dia selalu menghormati orang tua," jawab Gisa spontan. Gisa merutuki mulutnya yang lancang. Di saat seperti ini pun, tanpa Gisa sadari, dia memuji suaminya. Hati dan pikirannya tidak sinkron."Ya sudah, bik, Gisa
Catra segera menghubungi adiknya, untuk mengkonfirmasi keberadaan Gisa. Benar saja, istrinya saat ini sudah ada di sana. Selain itu, Catra meminta Anna untuk diam dan tidak memberitahu Gisa, kalau Catra sudah mengetahui keberadaannya. Catra mempersiapkan segalanya, sebelum berangkat ke sana, termasuk pakaian dan perlengkapan Gisa. Dia juga meminta Abhi untuk menyiapkan penerbangannya. Setelah selesai dengan segalanya, Catra berangkat hari itu juga, menyusul istrinya ke Singapura. "Den," sapa Bik Santi takut, saat melihat Catra turun dari lantai dua rumahnya, dengan membawa satu koper besar. "Kenapa bik?" tanya Catra, dengan tangan yang sibuk mengetikan sesuatu pada telepon genggam miliknya. "Maafkan bibi ya," cicit bik Santi. Catra menghentikan kegiatannya. Dia menatap wanita paruh baya yang saat ini terlihat sedang ketakutan itu. "Kenapa bibi meminta maaf?" tanya Catra. "Mmm ... tadi neng Gisa hilang," jawabnya pelan. "Bukan s
Gisa membuka matanya secara perlahan. Kepalanya yang sakit, sudah jauh lebih baik. Dia tersenyum hangat, saat mendapati tangan kekar milik suaminya, melilit posesif di atas perutnya. Gisa mengusap punggung tangan tersebut, dengan senyum yang terus tersungging dari kedua sudut bibirnya. Saat kesadarannya mulai kembali, kening Gisa berkerut bingung, mendapati ruangan yang di tempati nya itu, sebuah kamar asing. Dia edarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Setelahnya, dia mematung. "Ini di Singapura, kan?" tanya Gisa pada dirinya sendiri. Dia baru ingat kalau siang tadi, Gisa berangkat ke Singapura, untuk menjemput Dean, sang anak. Gisa menarik nafasnya panjang. Dadanya kembali sesak, saat isi dari surat yang di bacanya, kembali berputar di dalam memori Gisa. Sekelebat datang sebuah bayangan, saat suaminya tengah bersama perempuan dari tiga tahun lalunya itu. Suaminya begitu bahagia, dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Gisa tidak bisa m
"Siapa yang ke rumah sakit?" tanya seseorang dari arah tangga. Dia adalah Catra."Da-daddy ... " lirih Gisa dengan wajahnya yang ketakutan."Siapa yang ke rumah sakit?" tanya Catra sekali lagi, sambil berjalan mendekati Gisa."Ka-kakak ipar, perutnya sakit," jawab Kayanna pelan. Dia juga takut, melihat wajah kakaknya yang dingin."Apa??!!" pekik Catra kencang. "Sakit?" tanyanya memastikan.Kayanna hanya mengangguk pelan. Sementara Brahmana, dia langsung pergi menemui sopir, dan memintanya menyiapkan mobil. Sayangnya, keluarga Kaisara tidak se-kaya keluarga Ganendra. Mereka tidak memiliki helikopter di rumahnya.Catra memperlebar langkahnya. Dia panik, namun dia tutupi, dengan berusaha bersikap biasa saja. Tanpa banyak bicara, Catra langsung memposisikan tubuh Gisa, kemudian menggendongnya. Namun, Gisa menolak."Tidak perlu ke rumah sakit," tolak Gisa."Apa maksud, mommy?" tanya Catra tidak habis pikir dengan istrinya."K
Seperti biasa, Gisa terbangun dengan tangan seseorang melilit erat pada perutnya. Wajah Gisa tertekuk kesal, saat matanya, melihat wajah pulas suaminya, tengah meringkuk di atas bed rawat miliknya. Pagi ini, entah kenapa Gisa benar-benar tidak suka melihat suaminya. Ingin sekali rasanya Gisa meneriaki Catra, dan melampiaskan kekesalannya. Tidak seperti biasanya, dia memiliki perasaan seperti pagi ini. Sepertinya, sang jabang bayi tengah berulah, dengan menjauhkan ibunya dengan sang Daddy. Dengan menggunakan ujung sikut, Gisa mencoba menyingkirkan tangan Catra dari atas tubuhnya. Gisa bergegas bangkit, untuk menjauhi suaminya. Catra yang merasa sisi sampingnya kosong, lantas membuka mata dengan tangan menyentuh samping tempat tidur, tempat di mana Gisa berbaring. "Mom!!" panggil Catra panik. Dengan kedua tangan, Catra mengucek matanya yang masih sayu. Dia juga bergegas bangkit, untuk pergi mencari istrinya. Wajah Catra benar-benar panik. Gisa t
Di kediamannya, Gisa saat ini tengah sibuk melakukan persiapan untuk surprise ulang tahun suaminya, malam nanti. Dia juga, mendatangkan koki untuk membantunya membuat makanan kesukaan Catra. Selain itu, ruang keluarganya, Gisa dekor agar suasana pesta lebih terasa. Rencananya, saat malam nanti, Gisa akan mengejutkan Catra dengan pesta yang diam-diam Gisa siapkan dari jauh-jauh hari tersebut. Tidak banyak yang hadir. Hanya keluarga intinya saja. Kebetulan Kayanna pun, akan pulang hari ini. Tidak ada yang tau tentang surprise yang Gisa siapkan. Setelah kejadian bulan lalu saat di Singapura, Catra pulang ke rumah selalu larut malam, demi menyelesaikan segala pekerjaan yang sempat dia cancel. Kadang Catra pulang saat Gisa sudah tertidur dan berangkat saat Gisa belum bangun. Dalam sebulan ini pun, Catra sering bolak balik ke luar negeri, sehingga perhatian untuk keluarga nya sedikit berkurang. Gisa berharap, dengan pesta yang dia siapkan, dapat merekatkan
Abhi beranjak pergi menyusul kemana Catra pergi. Catra sudah benar-benar kelewat batas. Abhi harus memperingatkan sahabatnya itu, sebelum dia menyesali segalanya di kemudian hari. Sementara itu, Kayanna menghampiri Gisa dan Dean, yang saat ini tengah terpukul atas apa yang sudah kakaknya itu lakukan. Melihat bagaimana keponakan kesayangannya itu terluka, membuat hati Kayanna sakit. Dean terus menatap kue buatan mommy nya yang sudah hancur. "It's oke mommy. Dean tidak apa-apa. Mommy jangan nangis. Dean tidak mau kue, kok," dusta Dean menenangkan mommy nya yang saat ini masih menangis. Dari awal, Dean tidak menangis sama sekali. Dia menahan segalanya, sampai dadanya terasa sesak dan sakit. Tangis Gisa semakin menjadi, saat anaknya yang hari ini tepat berusia 3 tahun itu, berusaha terlihat baik-baik saja dihadapannya. Ini ulang tahun terburuk bagi Dean. Gisa tidak pernah membayangkan, kalau Catra akan mematahkan hati Dean dengan cara yang amat sangat menyakitkan
"ABANG!!!" teriak Kayanna kencang. Setelah mendengar teriakan adiknya, Catra sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia mendorong Fazzura hingga terjerembab ke bawah lantai. Kayanna maju, kemudian menampar Catra dengan segala kekuatannya. "GILA!!" teriak Kayanna, melampiaskan kekecewaannya. Mata Kayanna berkilat tajam, menatap Fazzura penuh benci. Dia setengah berjongkok, kemudian langsung menarik rambut Fazzura dan menyeretnya keluar dari kamar sang kakak. "Brengsek!!! Wanita sialan!!! Tidak tau terima kasih!!!" teriak Kayanna penuh nafsu. Fazzura berteriak kesakitan dengan apa yang sudah Kayanna lakukan. "Anna, sakit!" teriak Fazzura dengan tubuh terseret keluar. Kedua tangannya meronta mencoba melepaskan tangan Kayanna dari atas kepalanya. "Sakit??? Sakit Lo bilang, heh???" tanya Kayanna dengan senyum liciknya yang menakutkan. Jangan salah, dari zaman sekolah, Kayanna memang terkenal bar-bar. Dia sering membuat ulah denga