“Aku izin jemput Qaiz ke bandara, ya. Mumpung kerjaan aku udah beres.” Sebenarnya Ivy sudah izin semalam kepada Nevan, sahabatnya itu memberi kabar jika dia akan pulang. Qaiz tidak menyuruh Ivy untuk menjemput, tapi ia ingin melakukannya. Untuk menghindari kesalahpahaman Ivy kemabli meminta izin kepada Nevan.Nevan mengenal Qaiz dengan baik, tentu saja sebab Qaiz dulu yang selalu ada untuk Ivy. Ia harus berterimakasih atas jasa lelaki itu. Meski hatinya sedikit tidak rela, ia akhirnya mengangguk. “Tapi kalau udah sampe sana kabarin aku, ya?”Ivy berpose hormat. ”Kalau gitu aku berangkat dulu.”“Eh tunggu dulu,” cegah Nevan. Ia merentangkan tangannya, menunggu Ivy masuk ke dalam dekapannya. Dengan senyum maklum Ivy menghampiri Nevan. Memeluknya erat sampai suaminya puas.“Nanti pulangnya aku jemput ya.”“Kamu tunggu aja di rumah. Kamu kan baru pulih.”Nevan menggeleng. “Pokoknya aku jemput. Aku juga mau ketemu Qaiz.”“Yaudah, tapi kalau cape jangan maksain. Apalagi kalau hujan.” Ivy me
“Nevan!”Ivy menarik tangan Nevan menjauh dari Unmesh dan Manda. Ivy sempat mendengar percakapan Nevan dan Unmesh tadi. Sebab itu ia tidak bertanya apapun saat ia membawa Nevan menuju ruangannya. Ia hanya terus menggengam tangan suaminya dengan erat. Pintu lift terbuka, Ivy kembali menarik tangan Nevan untuk masuk ke ruangannya.“Aku-““Makan dulu, terus minum obat. Maaf tadi aku telat bawa makannya, aku beresi laporan dulu,” potong Ivy. Seolah sudah tahu apa yang akan diucapkan Nevan.“Kamu denger ucapan Unmesh tadi kah?”Ivy menghentikan sejenak aktivitasnya yang sedang menyiapkan makanannya di meja. Lalu melanjutkannya kembali. “Memang Pak Unmesh ngomong apa?” Ia menggeser piring ke Nevan.“Enggak, bukan apa-apa.” Nevan sedikit lega.Ivy diam-diam mencuri pandang kea rah Nevan. “Kamu ada masalah apa sampai berantem sama Pak Unmesh?” Ia menyuapkan satu suap makanannya ke dalam mulut.“Dia terlalu ikut campur sama urusan pribadi aku.”“Mungkin maksudnya peduli, kenapa gak dibicarain
“Kalau mulai pusing suruh orang buat panggil aku. Jangan maksain,” peringat Ivy. Kali ini Ivy yang mengantarkan Nevan ke ruang kerjanya. Khawatir jika Nevan akan pingsan selama perjalanan menuju ruangannya karena sehabis bangun tidur suaminya itu mengeluhkan sakit kepala.Nevan mengusap kepala Ivy, tersenyum lebar. “Iya sayang. Kamu udah ngomong berapa kali itu. Takut banget kehilangan aku kah?”Ivy berdecak kesal. “Aku serius. Kamu tuh bercanda terus.”“Kok marah? Aku juga serius. Lagian ini lukanya gak seberapa.” Nevan memegang perban di kepalanya. “Gak usah khawatir.”“Yaudah aku ke ruangan ku dulu.”“Eh,” kata Nevan, Ivy kembali berbalik. “Sini, main nyelonong aja.”“Apa? Ada yang kelupaan?” tanya Ivy bingung.Nevan mencium kening Ivy, lalu memeluknya. “Batre aku harus full dulu,” katanya mengenyamankan pelukannya.Ivy hanya tersenyum di dalam dekapan Nevan. Ia tidak takut akan ada orang yang melihat. Ia sudah berlajar banyak dari Nevan, tidak usah mengorbankan kebahagiaan sendiri
“Kamu mau pulang atau mau nginep lagi di sini?”“Kalau nginepnya sama kamu gak apa-apa, sih.”Ivy mendelik. Hari ini ia terpaksa harus absen kerja karena ia harus menemani Nevan di rumah sakit. Kemarin dokter bilang, Nevan hanya di rawat satu malam. Seharusnya siang ini mereka sudah harus berkemas. Tapi Nevan tidak mau melepaskan tubuh Ivy. Bahkan tadi saat sarapan, pria itu terus memeluk tangan Ivy tidak mau ditinggalakan.Pintu kamar rawat Nevan diketuk, lalu satu suster dan seorang dokter pria masuk. Tersenyum melihat pemandangan pasiennya yang sangat menyinggung perasaannya itu.“Ada dokter, awas dulu,” kata Ivy. Tapi Nevan tidak menurut.“Gak apa-apa kan, Dok istri saya ikut baring di sini?” tanya Nevan setelah dokter itu berdiri di samping ranjangnya.Dokter itu mengangguk. “Boleh, saya hanya ingin memeriksa keadaan Bapak. Sepertinya sudah membaik, ya?”Nevan tersenyum. “Berkat obat ini, Dok.” Ia menunjuk Ivy. Perempuan itu langsung mencubit perut Nevan, namun suaminya itu mala
Bibi yang membantu mengurus rumahnya mengetuk pintu. Nevan mempersilahkannya masuk. Wanita paruh baya itu membawa obat dan air minum dalam satu nampan.“Kata Ibu sudah waktunya Bapak minum obat,” ucap bibi menyimpan nampan itu di nakas.“Ibu hubungin Bibi?” tanya Nevan.“Betul. Barusan sekali.”Nevan menyambar ponselnya yang sudah ia lempar ke bawah kakinya karena kesal Ivy tidak kunjung membalas pesan-pesannya. Pria itu mendesah, pesannya belum dibalas, tapi mengapa Ivy malah menghubungi si Bibi.“Kalau gitu Bibi permisi.” Bibi keluar dari kamar Nevan membawa nampannya setelah Nevan mengangguk dengan wajah cemberut.Ia melongok jam di dinding, sudah mau jam tiga sore. Tangan Nevan terulur untuk meraih air minum dan obatnya, agar nanti Ivy akan marah jika ia tidak meminum obatnya. Lagi pula, berbaring di tempat tidur seperti ini membuatnya merasa bosan. Apalagi Ivy tidak ada. Ia harus segera sembuh. Belum sempat Nevan menggenggam gelas air minum, ia mendapatkan notifikasi pesan. Buru-b
“Nevan?”Kerumunan orang-orang itu menatap Ivy iba. Sementara Ivy merasa hidupnya terasa runtuh seketika. Air matanya terurai, kerongkongannya terasa tercekat. Kakinya terasa berat hanya untuk menggapai pintu mobil Nevan.Sore itu hujan semakin deras, sama derasnya dengan tangis Ivy. Perempuan berkemeja putih sudah yang basah kuyup itu mengetuk-ngetuk kaca mobil berharap Nevan masih dalam keadaan sadar dan segera membukakan pintunya. Orang-orang yang menyaksikan seolah tidak memiliki empati, hanya meluangkan waktu untuk menonton “adegan” dramatis di tengah hujan.Ivy memanggil-manggil nama Nevan. Berulang kali, hingga rasanya suaranya akan habis. Di sela kepanikannya ia menelepon ambulan.“Nevan? Kamu di dalem? Buka pintunya sayang. Ini aku.” Isak tangis Ivy akhirnya membuah kan hasil. Pintu mobil mendadak bisa di buka. Ia yakin ini bukan suatu keajaiban seperti di dongeng-dongeng, Nevan pasti baik-baik saja sehingga ia masih bisa membuka kan pintu mobil untuknya.Ivy segera masuk. Wa