Share

Bab 7 Tidak Pulang

"Makanya hati-hati." Bastian mengoleskan obat pada kaki Nala yang luka akibat terjatuh.

Meringis tat kala obat itu menciptakan rasa perih untuknya. "Iya, maaf. Tadi aku kira itu gambar apaan, otak gue aja yang kotor ternyata." Laki-laki dihadapannya ini hanya fokus mengobati lukanya, membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sial! Yang dilihatnya malah wanita itu tengah menatapnya sinis. "kenapa, Tan? Gitu banget lihatinnya."

Sonya mendengus kesal. "Tanggung jawab, minuman gue sampe tumpah gara-gara lo."

"Kok? Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. Perasaan ia tidak melakukan apapun yang merugikan wanita itu, kenapa ia bersalah?

"Heh! Gara-gar--"

"Udah." Sahut Bastian. Ia tak ingin mendengar keributan lagi kali ini. "udah selesai, bisa kan masuk kamar?" Nala menganggukkan kepalanya.

Sebenarnya masih perih, tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak lebih merepotkan lagi. Untung saja kakinya tidak sampai pincang. Langkah kakinya terhenti saat ia hendak melewati foto tadi, dipandanginya ulang bagian foto yang membuatnya terkejut tadi.

"Iya ya, ternyata itu orang mau mancing," gumamnya pelan. Padahal, saat dilihatnya pertama kali tadi itu seperti seorang yang hendak kencing. Karena sudut pandang dan minimnya intensitas cahaya itulah yang membuat tangkapannya salah.

Nala membaringkan tubuhnya dengan pelan ke atas ranjang, memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Entah bagaimana hidupnya kedepan, kenapa sih ia mendapatkan genre hidup seperti ini?

Diraihnya ponselnya yang terletak di atas nakas. Tak ada tatapan binar lagi, padahal biasanya di jam-jam ini, ia mendapatkan banyak pesan masuk dari mamanya.

Makan yang sehat, sore nanti nggak usah ke toko, kamu di rumah aja, istirahat.

Sekarang, Nala tak lagi mendapatkan pesan seperti itu. Memang hati manusia gampang sekali berubah, dulu ia begitu kesal dengan pesan yang mamanya kirim, tapi sekarang ia begitu merindukannya.

Perlahan ia memejamkan matanya, hampir saja dirinya tertidur kalau saja rungunya tak mendengar suara deru mesin mobil dari pekarangan rumah. Ah, sepertinya mereka langsung pergi. Tak ingin banyak berpikir, Nala berusaha kembali menutup matanya, memaksakan diri untuk tidur.

Nala terbangun, kerongkongannya terasa begitu kering. "Eugh," lenguhnya sebelum berusaha bangkit dari posisi duduknya. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa kantuk, sebelum mengguyar rambutnya ke belakang.

Lehernya terasa sakit, sepertinya posisinya tadi tak nyaman, membuatnya meringis saat rasanya berdenyut. Pandangan mata Nala beralih pada ponselnya, namun tanpa sengaja ia melihat ke arah jendela. "Hah?" Netra cokelat Nala langsung membola saat menyadari hari sudah gelap, diraihnya dengan kasar benda pipih tersebut. "jam tujuh malam?" Nala menatap tak percaya jam dilayar ponselnya.

Kok bisa, sih? Nala beranjak turun dari ranjang. Obatnya sudah bereaksi, kakinya tak lagi terasa sakit, bahkan ia sudah bisa berjalan dengan begitu normal. Tujuan utamanya adalah ke luar dari kamar.

Sepi, sepi sekali. "Om?" panggilnya sembari terus melangkahkan kakinya menyusuri ruangan yang ada. "Om?"

Sregg

Langkah kaki Nala langsung terhenti saat mengingat sesuatu. "Apa belum pulang, ya?" Bukan takut, tapi ia hanya belum beradaptasi dengan tempat ini. Bagaimana jika penghuni lain di rumah ini mengganggunya karena belum merasa akrab?

Nala merotasikan kedua matanya, mencoba memastikan semuanya aman. Buru-buru Nala memutar arah tubuhnya, berlari secepat yang ia bisa untuk kembali ke kamarnya.

"Hah ... hah ... hah. Bangsat!" Nala langsung membungkam mulutnya, ia tak boleh berkata kasar di tempat asing ini. Takut ada yang tersinggung.

Ditariknya selimut tebal itu hingga menutupi seluruh tubuhnya, di bawah sana deru napas Nala masih menderu. Tangannya menggenggam dengan kuat agar selimut itu tak lepas dari tubuhnya. Lama-lama terasa begitu pengap.

"Ah shit!" Perutnya terasa sakit, bukan sakit yang bagaimana, melainkan perih. "karena belum makan kali, ya?" Sekitar lima menit kemudian pertahanan Nala akhirnya berakhir juga. Ia membuka dengan kasar selimut yang membungkus tubuhnya.

"Nggak mungkin juga gue gini terus sampe besok pagi." Pandangan mata Nala mengitari seluruh sudut ruangan, sebelum menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. "nggak ada apa-apa, kok. Aman." Inilah satu kelebihan Nala, ia tak akan larut dalam rasa takutnya. Mengucapkan sugesti yang bagus untuk dirinya sendiri akan membuatnya bangkit dari rasa takutnya.

Tangan kecilnya terulur untuk meraih ponselnya, bangkit dari posisi duduknya dan berlalu menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa tak nyaman, sudah saatnya bagi Nala untuk membersihkan diri. Untuk menenangkan dirinya, maka, Nala pun memutar musik yang ada dalam play list-nya untuk menemani kegiatan mandinya.

30 menit kemudian Nala keluar hanya dengan handuk yang melilit di tubuhnya, melangkahkan kaki menuju lemari pakaian dan mengeluarkan pakaian rumahan. Tentu saja seorang Nala akan malas jika harus balik ke kamar mandi, ia langsung memakai pakaiannya saat itu juga.

"Laper." Dielusnya dengan lembut perutnya yang sudah memberontak ingin segera diisi. Setelah meletakkan handuk pada tempatnya, Nala bergegas menuju dapur.

Hampir sepuluh menit ia mengitari dapur mencari sesuatu yang bisa dimakannya malam ini, tapi tak ada apapun yang bisa diolah. Rasanya ia ingin menangis, perutnya perih tapi tak ada yang bisa dimakan. Ia sendiri juga tak memiliki uang sepeserpun untuk beli di luar.

"Pahit banget nih hidup." Diusapnya dengan kasar buliran bening yang baru turun membasahi pipinya. Tak ada pilihan lain, Nala bergegas meraih gelas dan mengisinya dengan air minum. Setidaknya hanya inilah cara yang Nala tau untuk mengganjal perutnya, hampir setengah teko air minum itu telah berpindah ke dalam perut Nala.

Nala mendudukkan bokongnya di kursi, perutnya sudah terisi banyak air. Sekarang, dirinya tak lagi merasakan lapar. Tangan kecilmya terulur untuk mengelus perutnya yang membunci, dengan senyuman tipis yang mengiasi bibirnya.

"Rasanya begah."

Malam ini Nala tidur dengan perut yang terasa tak nyaman, ia bolak-balik ke kamar mandi untuk menunaikan hasratnya. Benar-benar tak nyaman rasanya. Namun, untung saja ia masih bisa tidur ketika menjelang tengah malam.

Keesokan harinya ....

Seperti biasa, Nala harus bangun pagi. Kebetulan pagi ini dirinya sedang ada kela. Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, butuh persiapan baginya selama 30 menit sampai akhirnya ia siap untuk berangkat.

"Iya, makasih. Mwahh." Panggilan itupun berakhir, Nala tersenyum menatap layar ponselnya, sebelum memasukkan benda pipih tersebut ke dalam tote bag dan bangkit dari posisi duduknya.

Lama-lama sepertinya Nala akan terbiasa dengan kondisi rumah ini yang hampir selalu sepi. Nala yakin lebih dari seratus persen, jika Bastian belum pulang hingga detik ini.

Ceklekk

Nala terkejut saat dirinya hendak membuka pintu, malah seseorang dari luar juga membukanya. Matanya membola saat mendapati Bastian datang dengan sisa-sisa kekacauannya.

Ujung bibir Bastian tertarik saat mendapati presensi Nala. "Mau berangkat kuliah? Saya anter."

Ah, benar saja. Aroma alkohol langsung tercium, bahkan lebuh pekat saat Bastian membuka suara. Sebenarnya, apa sih yang dilakukan laki-laki di depannya ini lebih dari semalaman? Kenapa pulang dalam keadaan seperti ini.

Seribu pertanyaan yang sudah berada di ujung lidah langsung Nala telan kembali. Tak ada hak baginya untuk menanyakan hal-hal semacam ini, otaknya seketika dipenuhi pengingat untuk tau diri.

"Nggak usah, Om. Udah dijemput sama temen." Tolak Nala cepat. "gue berangkat duluan, ya, Om." Tanpa menunggu jawaban dari Bastian, Nala lekas melangkahkan kakinya kembali melewati Bastian yang masih di luar pintu.

Bastian sendiri tak mau ambil pusing, dipandanginya tubuh Nala yang kian menjauh menghampiri mobil putih di seberang jalan. Tangan besarnya masih memegang tembok untuk menahan bobot tubuhnya.

Setelah tubuh Nala hilang masuk ke dalam mobil, barulah ia ikut masuk ke dalam rumah. "Pusing banget, kenapa masih pusing, sih?" Bastian menggelengkan kepalanya dengan kuat, berharap dengan melakukan ini kesadarannya akan kembali sepenuhnya.

Kerongkongannya kering, meskipun malas ia harus tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Untung saja teko bening itu masih menyisakan sedikit air, sehingga ia tak perlu repot untuk mengisinya lagi. Segelas air yang ada di tangannya langsung tandas hanya dengan beberapa kali cegukan. "Ahhhh."

Kaki besar Bastian beralih menuju kulkas, ia ingin memakan sesuatu untuk membersihkan mulutnya, tapi tak ada apapun di sana. "Brengsek!" Ditutupnya pintu kulkas tersebut dengan kasar. Pandangannya beralih pada meja yang tampak rapi dan kosong tersebut.

"Nala?" Tiba-tiba saja ia langsung teringat tentang istrinya. Buru-buru ia merogoh ponselnya yang berada di dalam saku kemeja. "aisshhh ... nggak punya kontak Nala lagi."

Bastian memijit pangkal hidungnya, berharap dengan melakukan ini bisa membuat rasa peningnya berkurang. Tak ada sisa-sisa dari makanan, sepertinya Nala tak makan apapun kemarin siang dan tadi malam. Ia tau jika Nala tak punya uang, sedangkan dirinya juga belum memberikan nafkah pada istrinya.

"Bego banget!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status