Share

Bab 7 Tidak Pulang

Author: Mi Casa
last update Last Updated: 2023-11-02 11:21:28

"Makanya hati-hati." Bastian mengoleskan obat pada kaki Nala yang luka akibat terjatuh.

Meringis tat kala obat itu menciptakan rasa perih untuknya. "Iya, maaf. Tadi aku kira itu gambar apaan, otak gue aja yang kotor ternyata." Laki-laki dihadapannya ini hanya fokus mengobati lukanya, membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sial! Yang dilihatnya malah wanita itu tengah menatapnya sinis. "kenapa, Tan? Gitu banget lihatinnya."

Sonya mendengus kesal. "Tanggung jawab, minuman gue sampe tumpah gara-gara lo."

"Kok? Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. Perasaan ia tidak melakukan apapun yang merugikan wanita itu, kenapa ia bersalah?

"Heh! Gara-gar--"

"Udah." Sahut Bastian. Ia tak ingin mendengar keributan lagi kali ini. "udah selesai, bisa kan masuk kamar?" Nala menganggukkan kepalanya.

Sebenarnya masih perih, tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak lebih merepotkan lagi. Untung saja kakinya tidak sampai pincang. Langkah kakinya terhenti saat ia hendak melewati foto tadi, dipandanginya ulang bagian foto yang membuatnya terkejut tadi.

"Iya ya, ternyata itu orang mau mancing," gumamnya pelan. Padahal, saat dilihatnya pertama kali tadi itu seperti seorang yang hendak kencing. Karena sudut pandang dan minimnya intensitas cahaya itulah yang membuat tangkapannya salah.

Nala membaringkan tubuhnya dengan pelan ke atas ranjang, memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Entah bagaimana hidupnya kedepan, kenapa sih ia mendapatkan genre hidup seperti ini?

Diraihnya ponselnya yang terletak di atas nakas. Tak ada tatapan binar lagi, padahal biasanya di jam-jam ini, ia mendapatkan banyak pesan masuk dari mamanya.

Makan yang sehat, sore nanti nggak usah ke toko, kamu di rumah aja, istirahat.

Sekarang, Nala tak lagi mendapatkan pesan seperti itu. Memang hati manusia gampang sekali berubah, dulu ia begitu kesal dengan pesan yang mamanya kirim, tapi sekarang ia begitu merindukannya.

Perlahan ia memejamkan matanya, hampir saja dirinya tertidur kalau saja rungunya tak mendengar suara deru mesin mobil dari pekarangan rumah. Ah, sepertinya mereka langsung pergi. Tak ingin banyak berpikir, Nala berusaha kembali menutup matanya, memaksakan diri untuk tidur.

Nala terbangun, kerongkongannya terasa begitu kering. "Eugh," lenguhnya sebelum berusaha bangkit dari posisi duduknya. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa kantuk, sebelum mengguyar rambutnya ke belakang.

Lehernya terasa sakit, sepertinya posisinya tadi tak nyaman, membuatnya meringis saat rasanya berdenyut. Pandangan mata Nala beralih pada ponselnya, namun tanpa sengaja ia melihat ke arah jendela. "Hah?" Netra cokelat Nala langsung membola saat menyadari hari sudah gelap, diraihnya dengan kasar benda pipih tersebut. "jam tujuh malam?" Nala menatap tak percaya jam dilayar ponselnya.

Kok bisa, sih? Nala beranjak turun dari ranjang. Obatnya sudah bereaksi, kakinya tak lagi terasa sakit, bahkan ia sudah bisa berjalan dengan begitu normal. Tujuan utamanya adalah ke luar dari kamar.

Sepi, sepi sekali. "Om?" panggilnya sembari terus melangkahkan kakinya menyusuri ruangan yang ada. "Om?"

Sregg

Langkah kaki Nala langsung terhenti saat mengingat sesuatu. "Apa belum pulang, ya?" Bukan takut, tapi ia hanya belum beradaptasi dengan tempat ini. Bagaimana jika penghuni lain di rumah ini mengganggunya karena belum merasa akrab?

Nala merotasikan kedua matanya, mencoba memastikan semuanya aman. Buru-buru Nala memutar arah tubuhnya, berlari secepat yang ia bisa untuk kembali ke kamarnya.

"Hah ... hah ... hah. Bangsat!" Nala langsung membungkam mulutnya, ia tak boleh berkata kasar di tempat asing ini. Takut ada yang tersinggung.

Ditariknya selimut tebal itu hingga menutupi seluruh tubuhnya, di bawah sana deru napas Nala masih menderu. Tangannya menggenggam dengan kuat agar selimut itu tak lepas dari tubuhnya. Lama-lama terasa begitu pengap.

"Ah shit!" Perutnya terasa sakit, bukan sakit yang bagaimana, melainkan perih. "karena belum makan kali, ya?" Sekitar lima menit kemudian pertahanan Nala akhirnya berakhir juga. Ia membuka dengan kasar selimut yang membungkus tubuhnya.

"Nggak mungkin juga gue gini terus sampe besok pagi." Pandangan mata Nala mengitari seluruh sudut ruangan, sebelum menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. "nggak ada apa-apa, kok. Aman." Inilah satu kelebihan Nala, ia tak akan larut dalam rasa takutnya. Mengucapkan sugesti yang bagus untuk dirinya sendiri akan membuatnya bangkit dari rasa takutnya.

Tangan kecilnya terulur untuk meraih ponselnya, bangkit dari posisi duduknya dan berlalu menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa tak nyaman, sudah saatnya bagi Nala untuk membersihkan diri. Untuk menenangkan dirinya, maka, Nala pun memutar musik yang ada dalam play list-nya untuk menemani kegiatan mandinya.

30 menit kemudian Nala keluar hanya dengan handuk yang melilit di tubuhnya, melangkahkan kaki menuju lemari pakaian dan mengeluarkan pakaian rumahan. Tentu saja seorang Nala akan malas jika harus balik ke kamar mandi, ia langsung memakai pakaiannya saat itu juga.

"Laper." Dielusnya dengan lembut perutnya yang sudah memberontak ingin segera diisi. Setelah meletakkan handuk pada tempatnya, Nala bergegas menuju dapur.

Hampir sepuluh menit ia mengitari dapur mencari sesuatu yang bisa dimakannya malam ini, tapi tak ada apapun yang bisa diolah. Rasanya ia ingin menangis, perutnya perih tapi tak ada yang bisa dimakan. Ia sendiri juga tak memiliki uang sepeserpun untuk beli di luar.

"Pahit banget nih hidup." Diusapnya dengan kasar buliran bening yang baru turun membasahi pipinya. Tak ada pilihan lain, Nala bergegas meraih gelas dan mengisinya dengan air minum. Setidaknya hanya inilah cara yang Nala tau untuk mengganjal perutnya, hampir setengah teko air minum itu telah berpindah ke dalam perut Nala.

Nala mendudukkan bokongnya di kursi, perutnya sudah terisi banyak air. Sekarang, dirinya tak lagi merasakan lapar. Tangan kecilmya terulur untuk mengelus perutnya yang membunci, dengan senyuman tipis yang mengiasi bibirnya.

"Rasanya begah."

Malam ini Nala tidur dengan perut yang terasa tak nyaman, ia bolak-balik ke kamar mandi untuk menunaikan hasratnya. Benar-benar tak nyaman rasanya. Namun, untung saja ia masih bisa tidur ketika menjelang tengah malam.

Keesokan harinya ....

Seperti biasa, Nala harus bangun pagi. Kebetulan pagi ini dirinya sedang ada kela. Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, butuh persiapan baginya selama 30 menit sampai akhirnya ia siap untuk berangkat.

"Iya, makasih. Mwahh." Panggilan itupun berakhir, Nala tersenyum menatap layar ponselnya, sebelum memasukkan benda pipih tersebut ke dalam tote bag dan bangkit dari posisi duduknya.

Lama-lama sepertinya Nala akan terbiasa dengan kondisi rumah ini yang hampir selalu sepi. Nala yakin lebih dari seratus persen, jika Bastian belum pulang hingga detik ini.

Ceklekk

Nala terkejut saat dirinya hendak membuka pintu, malah seseorang dari luar juga membukanya. Matanya membola saat mendapati Bastian datang dengan sisa-sisa kekacauannya.

Ujung bibir Bastian tertarik saat mendapati presensi Nala. "Mau berangkat kuliah? Saya anter."

Ah, benar saja. Aroma alkohol langsung tercium, bahkan lebuh pekat saat Bastian membuka suara. Sebenarnya, apa sih yang dilakukan laki-laki di depannya ini lebih dari semalaman? Kenapa pulang dalam keadaan seperti ini.

Seribu pertanyaan yang sudah berada di ujung lidah langsung Nala telan kembali. Tak ada hak baginya untuk menanyakan hal-hal semacam ini, otaknya seketika dipenuhi pengingat untuk tau diri.

"Nggak usah, Om. Udah dijemput sama temen." Tolak Nala cepat. "gue berangkat duluan, ya, Om." Tanpa menunggu jawaban dari Bastian, Nala lekas melangkahkan kakinya kembali melewati Bastian yang masih di luar pintu.

Bastian sendiri tak mau ambil pusing, dipandanginya tubuh Nala yang kian menjauh menghampiri mobil putih di seberang jalan. Tangan besarnya masih memegang tembok untuk menahan bobot tubuhnya.

Setelah tubuh Nala hilang masuk ke dalam mobil, barulah ia ikut masuk ke dalam rumah. "Pusing banget, kenapa masih pusing, sih?" Bastian menggelengkan kepalanya dengan kuat, berharap dengan melakukan ini kesadarannya akan kembali sepenuhnya.

Kerongkongannya kering, meskipun malas ia harus tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Untung saja teko bening itu masih menyisakan sedikit air, sehingga ia tak perlu repot untuk mengisinya lagi. Segelas air yang ada di tangannya langsung tandas hanya dengan beberapa kali cegukan. "Ahhhh."

Kaki besar Bastian beralih menuju kulkas, ia ingin memakan sesuatu untuk membersihkan mulutnya, tapi tak ada apapun di sana. "Brengsek!" Ditutupnya pintu kulkas tersebut dengan kasar. Pandangannya beralih pada meja yang tampak rapi dan kosong tersebut.

"Nala?" Tiba-tiba saja ia langsung teringat tentang istrinya. Buru-buru ia merogoh ponselnya yang berada di dalam saku kemeja. "aisshhh ... nggak punya kontak Nala lagi."

Bastian memijit pangkal hidungnya, berharap dengan melakukan ini bisa membuat rasa peningnya berkurang. Tak ada sisa-sisa dari makanan, sepertinya Nala tak makan apapun kemarin siang dan tadi malam. Ia tau jika Nala tak punya uang, sedangkan dirinya juga belum memberikan nafkah pada istrinya.

"Bego banget!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 105. Happy

    Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 104. Nggak Boleh Ngalah Terus

    Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 103. Pendekatan

    Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 102. Adimas

    "Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 101. Jalan Masing-Masing

    Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu

  • Mendadak Dinikahi Om-Om   Bab 100. Papa Bas dan Mama Nal

    "Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status