Share

Bab 8. Nafkah Pertama

"Kenapa, sih? Kok diem aja dari tadi?" Dina meraih segelas jus mangga yang ada di depannya, sejak tadi belum tersentuh sama sekali.

Tak ada yang tau pertanyaan itu ditujukan pada siapa, hingga tak ada yang menanggapinya.

"Nal?"

Nala sontak saja langsung menoleh ke arah Dina, menaikkan sebelah alisnya karena tak paham. "Oh, tadi ngomong sama gue?"

"Setan."

"Ya, maaf. Kan disini yang diem gue sama Argi, nggak tau kalau itu pertanyaan buat gue." Nala menyimpan kembali ponselnya ke atas meja, beralih memfokuskan diri pada teman di sampingnya ini. "gue sebenarnya kangen Mama, bingung."

Suasana mendadak berubah. Baik Dina sendiri, Argi, maupun Dewa sama-sama menelan ludahnya sendiri.

Menyadari suasana yang berubah karena ucapannya, membuat Nala menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kangen aja, nggak ada niatan gimana-gimana."

"Iya, paham. Wajar kok." Argi membuka suara, ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya, "eh, gimana wiu wiu-nya? Mantep, nggak?"

Tak ada yang paham dengan maksud ucapan Argi barusan. Nala sendiri malah memandang ke arah Dina dan juga Dewa secara bergantian seakan meminta penjelasan, namun dua orang itu sama-sama mengendikkan bahu dan menggelengkan kepalanya.

"Apaan? Yang jelas kalau ngomong."

Argi mendengus kesal, sengaja kata-katanya ia samarkan agar lebih sopan. Namun, malah tak ada yang mengerti maksud ucapannya. "Udah ngentod, belum?"

"HEH! Congornya!" Nala sontak melempar bantal dan mendarat tepat di wajah Argi. Gerak refleks Nala begitu cepat, berbeda dengan Dina dan juga Dewa yang masih membeku karena terkejut dengan ucapan frontal Arghi barusan. "kayak nggak disekolahin aja itu mulut."

"Halah, nggak usah sok polos. Kayak yang nggak pernah ngomongin gituan aja lo."

Iya sih, bener. Diantara empat sekawan ini memang Argi dan Nala yang mulutnya paling tidak bisa dikontrol, begitu pula dengan tingkah lakunya. Tapi, sekarang kan suasananya sudah berbeda. Nala sudah mengubah status-nya menjadi seorang Istri, dan percakapan semacam ini hanya cocok dibicarakan oleh orang yang sudah berpasangan secara sah menurut agama dan negara.

"Iya, tapi kan itu dulu, jangan disamain napa, sih? Dukung dong temennya mau berubah."

"Dari jawaban-jawaban model gini, nih. Gue udah tau jawabannya pasti belum." Argi tersenyum miring. "nggak berkesan dong malam pertamanya. Pasti lo yang dit--" Ucapan Argi langsung terhenti saat tak sengaja tatapannya bertemu dengan Dina yang mengisyaratkan untuk diam, memberi kode agar melihat reaksi Dewa.

Aduh, Argi lupa kalau di sini ada orang yang masih menyimpan rasa pada perempuan yang telah ber-status sebagai Istri orang. Ia langsung mengusap wajahnya kasar melihat reaksi Dewa yang hanya diam dan menunjuk.

"Mampus," ucap Nala tanpa mengeluarkan suara, membuat Argi meringis memejamkan matanya karena merasa bersalah. "nggak mood lah gue. Capek," sambungnya yang seketika saja langsung membuat Dewa mengangkat kepalanya.

Nala tersenyum lembut pada Dewa, senyuman yang jarang sekali dirinya perlihatkan pada orang lain selain Dewa. "Cepet sembuh, ya, Wa. Lo sih aneh-aneh segala pake makan pedes, udah tau nggak bisa makan itu."

Argi dan Dina saling beradu pandang, sebelum keduanya sama-sama mengalihkan pandangan pada Dewa. Dari ketiganya memang tak ada yang memberitahukan pada Nala apa yang sebenarnya terjadi pada Dewa dihari pernikahan Nala.

"Udah hampir jam lima, gue pulang dulu, ya?" Nala lekas bangkit dari posisi duduknya.

Ada rasa tak rela melihat Nala akan pergi, tapi bagaiman lagi? Sudah lebih dari setengah hari Nala berada di sini, tentu saja Dewa tak memiliki hak untuk menahan Nala lebih lama di sini. "Hati-hati, ya? Kabarin kalau udah sampe rumah."

Nala menganggukkan kepalanya mantap dan mengacungkan jempolnya. "Cepet sembuh." Pandangannya beralih pada Dina yang masih berada diposisinya semula. "ayok, Din."

***

Hampir pukul enam sore saat Nala tiba di rumahnya, sementara Dina langsung pamit pulang menolak ajakan basa-basi Nala untuk mampir terlebih dahulu.

"Beneran nggak ada orang lagi?" Nala melangkahkan kaki memasuki rumah. Ia menarik nafasnya dalam sebelum menarik senyuman. "nggak apa-apa, malah enak sendirian tau."

Tak ingin membuang-buang waktu lagi, Nala langsung bergegas masuk ke dalam kamar dan membersihkan dirinya dari pakaian yang telah dikenakannya seharian ini. Harum aroma sabun dan sampo yang menguar dari tubuh Nala terasa begitu segar, tanda jejak pembersihan dirinya.

Tok ... tok ... tok

Garakan tangan Nala langsung terhenti, keningnya berkerut sebelum akhirnya membelalak sempurna. "Siapa, woi?" Diambilnya dengan kasar vas bunga yang ada di sampingnya.

"Saya," jawab seseorang di luar sana.

"Om?"

"Iya."

Mendengar jawaban terakhir membuat Nala menghela nafas lega. Diletakkannya kembali vas bunga tersebut di tempatnya semula. "Sebentar, ya, Om. Masih handukan, gue mau ganti baju dulu."

"Oke, saya tunggu di luar, ya."

Tanpa menjawab lagi, Nala langsung mempercepat langkah kakinya menuju lemari. Diambilnya pakaian rumahan dari sana, hanya daster yang diambilnya. Buru-buru ia memakai dengan cepat pakaian tersebut.

Aroma wangi yang menguar membuat Bastian langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber wangi itu bermuara. "Hah?" Bastian tersentak kaget melihat penampilan wanita yang terus melangkahkan kaki ke arahnya tersebut. Penampilan Nala yang memakai daster lengan pendek selutut dengan rambut setengah basah itu terlihat menarik, namun terlalu bahaya untuk ditampilkan. Buru-buru Bastian mengalihkan pandangannya.

"Ada apa, Om?" Dengan santai Nala mendudukkan bokongnya di seberang Bastian.

"Ini buat kamu, pin-nya 22530." Diletakkannya sebuah kartu di hadapan Nala. "sebulan 10 juta sama belanjanya cukup?"

Pandangan Nala masih belum beralih dari benda tersebut. Ia butuh, tapi tak juga minat untuk mengambilnya. "O-om?"

"Buat kuliah aman, saya yang bayar. Oh, ya satu lagi, saya mau belikan motor, kamu maunya motor apa?"

Detik demi detik berlalu, netra Bastian menyipit melihat Nala tak ada pergerakan untuk menjawab pertanyaannya. Sejak tadi pandangannya tak beralih dari kartu yang ada di depannya.

"Kurang, ya, uangnya? Saya bisa tambahin lagi, berap--"

"Om, ini kebanyakan. Setengahnya aja, Om buat jajan gue. Uang belanja aku minta kalau mau belanja aja, ya, Om." Pandangan Nala beralih menatap laki-laki di depannya ini. "Om malah rugi banget nikahin gue."

"Kenapa ngomong gitu?"

Nala menarik nafasnya dalam-dalam, agak sulit untuk mengontrol diri yang hampir menangis saat ini. "Om, ini tuh nggak worth it buat gue yang nggak berkontribusi apa-apa. Sebenarnya Om udah bantu biayain Mama aja itu udah lebih dari cukup. Aku bisa biayain hidup aku kok, Om, nanti aku bakalan cari kerja."

"Biar apa?"

"Biarin, Om."

Bastian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi tanpa mengalihkan tatapannya pada perempuan di depannya ini. Ia memikirkan sesuatu dalam kepalanya, sebelum akhirnya berucap, "Ini udah tugas saya sebagai Suami kamu. Nggak etis kalau saya biarin kamu kerja, sementara saya masih mampu biayain hidup kamu."

Nala terkekeh pelan mendengar jawaban itu. "Om, sadar nggak sih? Om ngomong kayak gini seakan-akan Om beneran niat nikahin aku."

"Saya emang niat. Makanya saya nikahin kamu."

Hembusan nafas berat Nala kembali terdengar. "Maksudnya kayak yang Om nikah sama orang yang Om suka gitu loh, effort banget."

"Jangan bicara kemana-mana, ambil uangnya. Oh, ya, tadi saya sudah belanja." Bastian langsung bangkit dari posisi duduknya.

"Heh, Om. Tunggu dulu." Dengan cepat Nala msnghentikan pergerakan Bastian, hingga laki-laki itu beralih menatapnya. "anu, minta nomornya dong, Om. Kali aja nanti ada perlu, hehe."

"Mana hp kamu?"

Nala buru-buru bangkit dari posisi duduknya. "Ada di kamar, Om. Nanti aku ambil, katanya Om abis belanja, ya? Aku beresin dulu. Makasih duitnya." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Nala langsung meraih dengan kasar kartu tersebut dan lekas melangkahkan kaki menuju dapur.

Wahh ... ada tiga kantung besar berisi belanjaan. Mulai dari buah, sayur, daging, bumbu-bumbu, dan juga camilan. Dengan telaten Nala menata barang-barang belanjaan itu dengan rapi. Mulai dari kulkas, rak bumbu, dan juga rak samping untuk menyimpan aneka camilan kering.

Setelah memastikan semuanya beres, Nala langsung beranjak kembali ke kamar. Diletakkannya kartu yang baru didapatkannya ke laci meja rias, sebelum tangan kecilnya meraih dengan kasar ponsel miliknya yang tergeletak di atas kasur.

"Susul ke atas aja kali, ya?" gumam Nala menatap ke arah lantai atas. Tanpa pikir panjang lagi ia pun mulai menaiki satu per satu anak tangga.

Di sini tak nampak lagi ada hiasan dinding, sepertinya hiasan dinding hanya di pasang di ruang tengah. Tak sulit untuk menemukan kamar, karena sepanjang penglihatan Nala hanya ada satu kamar yang nampak.

"Aduh, kok malah kebelet pipis, sih?" gumam Nala. Padahal tadi rasanya tak seperti ini, masih bisa ditahannya. Kenapa sekarang malah hampir jebol. "aduh. Masuk aja dah. Udah di ujung banget ini, sekalian." Terlalu memakan waktu jika ia harus turun, lalu kembali ke sini. Tanpa pikir panjang dibukanya pintu yang kebetulan sedang tak terkunci tersebut.

Sreggg

"AAA! Om!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status