Share

Mendadak Dinikahi Om-Om
Mendadak Dinikahi Om-Om
Penulis: Mi Casa

Boti?

"Gimana Nala bayarnya, Ma?" 

Bayangan jika dirinya tak bisa membayar biaya rumah sakit mamanya, benar-benar membuat Nala takut. Jika ia tak bisa membayar biaya rumah sakit, maka sama saja dengan ia membunuh sang Mama, 'kan? "Tuhan ... tolong bantu hambamu ini." Buliran air matanya menggenang di pelupuk mata.

Pemandangan mamanya yang tengah berbaring dengan berbagai alat bantu dari balik kaca panjang pintu itupun semakin buram, sampai pada akhirnya tangisnya kembali tak terbendung. Ia terisak, tanpa suara sebab tadi ia sudah banyak menangis dan meraung.

Suara bariton tiba-tiba menyentak Nala yang tengah terisak hebat itu.

"Biar saya yang bayar biaya rumah sakit Mama kamu!"

Pandangan mata Nala langsung beralih ke arah sumber suara dengan kening berkerut. “Maaf?” Ia mengerutkan dahi, lalu menghapus lelehan air mata di pipi dengan cepat.

“Saya cuma mau nolong kamu.”

Pria dengan tinggi menjulang dan pesona rupawan itu berkata dengan ekspresi dingin.

“Ya Tuhan, apa lagi ini?” Nala memejamkan matanya sejenak. Ia berpikir, pria ini tengah mencoba mengerjainya. “Kalau lo mau bercanda, please … ini bukan waktu yang tepat.”

“Saya tidak bercanda. Saya akan bayar biaya rumah sakit Mama kamu sekarang juga,” katanya sambil menatap Nala dengan lekat. "Asal kamu mau nikah dengan saya."

Nala mendengus. Pria asing, muncul di hadapannya berniat menolong saja sudah begitu aneh menurutnya. Apalagi jika ia menawarkan sebuah syarat seperti di novel-novel? Lebih aneh lagi.

“Udah ya, Om, gue nggak punya waktu bercanda,” kata Nala dengan nada frustrasinya. "Tolong, jangan ganggu gue.”

Bukannya pergi, laki-laki itu menggelengkan kepala sebelum kemudian menarik bagian atas celananya dan berlutut di samping Nala. "Saya nggak lagi bercanda. Saya denger kamu butuh uang buat biaya rumah sakit Mama kamu, 'kan?"

Meski masih bingung dengan kebetulan ini, tetapi Nala tiba-tiba mendapat secercah cahaya. Apa mungkin ini jawaban dari do'a yang baru saja dilangitkan olehnya? Apa mungkin Tuhan mengabulkan do'anya secepat ini?

"Ah, sial!" Nala memekik pelan, tak percaya dengan apa yang dihadapinya dalam situasi seperti ini. "Lo orang gila dari belahan bumi mana, sih? Nggak ngotak banget kalau ngomong. Apa lo bilang tadi? Nikah?” Dada wanita itu naik turun, emosinya mulai naik karena merasa dipermainkan. “Wah ... parah, lo ini bujang lapuk apa gimana sih? Bisa-bisanya ngajak sembarang orang nikah, udah sange, ya? Noh, purel ada di mana-mana tinggal comot aja nggak perlu sampe nikah-nikah, tinggal kasih duit. Beres."

Rasanya ingin sekali Nala menendang wajah laki-laki asing di depannya ini, tapi sejak kapan sih dirinya bisa sekasar itu? Mungkin, ini karena ia sudah terlalu kesal dengan ke-randoman pria itu. Padahal, sebenarnya Nala adalah gadis yang lembut. Sedari kecil mamanya selalu mengajarkan untuk tidak melakukan kekerasan.

"Nggak sange, astaga. Saya cuma mau bantu kamu. Anggap aja saya kasihan lihat kamu."

Nala yang baru akan menjauh dengan mendorong kursi rodanya sendiri. Namun, laki-laki itu menghentikan pergerakannya. Ia memandang laki-laki itu sejenak. 

Cukup tampan. Badannya juga bagus, pakaiannya rapi, tampak seperti orang kaya. Namun, otaknya yang semula lurus, kali ini tidak bisa untuk berpikiran tidak buruk pada laki-laki itu.

"Om boti, ya? Mau nikahin saya cuma buat nutupin aib, Om?" kata Nala sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah laki-laki itu.

Jaman sekarang memang lagi musim spesies seperti ini, 'kan? Pria tampan menikahi wanita hanya sebagai status, untuk menutupi kebelokannya. Tampan sih, tapi sukanya sama yang tampan juga!

Laki-laki itu langsung mengusap wajahnya dengan kasar, membuang pandangannya ke arah lain, lalu menarik napasnya panjang. Ia harus menahan kekesalannya, bertindak sesuai usianya. “Apa yang salah dengan saya?” Laki-laki itu terdengar lelah menanggapi pikiran buruk Nala padanya. “Semua tuduhan kamu, tidak ada yang benar.” Ia memandang wanita di kursi roda itu dengan tatapan penuh. "Saya niatnya memang mau nolong kamu. Sebagai balasannya, kamu nikah sama saya.”

Nala memandang lekat-lekat wajah pria asing di depannya ini, sebelum berkata, "Om cari pembantu? Atau mau nikahin saya habis itu saya dijual sebagai ganti uang untuk bayar biaya rumah sakit?"

Tak ada sesuatu positif yang bisa dilihat Nala dari laki-laki di depannya ini. Lagi pula, coba pikirkan, memangnya di jaman serba duit ini ada yang mau memberikan uang secara cuma-cuma? Tidak, manusia baik sudah punah di muka bumi ini.

"Dengerin saya baik-baik," ucapnya dengan tegas, raut wajahnya berubah serius. Tangan besar itu langsung menarik kursi roda Nala, membuat yang tengah duduk di atasnya bisa sepenuhnya melihat ke pria itu. " Saya bukan orang jahat. Bukan juga mau memperbudak kamu, dan apalagi tadi? Boti? Astaga ... saya nggak tau kenapa kamu bisa nyimpulin itu semua dengan gampangnya. Saya di sini cuma niat bantu kamu, kamu—"

"Kenapa musti nikah?" potong Nala cepat, setelahnya ia mendelik tajam. 

Dari pandangan sekilasnya setelah dilihat beberapa detik, memang tak nampak adanya raut wajah kriminal dari orang di depannya ini. Tapi tetap saja, ia tak boleh percaya begitu saja pada orang asing. Seperti pepatah 'Jangan menilai orang dari cover-nya saja', bisa saja orang di depannya ini adalah monster berwajah polos.

Yang ditanya langsung berdeham, mengubah mimik wajahnya agar tak seserius tadi. "Saya punya masalah, kamu juga punya masalah. Semua orang di dunia punya masalah. Di sini, permasalahan saya soal pernikahan. Anggap saja, pernikahan kita nanti itu cuma sebagai formalitas."

Mata Nala kembali memicing. "Om Bisex, ya?" Lagi-lagi hanya kecurigaan dan penilaian buruk yang ada di otaknya tentang pria itu.

Telinga dan wajah pria itu memerah, malu mendengar tuduhan yang diutarakan padanya barusan. Merasa wanita di hadapannya ini sulit menerima niat baiknya, pria itu mengembuskan napas panjang.

“Ini adalah penawaran terakhir saya,” pria itu berdiri dari posisinya. Ia mulai lelah meladeni dan meyakinkan wanita di hadapannya. “Ini juga kesempatan terakhir kamu untuk menyelamatkan mamamu. Apa kamu tidak memikirkannya? Dari mana kamu bisa dapat uang segitu banyak dengan cepat? Pikirkan baik-baik.”

Deggg!

Saat pria itu membawa serta mamanya dalam perbincangan mereka, otak Nala yang semula dipenuhi pikiran buruk, tiba-tiba membeku. Bayangan mamanya yang terbaring lemah, juga masa depannya yang mungkin akan buruk jika tak bisa mendapatkan uang 200 juga secepat mungkin, kini menguasai pikirannya.

Tidak, Nala tidak mau sesuatu yang buruk menimpa mamanya. Sepersekian detik, ia mengerjap. Tawaran dari pria asing itu agaknya memang satu-satunya solusi.

“T-tunggu, Om!” Nala berteriak, menghentikan gerakan pria asing itu yang sudah siap-siap melangkah pergi dari hadapannya. “Sepertinya, saya berubah pikiran.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status