"Ini memang salahku, seharusnya aku tidak mengatakan itu," frustasinya.
Di sisi lain, pria yang saat ini dalam kondisi mood yang tidak baik terus marah-marah pada semua karyawannya.Sampai sekretaris yang melihat itu merasa tidak biasa dengan tingkah si tuan. Meskipun tuannya itu adalah seorang pemarah, arogan, dan kasar.Tapi si tuan bahkan tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya, meski dalam masalah sekalipun."Permisi, tuan. Apakah ada hal yang bisa saya bantu?" ucap Tony. "Apa yang terjadi? Tampaknya Anda dalam masalah besar," tanyanya lagi."Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," ucapnya tanpa melihat sekretaris dan hanya fokus pada laptop di depannya dengan serius."Baiklah, tuan. Tapi jika Anda dalam masalah dan ingin bercerita, saya selalu siap mendengarkan," ucapnya lagi lalu meninggalkan ruangan setelah melirik tuannya yang terlihat kesal.Di sisi lain, saat Hanisa yang frustasi memikirkan ucapannya dengan mencari solusi, Duncan yang tak henti kesal terus melampiaskan amarahnya."Apa ini? Apa kau ingin membuatku bangkrut?" membanting map hitam itu, map yang telah diberikan oleh karyawan pria di ruangannya. "Aku menyuruhmu untuk merevisi ulang berkas itu, tapi tak satupun yang beres. Apa kau masih niat bekerja?" tegasnya."M... maaf, pak, tapi saya sudah merevisi ulang berkas itu sebanyak 5 kali, dan itu sudah sesuai yang bapak minta," ucap karyawan pria."Kau berani membantahku?" marahnya menatap tajam si pria yang hanya tertunduk sambil menggeleng, menandakan dirinya tidak akan berani membantahnya."Pergi!" yang kemudian meninggalkan ruangan si tuan.Yang tampak frustasi, menyandarkan diri pada kursi kerja di belakangnya. "Aku tidak tahu, kenapa perkataan wanita itu menghantuiku. Harusnya aku tidak marah. Kami menikah juga karena kemauanku," ucapnya lagi setelah bersandar pada kursi kerja itu.Hingga waktu terus berjalan, akhirnya kedua pria yang selalu sibuk bekerja kini meninggalkan perusahaan menuju kediaman.Dengan Rolls Royce Ghost hitam yang dikendarai si ajudan dengan kecepatan kilat. Sambil melirik ke arah si tuan lewat rear-vision mirror, masih dengan ekspresi yang sama seperti tadi pagi.Hingga kini keduanya telah berada tepat di kediaman. Yang ternyata sudah ditunggu pulang oleh wanita yang berstatus istrinya. Sedangkan yang ditunggu dengan dingin mengabaikannya, menuju kamar keduanya."Kau sudah pulang," ucap wanita itu dengan senyum manis tapi masih mendapat hawa dingin dari si pria yang mengabaikannya."Aku minta maaf akan perbuatanku padamu," ucapnya yang lagi-lagi diabaikan. "Oh ya, aku juga sudah memasak makanan padamu," ucapnya lagi basa-basi menyenangkan yang sedang marah.Sambil mengikuti pria itu, yang terus mengabaikannya."Kau makan dulu, biar kuletakan?" mengambil jas milik si pria yang digenggamnya, kini telah berada di kamar mereka.Bingung apa lagi yang harus dikatakan, ia pun berniat membantu pria itu mengambil dasinya, namun tiba-tiba.Gedebug!...Kini, wanita yang saat ini berada di bawah tubuh pria itu seketika terdiam melihat sosok itu sangat dekat dengannya.Bahkan ia dapat melihat mata berwarna coklat pekat si pria dengan jelas. Berbayang dirinya.Untungnya, pria berbadan tinggi itu menyampaikan tangannya pada kasur sebagai halangan, karena jika tidak, mungkin bibir di antara keduanya akan menyatu karena itu."Apa yang kau lakukan?" ucap pria itu lembut, menatap intens si wanita.Sehingga yang ditatap tak berkutik karena itu. Karena tatapan si pria yang terlihat ingin menerkamnya saat itu juga.Apalagi, mengingat posisi keduanya, bisa saja pria itu menerkamnya."Apa kau tidak punya malu? Kemarin kau menampar diriku, mengemis-ngemis maaf padaku, dan kini. Kau malah mau membuka dasiku," lembutnya, menatap mata si wanita yang terus mengelak tatapannya. "Apa, jangan-jangan?? Kau yang menyukaiku," goda si pria."Siapa yang menyukaimu!" tegasnya, mendorong tubuh pria itu darinya. "Aku hanya merasa bersalah padamu atas perbuatanku," ucapnya lagi merendahkan nada suaranya."Aku minta maaf," ucap wanita itu lagi melirik si pria.Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,