Setelah menghabiskan waktu di rumah seharian, wanita yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba ponsel itu berdering.
*Bipzzz*"Hallo," mengangkat telepon itu tanpa tahu yang menelpon."Hallo, Hanisa. Kamu apa kabar, sayang?" ucap si wanita dalam telepon yang tak lain adalah ibunya, Harumi."Ibuk," senangnya meskipun baru sehari ia meninggalkan rumah tapi rasa rindu terhadap ibunya sudah sangat dalam, "ibu apa kabarnya?" senyum yang menghiasi wajahnya."Ibu baik, kamu gimana sekarang? Lagi ngapain?""Aku baik, Bu. Aku juga lagi nggak ngapa-ngapain makanya rada bosan," ucapnya. "Ibu di mana sekarang?""Ibu lagi di rumah, lagi beres-beres.""Beres-beres, tapi kok kedengarannya rame?" penasarannya."Oh iya, ibu lupa kasih tahu kamu kalau sekarang ibu sudah pindah. Ducan meminta ibu untuk tinggal di rumah yang dia belikan," ucap si ibu. "Sebelumnya ibu juga sudah menolak tapi dia memaksa sekretarisnya untuk membawa ibu.""Paksa? Ibu diseret?" lagi-lagi penasarannya."Bukan, sebenarnya sehabis setelah kamu menikah kemarin, Juragan Hengki datang ke rumah," penjelasan si ibu. "Dia masih dengan penawarannya meminta untuk menikahinya," katanya lagi.Memang benar setelah acara pernikahan selesai, Juragan Hengki yang ternyata meminta pengawal suruhannya mengawasi rumah itu, sampai pada acara selesai lalu kemudian menemui Harumi.Namun untungnya, Ducan yang menyadari sebelum kejadian meminta Tony sekretaris yang juga ajudannya untuk mengawasi rumah, ibu Hanisa sebagai jaga-jaga."Tapi, ibu baik-baik aja kan?""Iya, tapi sekarang kamu nggak perlu khawatir, karena Ducan sudah menyuruh pengawal dan supir untuk menjaga dan mengantar jemput ibu," ucap si ibu menenangkan putrinya."Kemarin memang sempat Juragan itu datang, tapi, Ducan datang jadi dia tidak berani menemui ibu. Sampai sekarang.""Syukurlah, Bu," legahnya setelah mendengar ucapan si ibu."Yah udah, ibu mau lanjut bantu-bantu dulu ya, kamu baik-baik di sana.""Iya, Bu, dah."*"Apa ini?" ucap Ducan.Setelah melihat tingkah wanita yang tiba-tiba tampak sangat perhatian padanya. Yang telah kembali dari pekerjaan, wanita itu melayani Ducan layaknya suami istri.Ya, meskipun memang benar mereka adalah suami istri tapi 'kan masih belum ada cinta di antara keduanya, sehingga Ducan yang menerima layanan itu tampak heran. Dan bertanya-tanya sambil memperhatikan wajah wanita yang asik menyediakan makanannya."Kau kenapa? Bingungnya.""Jangan ge-er dulu. Aku hanya ingin berterimakasih padamu untuk ibuku, karena kau telah membantunya.""Aku tidak akan ge-er padamu, itu sudah kewajibanku untuk menafkahimu dan ibumu sebagai suami," ucap Ducan tanpa rasa bersalah sedangkan yang mendengar tampak tersentuh, hingga pipinya padam merona.Sebenarnya memang tidak salah kalau Ducan mengatakan hal itu padanya. Karena jelas saja memang wanita itu adalah istrinya sekarang, jadi apa salahnya?"Kenapa kau terdiam? Ada yang salah pada ucapanku?" ucap Ducan memperhatikan wajah merona itu, "kenapa? Kau tersentuh dengan ucapanku?"Ti...tidak, kenapa aku tersentuh. Seperti katamu, bukankah wajar kau menafkahiku," elaknya sedikit gugup.Namun itu jelas saja diketahui Ducan. Sambil meneguk sesendok nasi ke mulutnya yang sedikit gugup melirik tatapan si pria."Ka...kau kenapa menatapku begitu?" Mematahkan tatapan itu. Sedangkan yang menatap dengan teratur mengalihkan atensinya.Kemudian menyantap makanan yang telah disediakan wanita yang sudah menjadi istrinya itu.Tidak berapa lama akhirnya keduanya telah selesai dan kembali ke ruangan pribadi mereka, yaitu kamar mereka.Keduanya kemudian melakukan urusan masing-masing, si pria sibuk melakukan kerjaannya, sedangkan si wanita sibuk dengan mencari kerjaannya juga dengan laptop.Asik dengan kerjaan, Akhirnya perut yang rakus itu kembali mengeroncong. Wanita yang kemudian melihat beberapa makanan dan minum, langsung mengunjungi tempat itu yang tak lain milik pria di depannya.Tapi sekali lagi, bukan Ducan namanya jika tidak peduli akan itu dan hanya memperhatikan heran."Baru saja makan sudah makan lagi, dasar tikus," ucap pria itu setelah tak tahan melihat rakusnya."Apa katamu? Aku memang lapar tapi aku bukan Tikus, kau tidak melihat bentukku seperti ini," kesalnya dengan mulut yang terisi penuh."Iya, bentuk manusia tapi kau tikus yang sudah mencuri barangku.""Kau...."Gedebum...Suara benturan yang saat ini dialami keduanya, yang dalam pesonanya masing-masing.Wanita yang saat ini berada di tubuh bidang si pria kini terpesona akan tampang itu lagi, rasanya sudah berapa kali makhluk itu memancarkan pesonanya.Si pria yang juga merasakan hal yang sama pun, juga langsung tersadar."Makannya hati-hati," ucap pria itu dengan nada tidak biasa sedikit lembut tapi juga tidak kasar, yang masih berada di bawah tubuh si wanita, menyadarkan yang paling muda.Meski jarak usia keduanya terbilang jauh. Tidak membuat keduanya terlihat berbeda, terlihat seperti 3-5 tahun palingan.Setelah beberapa jam yang fokus pada pekerjaannya masing-masing, akhirnya si wanita yang terlihat mengantuk menyudahi urusannya.Dan berniat membaringkan tubuhnya yang mungil, yang disadari pria itu."Aaa...," teriak wanita itu hingga membangunkan yang di sebelahnya."Ada apa-ada apa?" Cemas si pria yang mengira ada maling atau terjadi sesuatu pada wanita di sebelahnya.Plakk..."Kau menamparku?""Itu bahkan kurang puas untukmu," kesalnya sebab pria yang tadi malam berada di sofa, kini berada sangat dekat dengannya, di kasur.Yang mana posisi wanita tersebut memeluk si pria dengan sangat intim."Kenapa kau berada di sebelahku?" kesalnya lagi."Inikan juga kasurku, apa masalahmu?" kesalnya juga, sebab baru kali ini ada orang yang berani menyentuh dirinya, apalagi sampai menamparnya."I..., iya ta..., tapi?" ucapnya terbata, karena ada benarnya bahwa itu memang kasurnya, lagi pula kan mereka memang sudah menikah, apa salahnya? Hanya saja di antara mereka masih belum ada cinta."Apa? tapi apa?" tanyanya kesal, menyadari wanita itu gugup ia pun lantas meninggalkan si wanita dan pergi untuk mandi."Maaf." ucap wanita yang kini berada di sebelah Ducan yang menyantap sarapannya, tengah berada di meja makan, "aku tahu seharusnya aku tidak seperti itu, tapi ini pertama kalinya bagiku tidur dengan seorang pria," menatap Ducan sedikit takut, takut dia akan marah.Sedangkan yang ditatap hanya melirik kecil."Aku hanya belum terbiasa," ucap wanita itu lagi namun tidak dihiraukan si pria, kemudian pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata.Membuat si wanita tampak frustrasi akan tindakan dan ekspresi itu, "Huff...," tarikan nafasnya frustrasi, menduduki kursi yang sebelumnya didiami si pria.Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,